Satu mantra yang selalu ada di kepala saya ketika memutuskan akan belajar satu hal adalah “coba dulu”. Bukan, ini bukan terinspirasi dari iklan yang “buat anak kok coba-coba” itu. Saya menerapkan ini saat saya juga memutuskan belajar bahasa Jawa. Mantra inilah yang jadi sebab saya dianggap sebagai manusia paling berbakat di kampung. Paling pintar dan paling berani.
Aksi coba dulu ini berlanjut saat saya memutuskan untuk hijrah ke Pulau Jawa. Bagaimana tidak, orang kampung saya silih berganti ke Pulau Jawa. Bahkan om saya sendiri menikah dengan orang Probolinggo yang letaknya di Pulau Jawa.
Walau belakangan banyak berkembang cerita bahwa Probolinggo adalah bagian dari Madura (swasta) dan bukan Jawa. Toh pada dasarnya mereka masih menyatu dalam dekapan Pulau Jawa. Dan demi memenuhi teori yang saya anut tentang “coba dulu” itu, di mana 80%-nya selalu berakhir dengan keberhasilan, saya mulai bertekad belajar bahasa Jawa dan menguasainya dalam waktu sesingkat mungkin.
Benar saja, mantra “coba dulu” ini begitu fungsional sekali. Dalam waktu sekitar 6 bulan saja saya sudah bisa melafalkan banyak sekali kata dalam bahasa Jawa. Tentu saja tidak atau belum sefasih saat ini. Paling tidak ketika ada yang berbicara, saya bisa ikutan menyimak. Walau pada saat itu, ketika diajak ngomong bahasa Jawa ya tetap saja saya ladeni dengan bahasa kebangsaan, bahasa Indonesia.
Memasuki fase setahun belajar bahasa Jawa (khas Suroboyoan), saya sudah bisa melafalkan ‘“jancuk” dengan penekanan yang mantap khas Arek Suroboyo. Tidak ada kecanggungan di dalamnya. Tidak seperti saat baru berusia 6 bulan hijrah. Saya juga sudah bisa tahu, bagian mana saja dalam percakapan sehari-hari yang merupakan kosa kata misuh dan dapat diterapkan.
Saya juga mempelajari kepada siapa saja umpatan yang sangat keras dan keren itu digunakan. Maka ketika saya harus berbahasa Jawa dengan orang yang lebih tua dari saya, saya berubah jadi bunglon. Terlihat sangat tidak alami, namun mau apalagi? Adatnya memang begitu? Saya nggak mau dapat umpatan, “dasar nggak tahu aturan” dari orang lain terutama yang lebih tua dari saya.
Dalam urusan belajar Bahasa Jawa, tentu saja saya menjadikan semua orang (Jawa atau yang bisa bahasa Jawa) sebagai guru. Tidak perlu gramatikal bagus, cukup pronunciation yang baik dan enak didengar. Atau paling tidak cocok sama telinga. Walau sampai saat ini saya tetap belum bisa melafalkan loro (dua) dan loro (sakit) dengan benar, paling tidak apa yang saya perjuangkan mulai menemui titik terang.
Sampai pada suatu hari, ketika teman sekelas saya berkomentar soal cara saya melafalkan bahasa Jawa dengan kondisi “qolqolah” yang menurutnya masih jauh dari kata baik. Blio mengomentari banyak hal dan di akhir komentarnya dia bilang, “Mending kamu tidak usah menggunakan bahasa Jawa lagi kalo ngomong deh, Fik.”
Saya sebagai orang yang selalu mau belajar bahasa Jawa sebenarnya tidak mau atau tidak ingin berkomentar perihal ini. Tapi, sepertinya malah akan bikin overthinking.
Pernah Anda mendengar Valentino Rossi di-interview dalam bahasa Inggris? Dia yang masih medok Italia dan sepertinya akan sangat susah untuk hilang itu memang terdengar lucu. “Dat incredhible namber e..e..e, if yu start to count from one to a..a..a.. four handred..”
Seperti itu kira-kira Rossi berkomentar mengenai keberhasilannya sampai pada jumlah balapnya yang ke-400 kali. Tentu dengan aksen Italia yang sangat kental. Yang mewawancarai adalah Matt Birt, seorang dari Lincolnshire, Inggris asli, dengan medok British yang sangat fasih tanpa cela. Namun, dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan Matt, tidak ada yang mempertanyakan atau meragukan bagaimana pengetahuan bahasa Inggris seorang Rossi. Apalagi aksen dan qolqolah-nya.
Matt paham bahwa ia sedang berkomunikasi untuk mengetahui esensi, bukan kulit luar. Apa yang didapatnya dari Rossi adalah informasi. Jika ada yang salah ia akan membenarkannya. Tidak untuk menjelekkan Rossi, apalagi sampai ngece bahasa Inggrisnya yang sangat Italia banget itu.
Bicara mengenai interview Rossi, saya harus memberikan klarifikasi (jika bisa dibilang begitu) bahwa cara orang mana pun menggunakan bahasa yang asing baginya adalah usaha luar biasa untuk bisa menjalin komunikasi.
Pada akhirnya, tidaklah penting Rossi dengan aksen Italianya. Yang terpenting adalah mereka yang mendengarkan bisa memahami maksudnya. Walau kadang dengan berusaha menutup mulut agar tidak kelepasan ketawa. Pun ketika kita mendengar orang Jerman, Rusia, atau India berbahasa Inggris dengan aksen mereka masing-masing. Ada semacam ciri khas yang coba dipertahankan dari logat asal negara mereka.
Dari pandangan serupa, jadi sangat aneh ketika saya yang berusaha berkomunikasi dan belajar bahasa Jawa dengan baik dan benar ini harus dikomentari habis-habisan perihal logat dan qolqolah. Padahal sebenarnya yang saja ajak ngomong bahasa Jawa ngerti-ngerti aja maksud saya. Itu sama saja ketika saya menyaksikan orang Jawa berusaha menirukan logat timur tapi terkesan dipaksakan. Tidak lantas membuat kami berkomentar untuk berhenti berbicara bahasa timur.
Sangat disayangkan, banyak orang lebih mengapresiasi bule yang berbahasa Indonesia atau Jawa walau penuh dengan salah kata di mana-mana dibandingkan mendengarkan orang timur (Indonesia) mencoba berbahasa Jawa tapi hanya kurang qolqolah-nya saja sudah suruh berhenti. Sungguh ironis.
BACA JUGA Wakatobi, Surabaya, dan Jogja: Mana yang Lebih Layak untuk Ditinggali? dan tulisan Taufik lainnya.