Sebagai seorang pendeta, saya tergabung dalam beberapa komunitas sesama pendeta. Ada yang skalanya se-kabupaten/kota, ada yang berskala provinsi, ada juga yang nasional. Nah, saat kumpul-kumpul bareng pendeta lain, tentu banyak hal yang biasanya kami bicarakan. Acara kumpul-kumpul tersebut ada yang bersifat formal, ada juga yang informal dan lebih santai.
Untuk acara yang bersifat formal, waktu untuk bercengkerama sangat terbatas. Biasanya kami disibukkan dengan agenda-agenda rapat yang padat merayap. Belum lagi kalau rapatnya berhubungan dengan suatu keputusan penting, kepala bisa panas dengan berbagai perbedaan pendapat yang ada. Jadi, yaaa… lebih terkesan kaku, kayak kanebo kering.
Nah, untuk acara kumpul-kumpul informal, pastinya suasana lebih cair dan gayeng. Saya sangat menikmati perbincangan yang nggak dibebani rangkaian agenda berat, atau adu argumen yang nggak jelas juntrungannya. Pembicaraan gayeng macam itu sering saya jumpai di perkumpulan pendeta skala se-kabupaten.
Penasaran nggak sih apa saja yang dibicarakan para pendeta saat sedang kumpul bareng?
#1 Kondisi kesehatan
Kesehatan adalah hal yang utama dalam kehidupan. Prinsip itu pun yang diamini para pendeta. Maka saat bertemu satu sama lain, topik kesehatan tak luput dibicarakan. Saling memperhatikan kesehatan satu sama lain adalah hal yang wajib. Pertanyaan seperti, “Halo, Pak. Wah, kok kurusan sekarang? Lagi sakit?” hampir selalu ditanyakan. Bahkan kadang para pendeta saling pamer hasil cek lab masing-masing,
“Puji Tuhan, kolesterol saya normal, gula darah juga oke. Cuma ya itu, trigliserida-nya di atas ambang batas normal,” yang langsung ditimpali nasihat, “Wah, kebanyakan gorengan tuh. Tempe kemulnya dikurangin lah.”
#2 Curhat tentang jemaat
Pendeta nggak dapat dilepaskan dari jemaat, demikian pula sebaliknya. Maka, topik tentang jemaat jadi menu yang biasanya dibahas para pendeta saat kumpul bareng.
Pembicaraan akan semakin seru ketika membahas jemaat-jemaat yang bandel, bermasalah, atau suka “jalan-jalan”.
Tentang jemaat bandel, cirinya susah banget diajak setia beribadah. Ada saja alasan yang dikemukakan si jemaat. Setelah mendengar masalah tentang jemaat bandel, biasanya para pendeta senior akan memberi petuah-petuah tentang bagaimana pendekatan yang sebaiknya dilakukan terhadap jemaat tersebut.
Mengenai jemaat bermasalah, biasanya disebabkan adanya satu kasus yang cukup mencolok, sehingga memberi dampak yang lumayan mengkhawatirkan. Contohnya, ada jemaat di suatu gereja yang melakukan penginjilan terbuka untuk mempengaruhi pengikut agama lain agar mau berpindah agama. Masalah seperti ini kan bisa bikin suasana kerukunan antarumat beragama menjadi keruh. Lantas, para pendeta akan bersepakat untuk melakukan langkah-langkah preventif agar hal tersebut nggak berlanjut.
Tentang jemaat yang suka “jalan-jalan” ini juga tak kalah seru. Apalagi kalau jemaat tersebut berpindah-pindah gereja di dalam satu kabupaten/kota, ya tentu jadi omongan. Dulu di GKI, sekarang di GPdI, eh, tahu-tahu besok sudah di GBI. Lama-lama bisa pindah agama. Kalau nggak puas, malah bisa bikin agama baru. Eh.
Ada saja yang bertanya, “Si anu masih bergereja di tempatmu?”
“Oh, sudah nggak, Pak. Sekarang kalau nggak salah di gereja X.”
Masalah akan menjadi semakin runyam apabila perpindahan jemaat dari satu gereja ke gereja lain nggak disertai surat resmi. Nanti, kalau ada apa-apa, misalnya wafat, gereja mana yang berkewajiban untuk melaksanan upacara penguburan? Nah.
#3 Saling membandingkan kenyamanan
Selanjutnya, tentang membandingkan kenyamanan—dan biasanya kemapanan—juga menjadi topik yang dibicarakan saat kumpul bareng. Kehidupan pendeta yang ada di gereja presbiterial, tentu berbeda dengan pendeta di gereja pentakosta atau karismatik. Di gereja presbiterial, ada sistem penggajian pendeta. Sedangkan di gereja pentakosta dan karismatik, pendeta mendapat penghidupan dari perpuluhan yang diberi jemaat.
Dialog semacam ini menjadi gambarannya,
“Wah, enak ya di gerejamu, sudah dapat tempat tinggal, digaji pula.”
“Weladalah, jangan salah bro. Meski digaji dan diberi tempat tinggal, kami sangat terbatas dalam mengeksekusi suatu kebijakan karena kami menganut sistem kemajelisan. Enak di tempatmu lah, penghidupannya dari perpuluhan,”
“Duh, jangan salah, Mas. Perpuluhan itu kan bukan paksaan, ya? Kami hanya dapat mengimbau jemaat untuk memberi perpuluhan. Kalau hati mereka nggak tergerak, ya mereka bebas untuk nggak memberi perpuluhan.”
“Oalah,”
“Hahaha” (ketawa bareng)
Kegayengan, keakraban, dan kesatuan menjadi tujuan dari kumpul-kumpul para pendeta. Maka, ketika mereka berkumpul, canda dan gelak tawa adalah hal yang lumrah dijumpai.
Lho, apakah saat kumpul bareng, mereka nggak membahas masalah doktrin atau masalah teologi? Wah, pergumulan dalam jemaat sehari-hari saja sudah menjadi beban pikiran, masa kalau kumpul bareng pendeta malah bahas teologi dan doktrin lagi? Bisa tambah pusing, dong. Pendeta kan juga manusia~
Penulis: Yesaya Sihombing
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Cerita di Balik Sekolah Teologi: Calon Pendeta Juga Manusia Biasa.