Gudeg kaleng Jogja inovasi yang apik, tapi tetap ada saja sisi mengecewakannya.
Berkunjung ke suatu daerah kurang lengkap tanpa mencicipi makanan khas yang menjadi ikon daerah tersebut. Misal, mendoan Purwokerto, coto makassar, gudeg Jogja. Tak jarang, cita rasa dari kuliner khas ini mendatangkan rindu. Rindu yang kemudian membuat kita jadi pengen balik lagi ke sana. Singkatnya, dari lidah turun ke hati.
Beruntung, rindu itu bisa dipangkas berkat adanya perkembangan teknologi di bidang pengolahan dan pengemasan makanan. Misalnya, ketika kita kangen dengan rasa asli gudeg Jogja. Alih-alih beli tiket kereta atau pesawat ke Jogja, kita tinggal duduk manis saja. Buka marketplace, klik gudeg di pencarian dan… tarraaa, ada gudeg kaleng berbagai merek yang bisa kita masukan dalam keranjang. Rindu pun terbayar lunas.
Gudeg kaleng memang menawarkan kepraktisan, tapi inovasi produk yang satu ini tetap punya cela. Hati dan lidah saya benar-benar nggak bisa bohong
Daftar Isi
Pengawet mengubah rasa dan tekstur gudeg
Pertama dan yang paling utama adalah perubahan rasa dan tekstur. Bagi beberapa orang, rasa gudeg kaleng mungkin terasa sama saja dengan gudeg yang dibeli secara langsung di Jogja. Tapi, bagi yang lidahnya sudah sering bermain rasa, pasti sepakat bahwa rasa gudeg kaleng sedikit berbeda dengan rasa gudeg yang dimakan langsung on the spot.
Bedanya gimana?
Gudeg kaleng ini kalau dimakan sebenarnya enak sih, hanya saja terasa kurang sedep. Tebakan saya, hal tersebut terjadi karena efek samping pengolahan bahan makanan menggunakan kaleng. Seperti yang kita tahu, proses mengemas makanan kaleng mesti melewati proses pemanasan. Proses ini berpotensi mengurangi kesegaran dan cita rasa makanan.
Selain itu, proses panjang saat pengemasan makanan itu juga berdampak pada perubahan tekstur makanan. Lihat saja, jika kita bandingkan, gudeg kaleng punya tekstur yang lebih kering dibanding gudeg yang dimakan on the spot. Nah, dengan tekstur yang lebih kering ini, bumbu pada gudeg kaleng tidak bisa meresap sampai ke lapisan nasi paling dasar. Alhasil, ya… itu tadi. Makan gudeg jadi terasa kurang sedep.
Gudeg kok tanpa opor?
Selain gudegnya yang bertekstur lebih kering, telur pada gudeg kaleng juga bermasalah. Pasalnya, tekstur luar telur agak keras dibanding telur pada gudeg yang dimakan langsung on the spot. Kalau kamu tipe orang yang suka telur pindang dengan tekstur lembut, nemu telur model yang ada di gudeg kaleng pasti bikin kamu senewen. Bakal makin senewen lagi karena di dalam kemasan gudeg kaleng ini tidak ada opor ayamnya.
Lha, gudeg kok tanpa opor?
Bagi saya, lagi-lagi ini bagi saya loh ya, makan gudeg tanpa opor itu suatu kecacatan yang tidak bisa dimaafkan. Okelah dalam sekaleng gudeg sudah ada isian lain yang menemani, seperti krecek, tahu, dan telur. Ada juga gudeg kaleng varian ayam suwir. Namun, maaf-maaf aja nih, ayam suwir beda dengan opor ayam. Dan teman terbaik untuk menemani satu porsi gudeg adalah opor ayam, bukan ayam suwir. Titik.
Dilema saat mau dipanaskan
Kekurangan lain dari gudeg kaleng ada pada saat mau dikonsumsi. Kita pasti sepakat bahwa makan gudeg kondisi adem itu nggak enak. Itu mengapa, gudeg kaleng ini perlu dipanaskan dulu sebelum dimakan. Masalahnya, memanaskan gudeg kaleng bisa menimbulkan dilema.
Mau dipanaskan dengan model ditambahkan sedikit air di wajan (karena gudeg kaleng ini sangat kering, jadi takut gosong kalau nggak ditambah air), hasilnya justru lembek. Kalau kata orang Tegal “mbledreg”. Tapi, kalau dipanaskan tanpa tambah air, alias cuma oseng-oseng sebentar di wajan atau panci, bakal tercium bau gosong.
Menghangatkan gudeg kaleng cara dikukus pun sama saja. Secara harfiah, mengukus adalah proses mengolah bahan makanan dengan menggunakan uap panas yang berasal dari air mendidih melalui sebuah wadah yang tertutup. Nah, biasanya, hasil akhir makanan yang dikukus ini cenderung basah, lunak, dan juga lembab. Kan, jadi berkurang deh selera makan gudegnya.
Bahaya di balik kaleng kemasan kaleng
Terakhir, kekurangan gudeg kaleng ini ada pada potensi gangguan kesehatan yang ditimbulkan dari kemasan kaleng yang digunakan. Rata-rata, masa kadaluwarsa gudeg kaleng adalah sekitar 24 bulan atau dua tahun. Padahal, saat makanan disimpan dalam kemasan kaleng dalam jangka waktu yang lama, makanan tersebut berpotensi tercemar zat kimia SN atau stanum.
Nah, zat kimia SN atau stanum ini, menurut sebuah penelitian ilmiah World Journal of Gastroenterology, jika mengendap dalam usus manusia akan menimbulkan gangguan pencernaan, seperti mual ingin muntah, dan rasa sakit pada perut.
Selain itu, makanan kaleng yang dibiarkan berbulan-bulan akan menjadi sarang bakteri berbahaya yang bernama Clostridium. Clostridium kemudian menghasilkan spora, dan spora akan menghasilkan racun yang jika masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan keracunan makanan parah, sekalipun dikonsumsi dalam jumlah kecil. Minimal, bikin gatal pada tenggorokan.
Apakah ini berarti kalau pengin gudeg mending langsung ke Jogja aja?
Ya, monggo. Selama cuti di acc dan duitnya ada, kenapa nggak? Meskipun kata salah satu redaktur Terminal Mojok, kalau ada yang ke Jogja, bakal dia ajak keluar lagi, wkwkwk.
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 5 Kuliner Tegal yang Layak Dikenal Lebih Luas, Ayo Orang Tegal Jangan Buka Warteg Melulu
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.