KIP kuliah merupakan salah satu program pendanaan dari pemerintah untuk menunjang serta mendukung masyarakat kurang mampu untuk meraih cita-citanya. Program ini sangat membantu rakyat kecil berpendidikan tinggi. Tentunya, banyak persyaratan yang harus sesuai untuk menghindari adanya tindakan kecurangan salah sasaran pada penerima KIPK.
Selain termasuk dalam kategori kurang mampu, penerima KIPK juga harus mempunyai nilai akademik yang tinggi. Sehingga, penerima KIPK benar-benar dapat diterima oleh mahasiswa kurang mampu tapi tidak kurang dari nilai akademik juga. Begitulah syaratnya.
Sekilas, KIPK ini bagus. Tapi, ada after effect yang harusnya tidak muncul: asumsi yang tidak seharusnya.
Banyak yang mikir kalau mahasiswa penerima KIPK itu hidupnya enak dan serba terjamin. Katanya, semua udah ditanggung pemerintah, masih ditambah uang saku pula. Padahal, realitanya nggak sesederhana itu. Uang yang diterima ada batasnya, dan sering kali nggak cukup buat nutup semua kebutuhan sehari-hari.
Dana KIPK cair tiap semester, nominalnya pun beda-beda tergantung domisili dan biaya hidup di daerah masing-masing. Tapi meski begitu, bukan berarti semua kebutuhan otomatis terpenuhi. Biaya kos, makan sehari-hari, transport, print tugas, beli buku, pulsa, kuota—semuanya tetap harus dipikirin sendiri.
Yang bikin tambah miris, masih aja ada suara-suara julid yang seolah tahu segalanya. Mahasiswa KIPK nongkrong sebulan sekali dibilang ngabisin uang negara. Sekali makan enak, dicap foya-foya. Pakai baju bagus dikira sosialita dana bantuan.
Lalu, mahasiswa KIPK harus hidup gimana? Nggak boleh nongkrong sama temen? Harus makan nasi garam tiap hari? Harus pakai baju belel biar dianggap “pantas” menerima bantuan?
Mahasiswa KIPK itu juga manusia
Orang-orang tuh lupa, mahasiswa KIPK itu juga manusia, juga mahasiswa. Kita juga punya hak buat menikmati hidup sewajarnya, sama seperti yang lain. Beasiswa KIPK itu sama aja kayak beasiswa lain—sama-sama dari dana negara. Nggak ada larangan buat beli kebutuhan pribadi, selama itu memang digunakan dengan bijak.
Faktanya, mahasiswa KIPK yang benar-benar butuh itu nggak hidup mewah. Mereka justru lebih sering ngatur-ngatur duit supaya cukup sampai pencairan semester depan. Jadi, kalau kamu belum pernah jalan di sepatu mereka, jangan asal nge-judge dari luar.
Anggapan kalau hidup mahasiswa KIPK itu selalu enak, jelas cuma mitos. Mereka bukan cuma “dikasih bantuan lalu bebas leha-leha”. Justru, mereka punya beban akademik yang berat. IPK harus stabil di atas 3, turun dikit aja bisa deg-degan.
Belum lagi soal organisasi. Nggak ada kata “boleh ikut”, tapi “wajib aktif”. Kebayang kan, di tengah padatnya jadwal organisasi dan kuliah, mereka juga dituntut terus berprestasi, seolah itu satu-satunya cara buat menunjukkan rasa terima kasih. Dan kalau semua target itu nggak terpenuhi? Siap-siap, bantuannya bisa dicabut kapan aja.
Bantuan bukan kemewahan, tapi kesempatan
Perlu diingat, KIP bukan fasilitas untuk hidup mewah, tapi jembatan untuk bertahan dan maju.
Bantuan ini hadir sebagai harapan, bukan kemewahan. Mahasiswa penerima KIP tetap harus berjuang keras, bahkan sering kali lebih keras dari yang lain. Mereka memikul beban akademik, sosial, dan finansial secara bersamaan.
Di balik uang saku yang katanya “cukup”, ada strategi bertahan hidup, ada pengorbanan, dan ada usaha yang nggak kelihatan dari luar. Karena bagi mereka, KIP bukan tiket bersantai, tapi kesempatan untuk membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk jadi hebat.
Saya cuma mau bilang, buat kamu yang jadi penerima KIPK, nggak perlu malu dengan kondisi kamu. Semua beasiswa itu sama-sama bentuk dukungan, bukan penanda kelas sosial. Jadi, nggak ada alasan buat kamu merasa lebih rendah atau dibatasi dalam berpenampilan. Kamu punya hak yang sama untuk tampil percaya diri, seperti teman-teman yang lain. Selama kamu bisa tanggung jawab sama nilai akademik dan tetap menjalani semuanya dengan bijak, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan.
Kalau asumsi dan tuduhan ini muncul karena ada penerima KIPK yang malah dipakai buat hedon, tentu saja itu bukan urusan kalian. Yang hidupnya menderita tak perlu menjelaskan kenapa ada yang hidupnya mampu tapi tetap dapat beasiswa. Bidik moncong senapan kalian ke sasaran yang seharusnya, bukan malah ikut memberondong peluru ke semua target.
Penulis: Amaliyah Hasanah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Penerima KIP Kuliah Gadungan: Kuliah Susah, tapi Gaya Hidup Mewah
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
