5 Hal Normal di Lamongan tapi Susah Ditemukan di Jogja, Bikin Culture Shock Perantau

5 Hal Normal di Lamongan tapi Susah Ditemukan di Jogja, Bikin Culture Shock Perantau

5 Hal Normal di Lamongan tapi Susah Ditemukan di Jogja, Bikin Culture Shock Perantau (unsplash.com)

Sebagai warga asli Lamongan, saya masih ingat, dulu ketika awal merantau ke Jogja, saya sempat mengalami culture shock. Sebab, kondisi Jogja dan Lamongan ternyata cukup berbeda.

Bukan cuma soal pemilihan kepala daerah yang tentu saja berbeda, atau soal alun-alunnya yang tidak dipagar itu. Tapi ada lho beberapa “normal day” di Lamongan yang sulit saya temui di jogja. Misalnya beberapa perbedaan berikut ini.

#1 Umpatan di Jogja yang nggak ada serem-seremnya, beda sama di Lamongan

Sebagai warga Lamongan Jawa Timur yang menggunakan umpatan sebagai bahasa keseharian, saya kaget, ternyata di Jogja nggak boleh sembarangan mengumpat. Di warung kopi atau rental PS misalnya, saya nggak mendengar umpatan apa pun.

Usut punya usut, ternyata umpatan default orang Jogja adalah “bajigur”. Iya, kalian nggak salah baca, bajigur adalah sebuah umpatan di daerah istimewa ini. Saya bahkan nggak perlu menyensor kata umpatan tersebut karena bagi saya itu bukan kata yang kotor.

Ketika mendengarnya di awal, saya bahkan membatin, “Lho, ini umpatan?” Gimana ya, umpatan ini cukvp hambar bagi saya. Sebab, umpatan adalah luapan emosi ketika sedang merasakan sesuatu. Jadi, kata umpatan seharusnya terlihat garang dan seram. Lha, kalau bajigur apanya yang serem?

#2 Pengendara yang adu mulut di jalan sampai misuh-misuh, di Jogja nggak ada

Memang sudah bukan rahasia lagi jika salah satu sisi istimewa Jogja adalah masyarakatnya yang ramah, bahkan ketika berkendara. Sedikit gambaran, pengendara motor di Jogja itu benar-benar jauh dari kata barbar.

Setidaknya ketika saya tinggal di Jogja, saya belum pernah adu mulut antarpengendara. Ketika ada pengendara yang dirasa ngawur, paling mentok ya diklakson. Nggak ada ceritanya sampai dipisuhi, atau sampai adu jotos.

Kalau menemui pengendara ugal-ugalan, mungkin itu special case. Itu pun biasanya plat B, ya. Biasanya, lho, ya, sebab orang Jogja memang adem ayem kalau berkendara. Agak berbeda dengan di Lamongan.

#3 Panggilan sampean untuk orang yang nggak dikenal

Ketika menetap di Jogja, saya jadi merasa berdosa. Coba bayangkan, ketika ada di rumah, saya memanggil orang tua kandung menggunakan panggilan “sampean”, tapi pas di Jogja, saya memanggil orang yang nggak dikenal dengan sebutan “njenengan”.

Dalam strata gramatika bahasa Jawa, kasta “njenengan” lebih tinggi daripada “sampean”. Masyarakat Jogja memang sudah terbiasa menggunakan bahasa Jawa yang halus. Bahkan untuk orang yang nggak dikenal.

Hal ini agak berbeda dengan budaya di Jawa Timur, khususnya daerah Pantura. Di sana, kata ganti “njenengan” hanya digunakan untuk orang yang sangat dihormati. Misalnya guru, tokoh masyarakat, kakek, nenek, dll. Sementara untuk orang asing yang terlihat lebih tua, tetap manggilnya “sampean”.

Saya sendiri pun ketika memanggil orang tua kandung menggunakan kata ganti “sampean”, bukan “njenengan”. Ini bukan karena saya durhaka, lho, tapi penyebutan seperti itu memang normal saja di daerah asal saya, Lamongan.

#4 Kuliner yang berbumbu pekat dan nggak manis hal yang biasa di Lamongan

Ini salah satu yang bikin saya nggak betah di awal merantau ke Jogja. Kuliner di sini kebanyakan rasanya manis, sangat nggak cocok untuk lidah orang Jawa Timur. Begitu pula dengan makanan mainstream seperti pecel, soto, dan mie ayam rasanya sedikit berbeda di lidah saya.

Kuliner soto, misalnya. Di Jogja, kebanyakan soto kuahnya bening. Beda dengan di Lamongan yang memakai soya sehingga warnanya agak kekuningan. Mie ayam pun demikian. Bahkan saya menghindari rekomendasi mie ayam dari warga Jogja. Bukan gimana-gimana ya, tapi lidah orang Jawa Timur ini kurang cocok sama mie ayam yang agak ada rasa manisnya itu.

#5 Jalan berlubang, banjir, keterbatasan ruang terbuka hijau

Iya, banyak hal di Jogja yang sangat bisa diromantisasi. Bahkan kemacetan Gejayan yang bikin misuh itu pun bisa lho diromantisasi. Edyan memang. Hal ini berbeda dengan Lamongan yang nggak bisa diromantisasi sama sekali.

Ya gimana, nggak ada sisi romantisnya. Kondisi jalan Lamongan saja lebih banyak yang berlubang. Kemudian tiap musim hujan pasti ada wilayah yang selalu banjir. Ruang terbuka hijau juga nggak banyak.

Namun justru itulah yang membuat saya bangga terhadap Lamongan. Sebab, akhirnya Kabupaten Lamongan hanya bisa dicintai apa adanya. Pun dengan menghilangkan romantisasi, masalah yang ada di sebuah kota jadi terlihat, nggak ketutup romantisasi saja.

Ya masa ada masalah UMR dan kesenjangan sosial malah dikasih tagline kota istimewa, terus solusinya apa? Bersyukur? Atau naiknya exposure?

Duh, pokoknya gitu lah. Meski ada banyak penjual pecel lele Lamongan di Jogja, tapi kedua kota ini selalu punya perbedaan yang kentara. Namun bagi saya, pengalaman tinggal dua tahun di Jogja adalah hal yang menyenangkan. Full kenangan pokoke.

Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Meromantisisasi Lamongan Adalah Hal yang Mustahil, Kota Ini Tercipta untuk Dicintai Apa Adanya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version