Hadiah untuk dosen pembimbing itu nggak perlu, mending buat saya aja.
Beberapa hari lalu, ada satu pesan masuk dari salah seorang teman. Dia adalah teman lama, teman yang sedang berjuang untuk lulus dari kampusnya setelah 7 tahun kuliah. Kebetulan saya memang mengikuti perkembangan skripsinya, wong saya ikut membantu menyelesaikannya.
Akan tetapi, pesan dari teman saya kali ini bukan bertanya soal skripsi. Dia menanyakan sebuah pertanyaan sederhana yang anehnya membuat saya berpikir agak keras. “Kira-kira aku perlu ngasih hadiah ke dosen pembimbing, nggak?” begitu tanyanya singkat.
Pesan ini lama tidak saya balas. Saya benar-benar berpikir keras. Apakah memang ada tradisi memberi hadiah kepada dosen pembimbing? Soalnya, selama 4,5 tahun kuliah, saya jarang mengetahui ada tradisi memberi hadiah kepada dosen pembimbing. Ada, tapi tidak banyak. Pun ketika beres skripsian dan lulus, saya juga tidak memberi hadiah kepada dosen pembimbing. Menurut saya, ucapan terima kasih saja sudah cukup.
Pertanyaan teman saya ini belum saya jawab. Saya melempar pertanyaan ini ke grup kelas saya waktu kuliah, grup yang akhir-akhir ini sudah mirip pertandingan Arema FC pasca Tragedi Kanjuruhan, sepi. Teman-teman saya ternyata memberikan jawaban dan pendapat yang beragam.
Hadiah untuk dosen pembimbing berpotensi gratifikasi
Teman-teman saya ada yang merasa, memberi hadian untuk dosen itu wajar saja. Di beberapa kampus, memberi hadiah untuk dosen pembimbing bahkan sudah jadi tradisi. Beberapa teman yang lain berpendapat, hadiah untuk dosen pembimbing itu tidak perlu. Sebab, selain bakal merepotkan kedua belah pihak—baik mahasiswa atau dosennya—hal ini bisa masuk sebagai gratifikasi. Di beberapa kampus bahkan sudah ada peringatan untuk tidak memberikan hadiah kepada dosen pembimbing.
Jawaban serupa juga saya temukan di Quora. Ada satu jawaban yang cukup otoritatif, jawaban dari salah satu dosen universitas swasta di Jawa Timur. Menurutnya, pemberian hadiah kepada dosen pembimbing ini tidak perlu dilakukan. Alasannya jelas, yaitu gratifikasi. Karena setiap hadiah yang diterima dosen (terutama hadiah yang bersifat materi) harus dilaporkan ke otoritas kampus, dan harus memberikan alasan mengapa hadiah ini tidak bisa ditolak.
Tidak perlu hadiah demi menjaga hubungan baik
Skripsi itu sebenarnya sudah cukup membuat kita mumet sepanjang hari. Mengerjakannya butuh mental yang kemauan yang kuat serta solid. Belum lagi proses bimbingannya yang kerap membuat menghela napas panjang karena dosen yang susah ditemui. Semua itu jangan ditambah dengan kebingungan memikirkan hadiah untuk dosen pembimbing.
Menurut saya, tidak ada urgensi dalam pemberian hadiah kepada dosen pembimbing. Dalam konteks skripsi, sudah jadi tugas dan tanggung jawab dosen untuk membimbing mahasiswan dalam pengerjaan skripsi. Jika sukses, ya berarti itu berarti keberhasilan kedua belah pihak. Adanya hadiah ditakutkan akan mengganggu hubungan profesionalitas antara mahasiswa dan dosen pembimbing. Apalagi kalau hadiahnya diberikan ketika sebelum sidang, pasti akan lebih mencurigakan. Takut ada maksud tersembunyi di baliknya.
Sebenarnya, jangankan hadiah, memberi kudapan (snack, makanan, dan minuman) ketika sidang skripsi saja ada kampus yang tidak memperbolehkan. Beberapa kampus bahkan sampai menyediakan sendiri anggaran untuk kudapan dosen pembimbing dan penguji ketika skripsi. Mahasiswa tidak perlu menyediakan kudapan sehingga peluang tindakan menyeleweng bisa diminimalisir.
Akhirnya, pesan dari teman saya ini bisa saya balas dengan jawaban yang pas. Saya balas begini: “Nggak perlu diberi hadiah. Lagian, kamu mau ngasih hadiah apa? Lha wong duit yang kamu janjikan pada saya sebagai fee bantuan skripsi saja belum kamu bayar, kok. Kalau mau kasi hadiah, mending hadiahnya buat saya saja.” Dan teman saya hanya membalas singkat, “hehehe.”
Penulis: Iqbal AR
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.