Saya yakin semua orang Indonesia pernah dengar peribahasa “hemat pangkal kaya”, terutama saat kita masih bocil-bocil yang doyan jajan di warung. Kadang di sekolah dasar pun tertempel dan tergantung plang-plang kecil yang tertulis kalimat-kalimat sejenis. Bahkan, di buku tulis pun tertulis seperti itu.
Saat masih kecil, kalimat itu jadi pedoman hidup saya, didukung oleh propaganda ciamik para guru dan orang tua yang terus berulang di telinga. Tapi ternyata, semakin dewasa semakin saya sadar kalau peribahasa “hemat pangkal kaya” ini nggak bener-bener amat, khususnya bagi kaum yang uang bulanannya habis oleh kebutuhan hidup.
Orang yang punya penghasilan di atas rata-rata atau punya orang tua yang berada mungkin nggak setuju dengan tulisan ini. Lha orang duitnya saja lebih dari kebutuhan, ya otomatis bisa ditabung dan kaya, apalagi bagi kaum yang punya deposito dengan bunga bombastis. Selamat, Anda termasuk orang yang sangat beruntung. Tapi maaf, tulisan ini target pasarnya bukan Anda, hehehe.
Buat orang yang penghasilannya pas-pasan, jangankan menabung, kebutuhan sehari-hari pun kadang nggak cukup. Bisa sih hemat dan menabung, tapi dengan risiko makan cukup dengan satu telor ceplok saja. Kenyang nggak kenyang, yang penting makan. Kalau mau kenyang, bikin porsi nasi yang lebih banyak meski dilawan dengan hanya satu telor ceplok. Walau tidak seimbang, yang penting asam lambung tak berontak sampai ke permukaan otak.
Ya, uang yang ditabung pun kadang nggak berakhir sesuai dengan harapan awal, karena serangan kebutuhan mendadak yang sama sekali nggak bisa ditunda. Contohnya kebutuhan-kebutuhan kuliah, iuran, saudara atau teman yang sukses membuat kita meminjamkan uang dengan muka memelasnya, maupun tagihan pinjol atau kosipa. Akhirnya, niat hemat dan menabung untuk jadi kaya terpaksa game over dan di-reset ke titik 0 lagi.
Istilahnya, mereka rela menderita agar bisa menabung, hanya untuk menderita lagi ketika tabungannya cukup.
Dengan dompet yang berdarah-darah, akhirnya kita bisa hemat dan menabung mencapai target yang diinginkan. Tapi, apakah kita sudah kaya? Nope, masih belum. Kerja kerasmu menabung ratusan purnama tetap tak dapat mengalahkan keberuntungan Rafathar dengan gelimang hartanya. Hahaha.
Akhirnya saya sadar, mau seberapa radikal pun kau menghemat, sampai nasi dan kopi kau mengemis pada kawan, variabel keberuntungan tetap jadi satu faktor paling dominan dalam meraih kekayaan. Maka, lewat tulisan ini saya deklarasikan, bahwa hemat itu bukan pangkal kaya, teman.
Ada lagi peribahasa familiar yang berbunyi “rajin pangkal pandai”. Sebetulnya, kadar penolakan saya terhadap peribahasa yang satu ini lebih rendah daripada “hemat pangkal kaya”, karena faktor keberuntungan tak berperan begitu signifikan. Meskipun demikian, tak berarti faktor itu tak berperan sama sekali. Keberuntungan tetap ada walaupun jadi faktor yang paling terakhir disebut, karena orang-orang ingin terlihat dominan sendiri. You know lah, macam orang-orang yang suka pamer kerja keras dan kekayaan tanpa menyebut peran dan relasi orang tua.
Tapi, saya masih percaya, dengan rajin dan disiplin latihan seseorang bisa mahir dalam suatu keterampilan, walaupun kadang masih kalah saing sama orang yang berbakat. Orang yang buta nada, dengan latihan yang intens, bisa saja jadi mahir menyanyi, meski kalau daftar Indonesian Idol akan kalah oleh mereka yang punya orang dalam. Ups, maksudnya mereka yang berbakat bernyanyi.
Kalau memang dari lahir nggak punya bakat dalam bidang tertentu, mau latihan sekeras apa pun, tetap sulit menyaingi mereka yang punya bakat. Simpelnya, mungkin karena bidang tertentu yang kita tak punya bakat di dalamnya adalah bidang yang tak kita minati, sehingga mau didalami pun udah nggak ada semangat.
Kesimpulannya, saya cukup setuju dengan peribahasa “rajin pangkal pandai”, asal tetap fokus pada bidang yang kita nikmati. Takutnya, nanti nyesel di akhir, macam kakak-kakak tingkatmu yang udah semester tua tapi bilang salah jurusan, hehehe.
Penulis: Ilham Taufiq
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Klaten, Kota Indah yang (Sialnya) Terjepit Jogja dan Solo