Hanya Ada 2 Tipe Orang yang Bisa Menetap di Jogja, yaitu Orang yang Berjiwa Wirausaha atau Orang yang Nggak Butuh Duit

Surat Terbuka untuk Pembenci Perantau di Jogja: Hanya Dhemit yang “Pribumi Jogja”, Kalian Bukan! konten kreator jogja

Surat Terbuka untuk Pembenci Perantau di Jogja: Hanya Dhemit yang “Pribumi Jogja”, Kalian Bukan! (Dhio Gandhi via Unsplash)

Jogja, kota yang istimewa katanya. Saya merasakan pengalaman 2 tahun hidup di kota ini sebagai mahasiswa pascasarjana dan bertemu jodohnya di kota ini. Setelah lulus, kami meninggalkan kota ini seperti orang lain pada umumnya.

Jujur, Jogja sangat nyaman, nyaman untuk mahasiswa. Namun sangat sulit bagi kami untuk kembali dan menetap di Jogja seperti harapan banyak orang, karena kami sadar, banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.

Jika kita bicara soal menetap dan bertahan hidup di kota ini, sepertinya hanya ada dua tipe orang yang bisa melakukannya.

Orang yang tidak memikirkan materi lah yang cocok hidup di Jogja

Pertama, mari bicara soal realitas ekonomi Jogja. Per 2024, Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY adalah salah satu yang paling rendah di Indonesia, yakni sekitar Rp2,1 juta per bulan. Angka ini jauh di bawah kota-kota besar lain seperti Jakarta, Surabaya, atau bahkan Semarang.

Ironisnya, biaya hidup di Jogja tidak lagi bisa disebut murah. Harga sewa kos dan rumah melonjak, terutama di wilayah-wilayah strategis dekat kampus atau pusat wisata. Harga makanan di banyak tempat juga tak kalah dengan kota-kota metropolitan.

Dalam kondisi seperti ini, orang yang bisa tetap hidup dan menetap di Jogja tanpa merasa terbebani secara ekonomi adalah tipe orang yang tidak terlalu memikirkan materi. Harus siap hidup pas-pasan atau bahasa halusnya hidup sederhana. Orang-orang seperti ini biasanya akademisi, seniman, aktivis, dan orang-orang yang memang memilih hidup sederhana demi mengejar idealisme, ketenangan batin, atau makna hidup.

Mereka rela menerima gaji pas-pasan, asal bisa hidup tenang, berkarya, atau menikmati suasana Jogja yang “pelan dan penuh makna”. Bagi mereka, uang bukanlah tujuan, tapi alat—dan bukan alat utama. Jogja menjadi tempat kontemplasi, bukan kompetisi.

Baca halaman selanjutnya

Jiwa wirausaha

Orang yang berjiwa wirausaha

Tipe kedua adalah orang yang berjiwa wirausaha. Mereka adalah individu yang tahu persis bahwa Jogja tidak memberi cukup jika hanya mengandalkan gaji UMP. Mereka membuka usaha. Entah kafe kecil, toko daring, jasa desain, makanan rumahan, bahkan produk digital, atau apa pun yang memiliki nilai jual dan dapat menghasilkan uang. Mereka jeli melihat peluang, memanfaatkan pasar mahasiswa, wisatawan, dan warga lokal yang semakin konsumtif.

Berbekal kreativitas, koneksi, dan keuletan, orang tipe ini bisa bertahan bahkan berkembang di tengah kerasnya realitas ekonomi Jogja. Mereka bukan hanya bertahan, tapi juga menciptakan peluang kerja bagi orang lain. Dalam diam, mereka membentuk ekosistem ekonomi alternatif di kota ini.

Sayangnya, di luar dua tipe ini, banyak yang akhirnya menyerah. Mereka yang menggantungkan hidup sepenuhnya dari gaji kecil, tapi memiliki kebutuhan ekonomi yang terus meningkat, cepat atau lambat akan merasa tersisih. Tidak sedikit orang muda Jogja yang akhirnya merantau, bukan karena tidak cinta kota ini, tapi karena kota ini tidak memberi cukup ruang untuk tumbuh secara ekonomi.

Jadi, apakah Jogja masih nyaman? Jawabannya bergantung dari mana kita melihatnya. Jogja tetap bisa menjadi kota yang nyaman dan bermakna, asal kita termasuk salah satu dari dua tipe tadi. Bagi mereka yang ingin hidup “biasa saja”, dengan penghasilan layak dan masa depan yang pasti, Jogja mungkin justru jadi kota yang berat.

Maka, sebelum memutuskan menetap di Jogja, mungkin kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah saya cukup ikhlas untuk tidak memikirkan materi, atau cukup nekat untuk jadi wirausaha? Jika tidak salah satu dari keduanya, Jogja hanya jadi destinasi libur panjang.

Penulis: Haqqi Hidayatullah
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Jogja, Kota yang Keburukannya (Entah Kenapa) Selalu Dimaafkan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version