Kisah Gusti Ahmad adalah kisah tentang derita yang tak berujung. Bahkan sebelum lahir pun, dia sudah menderita. Ah, kisah tentang Kraton Jogja memang tak pernah tak menarik.
Serial Game of Thrones memang sudah tamat. Namun, masih banyak yang membahas film seri penuh darah ini. Banyak yang cocoklogi mencari kesamaan adaptasi novel George. R. R. Martin di sejarah dunia. Gampang sih, sebab tidak ada sejarah peradaban yang bersih dari pertumpahan darah dan perebutan takhta.
Tak perlu jauh-jauh mencari ke penjuru dunia. Kasultanan Yogyakarta juga punya babak berdarahnya sendiri. Salah satunya adalah kisah pilu Gusti Raden Mas (GRM) Timur Muhammad, atau lebih dikenal sebagai Gusti Ahmad.
Perjalanan hidup Gusti Ahmad bak drama. Bahkan sejak awal kelahirannya, beliau sudah hidup dalam konflik takhta Keraton Jogja. Akhir hidupnya juga bagai tokoh utama dalam drama kolosal: terbuang jauh dari takhta yang menjadi haknya.
Daftar Isi
Kisahnya tragis, bahkan sebelum lahir
Gusti Ahmad adalah putra satu-satunya dari Sri Sultan HB V. Sejak lahir, Gusti Ahmad tidak pernah bertemu sang ayah yang menjadi raja di Jogja. Maklum, 13 hari sebelum kelahiran Gusti Ahmad, sang ayah dibunuh secara keji oleh selirnya.
Sultan HB V ditikam oleh Kanjeng Mas Hemawati pada 5 Juni 1855. Alasan sang selir membunuh HB V sendiri tidak pernah jelas. Dan sebagaimana pembunuhan misterius pada umumnya, banyak teori konspirasi dalam tragedi pembunuhan HB V.
Ada yang bilang HB V dibunuh karena lemah dalam pemerintahan. Ada yang menganggap Kanjeng Mas Hemawati membunuh atas perintah orang dalam Keraton. Bahkan ada teori gila perihal kecenderungan seksual HB V. Sayang sekali, tidak ada pernyataan resmi perihal tragedi ini dari Kraton Jogja.
Dari website kratonjogja.id saja, kisah HB V hanya berakhir dengan wafat tanpa meninggalkan keturunan. Permaisuri pertama GKR Kencono tidak berputra. Sedangkan permaisuri kedua GKR Sekar Kedhaton sedang hamil saat HB V terbunuh. Tiga belas hari setelah mangkatnya HB V, barulah GKR Sekar Kedhaton melahirkan Gusti Ahmad pada 18 Juni 1855.
Oleh karena tidak memiliki keturunan saat wafat, maka posisi sultan diserahkan pada adik HB V, Gusti Raden Mas (GRM) Mustojo. Dipilihnya GRM Mustojo ini melibatkan Belanda sebagai pendukung. GRM Mustojo naik takhta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono VI, meneruskan gelar sang kakak.
Awalnya, Sri Sultan HB VI hanya menjabat sementara. Ketika Gusti Ahmad telah dewasa dan siap naik takhta, maka Sultan HB VI akan turun takhta. Dengan turun takhtanya HB VI, maka Gusti Ahmad naik takhta sebagai raja yang sah dari Kasultanan Yogyakarta.
Happy ending, folks? Harusnya sih seperti itu. Harusnya.
Gusti Ahmad malah terbuang
Jika suksesi kekuasaan ini berjalan seperti seharusnya, saya tidak akan membagikan kisah ini. Toh dari judul saja sudah tersirat bahwa kisah Gusti Ahmad ini kisah yang memilukan.
Yang terjadi (sudah bisa ditebak sih), Sultan HB VI tetap menjabat sampai wafat pada 20 Juli 1877. Setelah Sultan HB VI wafat, seharusnya Gusti Ahmad yang diangkat sebagai Sultan. Tapi, yang terjadi, beliau terbuang.
GRM Murtejo sebagai putra Sultan HB VI diangkat menggantikan sang ayah. Pengangkatan raja yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono VII ini menimbulkan polemik. Banyak yang merasa bahwa Gusti Ahmad lebih layak menjadi raja baru. Toh Sultan HB VI hanyalah adik Sultan HB V yang naik takhta karena kondisi serba sulit.
Namun, Sultan HB VII tetap bertakhta. Dan demi mempertahankan kekuasaan, beliau menangkap Gusti Ahmad dan ibunya GKR Sekar Kedhaton. Tuduhan yang diberikan pada ibu dan anak ini adalah pembangkangan kepada kesultanan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Gusti Ahmad benar-benar memberontak dan angkat senjata bersama simpatisannya.
Dua versi kisah Gusti Ahmad
Ada dua versi dari kisah ini. Beberapa sumber menyatakan bahwa beliau dan GKR Sekar Kedhaton ditangkap di dalam Kraton, lalu dibuang ke Manado di Sulawesi Utara. Versi ini paling banyak disebut dalam berbagai buku sejarah. Yang jelas tidak pernah disebut dalam sejarah resmi Kraton Jogja.
Ketika saya mengonsultasikan kisah ini pada bapak saya (yang lagi-lagi jadi tempat berguru saya), beliau menjelaskan versi lain. Sebuah versi yang tidak banyak dibahas, namun berakhir sebagai buah bibir di antara pengamat sejarah Keraton.
Versi ini menyatakan bahwa Gusti Ahmad dan GKR Sekar Kedhaton melarikan diri pada saat HB VI berkuasa. Alasan ibu dan anak ini lari sudah bisa ditebak: kabur dari ancaman HB VI yang berniat menghilangkan garis keturunan sah HB V.
Pada pemerintahan HB VII, ibu dan anak ini diburu. Tentu demi amannya takhta HB VII dari penggulingan oleh simpatisan beliau. Perburuan yang konon pernah mencapai Singapura ini berakhir di Manado. Di sanalah Gusti Ahmad dan GKR Sekar Kedhaton terbuang hingga akhir hayatnya.
Di Manado, Gusti Ahmad menikah dan memiliki keturunan. Hingga hari ini, keturunan beliau masih memandang bahwa beliau adalah putra mahkota HB V dan pantas meneruskan pemerintahan sang ayah. Sayang sekali, satu-satunya garis keturunan HB V ini terputus dari takhta Kesultanan Yogyakarta.
Yang tersisa dari sebuah nestapa
Pemerintahan Sultan HB VII dilanjutkan oleh Sultan HB VII, HB IX, hingga HB X. Kesemuanya bukanlah keturunan dari Sultan HB V. Tragedi berdarah ini mengubah jalannya tampuk pemerintahan Keraton Jogja hingga sekarang.
Yang tersisa dari Gusti Ahmad hanyalah makam di Manado. Beliau meninggal pada 12 Januari 1901. Beliau meninggal lebih dulu dari sang ibunda yang meninggal pada 25 Mei 1919.
Makam sederhana di timur jauh Kesultanan Yogyakarta ini menjadi pertanda dari kejamnya politik kekuasaan. Sekaligus menjadi pengingat dari tragedi berdarah yang pernah terjadi di Kraton Jogja. Sebuah tragedi yang mengubah garis keturunan Keraton Jogja hingga hari ini.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Misteri Sri Sultan HB VII: Putra Mahkota yang Mati Misterius dan Kutukan kepada Seluruh Raja Jogja