Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Gaya Hidup

Hidup di Desa Nggak Seindah Bayangan, Banyak Iuran yang Harus Dibayarkan kalau Nggak Mau Jadi Bahan Omongan

Muhammad Nur Azza oleh Muhammad Nur Azza
15 Oktober 2025
A A
Hidup di Desa Nggak Seindah Bayangan, Banyak Iuran yang Harus Dibayarkan kalau Nggak Mau Jadi Bahan Omongan

Hidup di Desa Nggak Seindah Bayangan, Banyak Iuran yang Harus Dibayarkan kalau Nggak Mau Jadi Bahan Omongan (unsplash.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Hidup di desa sering dibayangkan sebagai hidup yang tenang, atau bahasa gaulnya slow living. Udara bersih, tetangga ramah, suara ayam berkokok tiap pagi, dan harga kebutuhan yang relatif murah, setidaknya itu yang ada di pikiran orang sehabis nonton konten tentang pedesaan di Instagram. Tapi, semua gambaran indah itu hanya berlaku kalau kamu cuma “hidup” seminggu di desa, atau lebih tepatnya liburan. 

Begitu kamu menetap di desa, kamu bakal sadar kalau pengeluaranmu bakal membengkak melebihi anggaran buat kebutuhan pribadi. Betapa banyaknya sumbangan “wajib” di sana.

Banyaknya sumbangan buat hajat rutin di desa

Setiap minggu, setiap bulan, atau bahkan setiap kali ada orang sakit, orang meninggal, tahlilan, orang ngunduh mantu, sampai acara RT, dapat dipastikan akan ada iuran. Beberapa iuran sih terhitung kecil, paling cuma Rp5 ribu sampai Rp20 ribu. Tapi kalau ditotal, lama-lama bisa juga bikin dompet megap-megap.

Belum lagi kalau kamu tinggal di desa yang tingkat “guyubnya” tinggi. Makin banyak acara, makin banyak iuran. Makin boncos dompetmu

Lucunya, iuran ini sebenarnya sumbangan sukarela, tapi “wajib”. Gimana tuh? Maksudnya, kalau kamu nggak ikut iuran, bukan berarti kamu kena denda. Bukan berarti kamu bakal dapat sanksi formal kayak kita lagi melanggar aturan. Tapi siap-siap aja namamu bakalan sering disebut dalam rumpi tetangga.

Kalimatnya klasik, “Kok bapak/ibu itu nggak nyumbang ya?”. Awalnya sih cuma mempertanyakan, tapi pasti bakal merembet ke mana-mana. Dan dari situ gosip berjalan lebih cepat dari algoritma Instagram.

Bukan perkara jumlah uang

Masalahnya bukan di jumlah uangnya. Orang pasti ikhlas kok nyumbang buat tetangga yang lagi susah, lagi punya hajat, atau buat acara kampung. Tapi lama-lama budaya “selalu ada iuran” ini jadi beban sosial tersendiri.

Orang yang sebenarnya sedang susah pun kadang tetap maksa nyumbang karena takut dibilang pelit, sombong, atau nggak mau ngrewangi atau ya itu tadi, takut jadi bahan gosip tetangga. Maka lahir budaya pekewuh alias nggak enakan yang sebenarnya bagus kalau diterapin sebagai etika hidup, tapi seakan malah jadi budaya wajib orang desa.

Baca Juga:

4 Hal yang Bikin Orang Kota seperti Saya Kagok Hidup di Desa

Realitas Pahit di Balik Hajatan: Meriah di Depan, Menumpuk Utang dan Derita di Belakang

Padahal kalau dipikir, niat awalnya kan gotong royong. Tapi kalau gotong royong ini sudah berubah jadi paksaan, masih pantas nggak disebut gotong royong?

Rasa kebersamaan malah jadi keterpaksaan di desa

Di sisi lain, orang desa memang sangat menjunjung kebersamaan. Kalau ada orang meninggal, semua turun tangan. Kalau ada orang nikah, ramai-ramai bantu. Dan itu indah. Nggak semua tempat punya solidaritas seperti itu.

Akan tetapi entah sejak kapan, rasa solidaritas itu berubah jadi kewajiban sosial yang bikin banyak orang justru tertekan. Misal, orang yang lagi punya urusan wajibnya sendiri, sering kali harus dikalahkan demi budaya bantu-bantu ini. Izin sih pasti diperbolehkan, tapi sekali lagi, dapat dipastikan namamu bakal jadi bahan gosip walau kamu sudah izin berhalangan. 

Anehnya lagi, orang yang nggak ikut iuran sering dianggap “nggak mau hidup bermasyarakat”. Padahal alasannya itu simpel: memang lagi nggak punya uang. Tapi alasan itu jarang dianggap sah. Di desa, citra diri lebih penting dari kondisi dompet yang udah sekarat.

Contoh nyata biar nggak dibilang asbun

Saya ngomong gini bukanlah tanpa dasar. Selain saya memang mengalami sendiri karena hidup di desa, ada contoh lain dari saudara saya sendiri, yang tinggal di sebuah desa di Jawa Tengah. Dalam satu bulan, bisa ada 3-4 sumbangan “wajib” ini. Entah buat nyumbang orang punya hajat nikah, orang meninggal, atau pengajian desa. 

Kalau buat pengajian, malah dobel pengeluarannya. Sudahlah harus nyumbang barang berupa nasi box, haruslah iuran uang pula. Pernah suatu waktu saudara saya ini mencoba nggak iuran karena memang lagi nggak punya uang. Hasilnya bisa ditebak. Saudara saya jadi bahan gunjingan di masjid selama satu minggu penuh. Bahkan masih diungkit-ungkit dalam beberapa bulan kemudian. Ironis bukan? Masjid harusnya jadi tempat tenang malah jadi tempat buat update gosip.

Jadi, ya begitulah. Hidup di desa memang menyenangkan. Itu selama kamu siap dengan segala bentuk iuran yang datang tiba-tiba, mulai dari iuran tahlilan sampai sumbangan acara mantenan. Kalau nggak, siap-siap aja namamu masuk dalam majalah gosip desa edisi berikutnya.

Penulis: Muhammad Nur Azza
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Hidup di Desa Terkadang Tak Lebih Baik ketimbang Hidup di Kota, Bahkan Bisa Jadi Lebih Buruk.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 15 Oktober 2025 oleh

Tags: Desahidup di desaiuraniuran wargarisiko tinggal di desasumbangan hajatan
Muhammad Nur Azza

Muhammad Nur Azza

Warga Solo Coret

ArtikelTerkait

5 Drama Korea yang Bikin Orang Kota Pengin Hidup di Desa Mojok.co

5 Drama Korea yang Bikin Orang Kota Pengin Hidup di Desa

4 Juni 2024
Investasi Sapi Disukai Warga Desa Saya daripada Investasi Emas dan Saham: Bukan Mengejar Kekayaan, melainkan Ketenteraman

Investasi Sapi Disukai Warga Desa Saya daripada Investasi Emas dan Saham: Bukan Mengejar Kekayaan, melainkan Ketenteraman

26 Juni 2024
Dusun Nampu Grobogan, Tempat Slow Living Terbaik. Hidup Dijamin Lebih Tenang dan Hemat di Sana  Mojok.co

Dusun Nampu Grobogan, Tempat Slow Living Terbaik. Hidup Dijamin Lebih Tenang dan Hemat di Sana 

27 April 2024
Jurusan Pendidikan Itu Memang Gampang dan Sepele kok, Beneran deh, Serius Guru

Jadi Mahasiswa Jurusan Pendidikan yang Hidup di Desa Itu Berat: Dianggap Calon Guru, Moral Compass, dan Dianggap Serbabisa

10 September 2024
Orang Tua Lebih Memilih Sekolah Swasta meskipun Biayanya Mahal karena Memang Sebagus Itu, Sekolah Negeri Perlu Ngaca sekolah swasta gratis

Sekolah Swasta di Daerah Pinggiran Nggak Jauh Beda sama Sekolah Negeri, Siswa Sedikit, Fasilitas Pelit, Bayaran Juga Sulit

27 Juli 2024
orang desa, anak kuliahan

Bagi Saya, Masyarakat Desa Adalah Potret Indonesia yang Sebenarnya

16 Mei 2020
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

4 Desember 2025
Malang Nyaman untuk Hidup tapi Bikin Sesak Buat Bertahan Hidup (Unsplash)

Ironi Pembangunan Kota Malang: Sukses Meniru Jakarta dalam Transportasi, tapi Gagal Menghindari Banjir

5 Desember 2025
Alasan Orang Solo Lebih Hafal Jalan Tikus daripada Jalan Utama

Alasan Orang Solo Lebih Hafal Jalan Tikus daripada Jalan Utama

30 November 2025
Sebagai Warga Pemalang yang Baru Pulang dari Luar Negeri, Saya Ikut Senang Stasiun Pemalang Kini Punya Area Parkir yang Layak

Sebagai Warga Pemalang yang Baru Pulang dari Luar Negeri, Saya Ikut Senang Stasiun Pemalang Kini Punya Area Parkir yang Layak

29 November 2025
Angka Pengangguran di Karawang Tinggi dan Menjadi ironi Industri (Unsplash) Malang

Ketika Malang Sudah Menghadirkan TransJatim, Karawang Masih Santai-santai Saja, padahal Transum Adalah Hak Warga!

29 November 2025
4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Tetap Menyenangkan Mojok.co

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

30 November 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.