Umumnya, bicara kejayaan Majapahit sorot mata sejarah sering tertuju pada tokoh-tokoh sentral seperti Pangeran Wijaya–pendiri Majapahit, Hayam Wuruk–raja yang punya karier amat gemilang, dan Gajah Mada–sang mahapatih yang memperluas wilayah hingga seantero Nusantara. Namun, tidak banyak yang tahu tentang sosok perempuan Gayatri Rajapatni. Padahal, di balik karier mereka, ada kecerdasan Gayatri yang menopangnya.
Siapa sebenarnya Gayatri Rajapatni?
Sosok yang oleh Earl Drake dalam bukunya Gayatri Rajapatni: Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit diyakini sebagai subjek arca Dewi Prajnaparamita, yang melambangkan kebijaksanaan.
“Bukannya arca Prajnaparamita dari Jawa adalah merujuk pada sosok Ken Dedes, ratu pertama Singasari?”
Dalam hal ini, memang ada pemahaman yang berkembang tentang arca Prajnaparamita adalah sosok Ken Dedes, dan ada juga yang meyakininya sebagai Gayatri Rajapatni. Selain itu, salah seorang kakak Gayatri juga ada yang memiliki gelar sebagai Prajnaparamita, yaitu Jayendradewi. Yang jelas ketiga perempuan ini, dalam sejarah Nusantara, merupakan ibu bangsa dengan kebijaksanaan yang tinggi.
Earl Drake menjelaskan, “…dewi (Prajnaparamita) adalah ‘kekuasaan tertinggi sejagat yang mengada dengan sendirinya, Ibu universal, dan musabab pertama.’ Selama hidupnya, Ratu Gayatri memainkan peranan-peranan seperti sang dewi. Ia adalah rantai pembaharu antara ayahnya, raja terakhir (Singasari)…. Ia leluhur Dinasti Majapahit dan ‘musabab pertama’ keluarga kerajaan (Majapahit).”
Gayatri merupakan putri Raja Kertanagara, penguasa terakhir Singasari. Dia bungsu dari empat bersaudara. Namanya Dyah Dewi Gayatri Kumara Rajassa. Ada pun “rajapatni” adalah gelar untuknya setelah menjadi istri utama pendiri Majapahit, Kertarajasa Jayawardhana alias Pangeran Wijaya–Kertarajasa mendirikan Majapahit pada 1293. Sebagaimana diketahui bahwa Wijaya menikahi semua anak Kertanagara: Sri Parameswari Tribhuwana, Duhita Prakacita Mahadewi, Prajnaparamita Jayendradewi, dan Gayatri yang bergelar Rajapatni (istri raja).
Diceritakan bahwa Gayatri adalah anak yang punya kemauan belajar tinggi. Dia menyelami ajaran Buddhis serta berbagai cerita wayang yang sarat pesan kebaikan hidup. Tidak hanya itu, Gayatri juga mendapat banyak kebijaksanaan dari ayahnya. Dia tumbuh menjadi perempuan Jawa yang visioner (orang yang punya wawasan ke masa depan).
Tenang, cerdas, dan berwawasan luas, sifat Gayatri ini sangat membantu suaminya dalam mengembangkan kerajaan yang baru didirikan. Wijaya pun selalu meminta pandangan Gayatri pada berbagai tindakan yang akan dilakukan dalam upaya memajukan Majapahit.
Earl Drake menggambarkan bahwa Wijaya selalu mendapatkan ilham dari Gayatri. Perihal meredam pemberontakan. Mengupayakan persatuan antara pedalaman dan pesisir Jawa. Menyikapi pendatang asing. Dan, berbagai obrolan tentang kebijakan negara selalu menghiasi percakapan pasangan ini. Kebijaksanaan Gayatri menopang Wijaya dalam memajukan Majapahit. Prasasti di Pananggungan–sebagaimana saya kutip dari Earl Drake–menggambarkan: “hubungan Gayatri dengan sang raja sudah seperti antara (Dewi) Uma dan Dewa Syiwa.”
Pasca kematian Wijaya, Gayatri tidak ingin menikah lagi dan memutuskan menjadi biksuni. Dia undur dari hiruk pikuk keduniaan. Meski demikian, posisinya sebagai ibu suci Majapahit mengharuskannya untuk selalu membimbing para penerus kerajaan agar memerintah dalam jalan kebijaksanaan. Dia menjadi dalang di balik suksesnya pewayangan Majapahit.
Takhta Majapahit diwarisi anak lelaki satu-satunya Wijaya, yaitu Jayanegara yang memerintah sekitar 1309-1328. Mengenai sosok raja ini ada dua pemahaman yang berkembang. Pertama, Jayanegara adalah anak Darah Petak, permaisuri Wijaya yang merupakan seorang bangsawan Sumatera. Dan kedua, Jayanegara adalah anak Parameswari Tribhuwana (kakak sulung Gayatri). Selain itu, ada juga asumsi yang lahir dari dua pandangan itu, bahwa Jayanegara adalah anak Darah Petak, kemudian pasca kematiannya, pengasuhan sang anak diserahkan kepada Parameswari Tribhuwana.
Dikatakan kalau Jayanegara berwatak kurang baik dan memerintah dengan semena-mena. Tidak heran jika banyak pemberontakan yang terjadi di masanya. Satu di antaranya adalah huru-hara yang dilakukan Kuti di ibu kota kerajaan, yang membuat raja terpaksa harus menyingkir ke Badender.
Namun, tidak dengan Gayatri. Ibu suci Majapahit itu dicintai dan disegani oleh seluruh kalangan di kerajaan. Tidak ada orang di Majapahit yang berani semena-mena padanya. Sebagaimana dijelaskan Agus Aris Munandar dalam jurnalnya Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Masa Jawa Kuno: Era Majapahit, “Ra Kuti tidak dapat menguasai sepenuhnya Majapahit, karena simbol kuasa Majapahit masih dipegang oleh keturunan Rajassa, dialah Gayatri. Tokoh Gayatri tetap disegani oleh para pemberontak, ia tetap bersemayam di istana Majapahit bersama puterinya yang kelak menjadi ratu (perempuan penguasa Majapahit), Tribhuwanottunggadewi.”
Pemberontakan Kuti berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada. Dan, Jayanegara pun kembali lagi ke istana. Di kemudian hari, Jayanegara mangkat dengan tidak memiliki penerus takhta.
Bagaimana jika perempuan yang naik takhta?
Agaknya, ini adalah diskursus yang berkembang di Majapahit waktu itu. Sebab, Jayanegara tidak punya pewaris takhta, dan di sisi lain semua kebesaran sebagai penguasa Majapahit tertuju pada Gayatri. Dia adalah penerus darah raja-raja Singasari dan Rajapatni dari pendiri Majapahit. Orang-orang juga tidak menyoalkan klasifikasi laki-laki dan perempuan, karena yang terpenting adalah kompetensi sebagai pemimpin. Sehingga, semua setuju kalau sekiranya Gayatri dilantik sebagai ratu penguasa Majapahit.
Tapi, Gayatri yang sudah memutuskan mengambil jalan menjadi biksuni menolak tawaran itu. Dan, dia memberikan takhta Majapahit kepada anaknya, Tribhuwana. Perlu diketahui bahwa pernikahan Wijaya dan Gayatri melahirkan dua anak perempuan, yaitu Tribhuwana (diberi nama yang sama dengan kakak tertua Gayatri) dan Wiyah Rajadewi.
Tribhuwana diangkat menjadi ratu penguasa Majapahit. Dia memerintah–sekitar 1328-1350–dengan penuh kebijaksanaan. Sejarah mencatat, selama masa Kerajaan Majapahit, ada dua perempuan yang menjadi penguasa: Ratu Tribhuwana (1328-1350) dan Ratu Suhita (1429-1447).
Ketika sedang menjabat, Ratu Tribhuwana mendapatkan berkah dari Tuhan, yaitu seorang anak lelaki yang diberi nama Hayam Wuruk (Ayam Resi). Hayam Wuruk banyak belajar dari neneknya, Gayatri Rajapatni. Dia tumbuh menjadi orang dengan watak baik. Sejarah mengenangnya sebagai salah seorang raja yang gemilang.
Di masa Ratu Tribhuwana, Gajah Mada diangkat menjadi mahapatih. Pada pidatonya, sang mahapatih dengan gamblang mengemukakan visi menyatukan Nusantara dalam simpul Majapahit.
Dulu, ada pertanyaan dalam benak saya, kenapa Gajah Mada bisa memiliki visi seperti Kertanagara, raja terakhir Singasari, yang ingin menyatukan Nusantara?
Saya mendapatkan penerangan saat mempelajari sosok Gayatri Rajapatni. Sebagaimana diterangkan Earl Drake bahwa Gajah Mada memperoleh banyak pelajaran kenegaraan dari Gayatri. Termasuk yang diajarkan Gayatri adalah cita-cita ayahnya, Kertanagara, tentang Nusantara.
Siapa sangka jika di balik Sumpah Palapa yang mengguncang sejarah, ternyata ada sosok perempuan, Gayatri Rajapatni, sebagai guru sang mahapatih yang mengajarinya tentang gagasan penyatuan Nusantara.
Meski Gayatri memutuskan untuk tidak tampil di ruang publik, menolak takhta Majapahit dan lebih memilih menjadi biksuni. Namun, perannya sebagai ibu suci Majapahit sangat besar dalam membina kerajaan. Gagasan-gagasannya mengilhami para tokoh sentral yang membangun Majapahit.
Gayatri Rajapatni mangkat pada 1350. Prapanca mengabadikan bagaimana sosok Gayatri dikenang di masa Majapahit–sebagaimana saya kutip dari Earl Drake: “Tempat pemujaan Gayatri tersebar di mana-mana, didirikan sebagai candi peringatan di setiap daerah….”
Dia lah Gayatri Rajapatni, perempuan yang menjadi dalang di balik kejayaan Majapahit.
BACA JUGA Menguak Misteri Hilangnya Keraton Majapahit dan tulisan Moh. Rivaldi Abdul lainnya.