Wacana menaikkan harga Pertamax jadi Rp16.000 menjadi awan badai yang menghantui rakyat. Hanya berdasarkan asumsi DPR dan keluhan Pertamina, harga BBM non-subsidi. Bagaimana nasib rakyat? Dan bagaimana bisnis bensin eceran di masa depan?
Indonesia memang sibuk digoyang isu minyak. Kemarin masyarakat sibuk berebut minyak goreng yang langka. Setelah stock minyak goreng tercukupi, harganya melonjak sampai dua kali lipat. Belum selesai rakyat dibuat sesak oleh minyak goreng, kini mereka mulai panik oleh minyak lain. Bukan minyak rambut atau minyak bulus, tapi bahan bakar minyak (BBM) berjenis Pertamax.
BBM non-subsidi ini menjadi buah bibir. Bukan karena kualitas yang unggul, atau karena di-endorse influencer. Namun karena wacana kenaikan harga Pertamax. Tidak tanggung-tanggung, harganya melonjak dua kali lipat. Dari sebelumnya 9 ribu, kini diwacanakan naik sampai 16 ribu.
Ngomong-ngomong, kalian pernah bayangin harga Pertamax 16 ribu? Kalau ada yang bilang kayak gini dulu, pasti diketawain sampe mampus.
Kenaikan harga yang hampir dua kali lipat ini tentu menimbulkan kecemasan. BBM adalah bagian penting dari mobilitas manusia. Ketika BBM naik, tentu akan berpengaruh langsung pada masyarakat. Seperti yang sudah-sudah, kenaikan harga BBM akan membuat harga kebutuhan lain ikut naik.
Wacana ini ditelurkan DPR untuk menjawab keluhan Pertamina. Harga Pertamax selama ini dipandang tidak sesuai dengan biaya produksi yang keluar. Pertamina disebut sering “nombok” demi menjaga harga bensin dengan nilai oktan 92 ini. Maka untuk mencegah kerugian berlanjut, harga Pertamax disepakati naik sampai 16 ribu.
Ada opini yang menarik sekaligus menohok. Dirut Pertamina Nicke Widyawati memandang Pertamax adalah produk konsumsi masyarakat kelas atas. “Even Pertamax digunakan untuk mobil bagus, jadi sudah sewajarnya dinaikkan karena ini bukan masyarakat miskin,” kata Nicke.
Tentu ujaran ini tidak relevan. Karena penggunaan Pertamax bukanlah simbol kekayaan seseorang. Namun sebelum masuk ke situ, perlu diperhatikan pihak yang paling terdampak kenaikan harga BBM non-subsidi ini. Yaitu para pedagang bensin eceran.
Ada dua pelaku bisnis bensin eceran ini. Pertama adalah Pertashop yang merupakan waralaba dari Pertamina. Kedua adalah pedagang bensin eceran yang tidak termasuk mitra perusahaan migas ini. Keduanya tentu menjadi pihak pertama yang terdampak oleh kenaikan Pertamax.
Konsep Pertashop bisa dibilang baru seumur jagung. Namun, kehadirannya benar-benar membantu masyarakat yang jauh dari SPBU. Kehadiran “pom bensin cilik” ini juga ikut memasyarakatkan Pertamax. Maklum, Pertashop hanya boleh menjual Pertamax. Percepatan rakyat untuk menjadi konsumen BBM non-subsidi ini sangat terbantu oleh kehadiran Pertashop.
Yang kedua adalah pedagang bensin eceran di pinggir jalan dan Pertamini. Dalam Perpres 191 tahun 2014, pembelian Pertalite dengan jeriken tanpa rekomendasi menjadi terlarang. Ini ditambah dengan pengurangan jumlah SPBU yang mengizinkan pembelian Pertalite dengan jeriken. Maka wajar jika hari ini lebih banyak pedagang Pertamax eceran daripada Pertalite.
Melihat dua model distribusi ini, sudah jelas bahwa banyak masyarakat Indonesia menjadi konsumen Pertamax. Bensin non-subsidi ini tidak lagi jadi barang konsumsi masyarakat ekonomi menengah ke atas saja. Tentu argumen Dirut Pertamina tadi bisa dipatahkan. Tapi, harusnya sebagai dirut kan blio sudah paham bagaimana jalur distribusi dagangannya.
Jika harga Pertamax naik secara signifikan, kedua bisnis tadi pasti kena dampak pertama. Rakyat akan memilih antre demi mendapat Pertalite yang lebih murah. Bahkan masyarakat ekonomi menengah juga akan pikir-pikir untuk beli Pertamax, dan memilih kendaraannya dipaksa mengunyah bensin subsidi.
Mesin mungkin remuk, tapi ya, mau bagaimana lagi?
Padahal kedua bisnis tadi sudah jadi alternatif jujugan rakyat. Pertamax yang selama ini dijauhi menjadi konsumsi harian karena “kahanan”. Salah satu penggerak ekonomi bawah ini akan tersingkir, dan pemilik SPBU akan merebut pasar mereka.
Perkara Pertamina harus nombok tadi, harus dilihat sudut pandang lain. Jika benar harga Pertamax sebenarnya menyentuh angka 16 ribu, apakah harus dinaikkan secara mendadak? Harga Pertamax 16 ribu itu bukan hal yang sepele lho.
Jika memang ada nombok karena salah hitung, negara perlu bertanggung jawab menjaga kenaikan harga. Satu alasan, agar situasi ekonomi masyarakat tidak terpukul saat tengah berjuang bangkit dari pandemi.
Tapi, entah apa yang jadi pertimbangan DPR sehingga mengeluarkan statement yang mengerikan ini. Yang jelas, polemik telah bertumbuh. Dua geger karena minyak akan menjadi warna tersendiri di 2022. Warna yang lebih suram dari dua tahun sebelumnya. Dan rakyat, sekali lagi, akan jadi kelompok paling terdampak.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya