Daftar Isi
Menimbulkan masalah baru
Alih-alih membuat Terminal Purabaya terlihat modern, rapi, dan nyaman, automatic gate justru menimbulkan masalah baru. Saya mencatat sedikitnya ada tiga masalah di sana.
Pertama, terjadi kerumunan masa di entry gate karena penumpang berebut memotret QR code karena banner hanya ada satu, sementara penumpangnya ratusan. Entry gate yang seharunya membuat penumpang mengantre, malah seperti setitik gula yang dikerubungi semut. Ruwet!
Kedua, exit gate justru digunakan meeting poin atau titik kumpul para calo yang sudah siap menyerbu para penumpang yang hendak ke shelter bus. Mereka bergerombol di depan exit gate sehingga penumpang kesulitan lewat. Kami sudah seperti Nathan Tjoa On yang keluar dari pintu stadion lalu diserbu penonton bola yang barbar
Saya nggak lebay, kok, Rek. Ada banyak perempuan yang trauma dan akhirnya takut datang sendirian ke Terminal Purabaya karena gerombolan calo di lorong exit gate ini. Lorong yang panjangnya tak sampai 500 meter ini juga dijuluki jalur Gaza karena berbahaya dan membutuhkan keberanian untuk melewatinya.
Ketiga, lebih banyak petugas, tapi nggak berguna. SAG membuat jumlah petugas terlihat lebih banyak dari sebelumnya. Para petugas tersebut berjaga di entry gate dan exit gate. Sayangnya, petugas di exit gate nggak berguna karena mereka diam saja melihat penumpang dikerubungi calo. Seolah menganggap praktik calo adalah hal yang wajar.
Sistem gate yang canggih nggak akan membuat Terminal Purabaya jadi modern selama pengelolanya masih menggunakan cara kerja lama. Yakni memaklumi kehadiran preman dan calo.
Penumpang nggak butuh gate otomatis, kami lebih butuh calo di Terminal Purabaya dihilangkan
Ada banyak hal yang perlu diperbaiki di Terminal Purabaya. Ruang tunggu yang kurang nyaman memang menjadi salah satunya, tapi bukanlah yang utama. Jika pihak pengelola Terminal Purabaya benar-benar ingin membuat penumpang nyaman sebenarnya cukup lakukan dua hal saja.
Pertama, memberantas para calo. Pihak pengelola seharusnya bisa memastikan nggak ada calo berkeliaran di area terminal. Apalagi sampai bisa masuk lorong utama dan parkiran bus.
Kedua, jual tiket secara online. Selama ini tiket bus AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi) hanya bisa dibeli offline (dibeli saat kita sudah masuk ke dalam bus). Hal tersebut membuat banyak penumpang saling dorong dan rebutan naik bus.
Seharusnya pihak pengelola mewajibkan saja semua bus (AKAP, AKDP, AK, ADS) menggunakan e-ticket seperti yang sudah dilakukan oleh PT KAI. Selain membuat penumpang tertib (nggak saling dorong), e-ticket juga bisa mencegah PO bus berbuat curang dengan menaikkan tarif sesuka hatinya saat momen ramai.
E-tiket juga bisa membuat calo pergi dengan sendirinya, jika semua penumpang sudah memegang tiket sebelum masuk bus, calo mau menawarkan apa? Nggak ada.
Boleh dibilang hanya dengan memberlakukan e-ticket, dua masalah dapat teratasi sekaligus. Simple dan nggak ribet.
Digitalisasi jangan setengah-setengah
Kabarnya system automatic gate digunakan untuk mendukung program digitalisai terminal, sehingga nantinya Terminal Purabaya akan memberlakukan e-ticketing juga. Namun, semua itu masih sebatas rencana. Fakta di lapangannya nggak demikian. Saat ini automatic gate-nya bukan scan barcode di tiket, melainkan hanya dari banner.
Kalau memang Terminal Purabaya ingin menerapkan automatic gate dan melakukan tahap uji coba, seharusnya yang pertama dibuat bukan gate-nya, melainkan penjualan tiket onlinenya atau e-ticketnya. Tanpa SAG sekalipun, kalau tiket dibeli online dan penumpang sudah memiliki tiket sebelum masuk bus, calo yang berkerumun di depan shelter bus akan hilang dengan sendirinya.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Terminal Bungurasih Nggak Manusiawi. Bertahun-tahun Menyiksa Penumpang, Difabel Paling Menderita.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.