Kerjaan nggak jelas hasilnya, tapi kalau dikritik ngamuk, njalukmu opo e, Lur?
Bayangkan seperti ini. Anda punya rekan kerja yang pemalas, tak becus dalam mengerjakan job desc-nya, pun tak sudi mengeluarkan tenaga jika mengerjakan sesuatu. Sialnya, posisi dia vital dalam perusahaan dan gajinya amat besar. Masa depan perusahaan, yang tentunya jadi masa depanmu juga, tergantung pada rekan kerjamu yang tak becus itu.
Sialnya lagi, jika kinerjanya dikritik, dia akan mengamuk. Mengutuki apa saja macam bocah yang keranjingan Cocomelon. Dan dia akan membuatmu celaka, dengan kekuasaan yang dia punya, hanya karena kau mengkritik kinerjanya.
Sudah bisa bayangin betapa mengerikannya hidup jika punya rekan kerja seperti itu? Itulah gambaran rasanya hidup di sebuah daerah yang pemimpinnya mendatangi orang-orang dekat pengkritiknya. Saya nggak mau sebut nama daerahnya, kalian sudah tahu.
Tidak ada hal selain simpati yang saya bisa berikan pada penduduk daerah tersebut. Apa yang dikritik, buktinya bisa dilihat dengan mata telanjang. Tapi ketika kritikan akan hal-hal tersebut viral, mereka tidak terima. Dan orang-orang macam itu yang bikin saya terheran-heran, terlebih pemimpin.
Disclaimer dulu, tulisan ini tidak menyasar ke pemimpin daerah yang sedang viral. Kalian baiknya jangan pede-pede amat. Anggap saja tulisan ini jadi refleksi untuk kita semua, apakah kita, sudah menjalankan tugas kita sebaik-baiknya.
Kita semua adalah karyawan
Kecuali Anda pebisnis, mau setinggi apa pun jabatan kalian—pimpinan sekalipun, kalian pasti punya bos. Bahkan pebisnis pun punya bos, jika usaha dia disuntik investor. Bos di sini bisa cair definisinya. Yang jelas sih, bos dari segala bos adalah uang. Sebagai pekerja, yang harus Anda lakukan adalah mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh bos kalian, dan mereka jugalah yang menilai bagaimana kinerja kalian.
Nah, pemimpin, macam bupati, wali kota, gubernur, bahkan presiden sekalipun itu punya bos. Dan bos mereka itu ya kita-kita ini, rakyat biasa. Hayo, kalian pasti mikirnya bos mereka adalah ketua partai kan? Ngawur.
Jadi, kinerja mereka—para pemimpin itu, ya yang menilai rakyat. Mereka tidak bisa menolak untuk dinilai oleh rakyat. Memberikan penjelasan dan pembelaan tentu saja bisa, tapi untuk menolak, tentu nggak bisa. Dan kritik, itu adalah salah satu (cara) penilaian.
Lalu, jika hasil kerja mereka nggak mau dikritik, terus bagaimana? Ya mudah saja: nggak usah kerja sekalian. Mundur, dan biarkan orang lain (yang becus) menggantikan mereka. Sederhana.
Betapa pentingnya kritik
Kritik itu jelas diperlukan agar seseorang atau organisasi atau apalah itu berkembang. Tanpa kritik, Anda akan jadi seseorang yang lebih bodoh dari keledai, jatuh ke lubang yang sama berkali-kali dan tetap bahagia. Dan cara kritik itu disampaikan ke kalian pun harusnya nggak jadi soal. Mau dikritik dengan makian, satir, lemah lembut, semuanya sama saja: ada kekurangan yang baiknya kalian perhatikan.
Makanya, bos kalian di kantor itu kerap kali memberikan kritik. Dari kritik-kritik itulah kalian tersentak, dan akhirnya bergerak. Ya memang beginilah dunia bekerja, kalau mau sejahtera, memang harus punya kulit yang lebih tebal ketimbang badak.
Tapi kalau Anda tak mau dikritik, itu masalah yang amat, sangat, besar. Saya sampai sengaja melakukan kesalahan penulisan hanya untuk memberikan penekanan tentang hal tersebut.
Masalahnya adalah, ketika Anda tak mau dikritik, Anda menghambat kerja besar yang ada dalam sistem kerja Anda. Ambil contoh saya saja, biar mudah. Jika saya tak mau menerima kritikan atas kualitas editan saya, bisa jadi orang-orang akan malas membaca Mojok. Ketika orang tak lagi semangat membaca Mojok, maka lambat laun Mojok akan gulung tikar karena tak lagi menarik.
Terlihat berlebihan? Wo ya tidak. Sudah terlalu banyak contoh perusahaan besar yang bangkrut hanya karena bebal.
Kalau saya, karyawan yang tak berada dalam hierarki tertinggi saja bisa membuat kelangsungan bisnis terancam, apalagi pemimpin yang tak becus yang tak mau dikritik.
Maumu apa sih?
Saya sampai terheran-heran dengan pemimpin-pemimpin yang tak mau dikritik dan memberikan sejuta alasan tentang kritikan tersebut. Hasil kerja nggak keliatan, dikritik ngamuk, lha maumu itu apa sebenarnya?
Wong ya kerja untuk rakyat, sudah tahu bos mereka rakyat (itu jika mereka paham, sih), kok ngamuk ketika dinilai rakyat. Misal penilaiannya ngawur, ya lakukan selayaknya karyawan biasa ketika menghadapi bos yang agak laen. Tinggal nggih, lalu lanjutkan pekerjaan. Lak yo begitu to?
Jangan lupa, kalian itu karyawannya rakyat lho. Mentang-mentang punya jabatan njuk bertingkah seperti raja, lalu kebal dari hukum? Ha rumangsamu koe ki Raja Inggris?
Misal kritikan dari bos itu nggak disertai solusi, ya nggak apa-apa. Sejak kapan kritik harus disertai solusi? Masak ya nggak bisa melihat solusi dari kritikan tersebut? Lha kalau nggak bisa ya berarti situ yang goblok. Sana ambil kejar paket, ngulang lagi dari SD tapi.
Indonesia Gelap
Jika polah-polah pemimpin yang tantrum ketika dikritik ini tak dihentikan, alih-alih Indonesia Emas, kita akan menghadapi Indonesia Gelap 2045. Apa yang Anda harapkan dari pemimpin yang bahkan nggak tahu esensi dasar kepemimpinan?
Jika Anda, para pemimpin, masih tidak bisa memahami kenapa kalian harus legowo dan menerima kritik tanpa menyerang balik si pemberi kritik, saran saya sih cuman satu: resign. Coba tekuni bisnis lain, misal, budi daya ikan gabus. Katanya sih cuannya gede.
Sebagai penutup, saya mau sedikit pede. Saya agak yakin kalau ada yang merespons tulisan ini dengan “lha situ aja yang jadi pemimpin, biar tahu seberapa susahnya memimpin!”. Misal beneran ada, saya sih bakal jawab nggak mau. Saya tahu kapasitas diri saya. Kalian tahu kapasitas diri kalian nggak, by the way?
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kritik Harus Sopan Itu Aturan dari Mana?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.