Semenjak harus berurusan dengan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), saya jadi sangat begah ketika mendengar bapak-bapak politisi berbicara tentang teknologi, apalagi dengan menggunakan jargon sok keren, seperti blockchain, big data, AI, industri 4.0, dan sebagainya.
Begini ceritanya, awal 2021, saya memutuskan untuk ingin memulai berinvestasi reksadana melalui sebuah platform daring. Saya melakukan berbagai tahap pendaftaran secara daring. Nah, sebelum berinvestasi, ternyata saya harus memiliki Single Investor Detector (SID). Permasalahannya adalah, saya tidak dapat membuat SID, lantaran Nomor Induk Kependudukan (NIK) milik saya tidak dapat ditemukan pada database Dukcapil.
Saya merasa aneh, sebelumnya saya bisa mengikuti pemilu, membuat kartu BPJS, dapat registrasi nomor telepon, tapi kok tiba-tiba NIK saya bisa tidak terdaftar pada database Dukcapil?
Tidak punya pilihan, saya harus mengurus masalah NIK ke Dukcapil terlebih dahulu. Setelah mencari informasi melalui Google, saya temukan call center Dukcapil. Layanan call center-nya sudah lumayan bagus lah, bisa dihubungi via pesan elektronik, juga pesan WhatsApp. Jujur, saya awalnya sedikit bahagia akan hal ini. Akhirnya, saya memutuskan untuk menghubungi Dukcapil melalui pesan WhatsApp.
Ternyata saya harus menelan kecewa. Hingga dua minggu, pesan WhatsApp saya ke Dukcapil tidak ditanggapi. Saya juga mencari cara dengan coba melapor kepada Dukcapil daerah sesuai domisili KTP, juga melalui daring—Google Forms. Hasilnya, sama saja tidak ada tanggapan. Hingga akhirnya, saya sudah tidak peduli lagi dengan NIK saya yang penuh masalah, dan saya telah mengurungkan niat untuk berinvestasi reksadana sementara waktu.
Waktu berlalu, HRD di tempat saya bekerja sekarang, menyarankan walau pendapatan saya belum menjadi wajib pajak, tapi agar saya tetap membuat NPWP. Saya mencoba untuk membuat NPWP secara daring, dan ternyata masalah yang saya dapatkan sebelumnya, kembali saya alami. NIK saya masih tetap bermasalah.
Saya memutuskan untuk membeli pulsa dan menghubungi call center Dukcapil. Customer service-nya lumayan sigap untuk menerima laporan. Telepon pertama saya berhasil membuahkan nomor tiket aduan. Saya disuruh menunggu beberapa hari kerja, nantinya Dukcapil akan menyampaikan pesan SMS jika masalah NIK saya telah teratasi.
Seminggu lebih tidak ada kabar, akhirnya saya mencoba kembali menelpon Dukcapil. Saya kembali mendapatkan respons serupa. Saya kembali disuruh menunggu dengan estimasi waktu yang tidak jelas.
Ternyata masalah NIK bermasalah ini, bukan hanya dihadapi oleh saya sendiri. Ibu saya juga memiliki masalah serupa. Saat ibu saya sedang ingin membuat sebuah akun dompet digital premium, ibu saya harus mengalami kegagalan karena NIK-nya yang juga bermasalah. Di Twitter, saya juga mendapati banyak orang yang gagal membuat kartu BPJS, gagal membuat NPWP, gagal registrasi nomor telepon lantaran NIK yang bermasalah.
Saya paham, mengurus data kependudukan ratusan juta orang memang tidaklah mudah. Saya bisa memaklumi bila memang ada kesalahan seperti NIK yang tidak terdaftar, atau tidak terverifikasi. Namun, jika sudah ada yang telah melapor melalui daring, prosesnya juga jangan kelamaan. Banyak hal, yang harus saya tunda, lantaran NIK saya yang tidak terdaftar, atau terverifikasi. Atau jangan-jangan saya harus melakukan suatu budaya lokal, yaitu mengunjungi kantor Dukcapil sambil membawa berkas fotokopi KTP, dan KK?
Pengalaman inilah yang membuat saya makin begah jika mendengar para politisi berbicara ketinggian tentang berbagai macam teknologi. Lha, kalau mengurus NIK yang tidak terdaftar, atau tidak terverifikasi saja masih lama dan tidak jelas begini.
Belum lagi, akhir-akhir ini berita tentang Bukit Algoritma di Sukabumi sedang santer dibicarakan. Proyek sebesar Rp18 triliun tersebut katanya akan seperti Silicon Valley, California. Haduh, makin begah saya mendengarnya. Dengan uang segitu mungkin Dukcapil bisa bekerja lebih baik, membangun infrastruktur pengamanan data elektronik, juga bisa membuat internet di Indonesia lebih merata, dan kencang.
Ah, sebetulnya saya capek. Namun, nggak ada pilihan, saya mau telepon Dukcapil lagi.
BACA JUGA Bukit Algoritma: Ide Besar yang Amat Kopong dan tulisan Muhammad Ikhsan Firdaus lainnya.