Meskipun saya tidak merokok, tapi saya suka dengan desain bungkus rokok. Menurut saya, desain bungkus rokok adalah sebuah karya seni. Apalagi bungkus yang lama. Setiap pabrikan punya karakteristik masing-masing. Mengoleksinya seperti yang pernah saya lihat di sebuah Museum di kota Malang terlihat sangat estetik. Saya jadi ingin punya sebuah bingkai yang berisi bungkus rokok jadul untuk dipajang.
Tapi, sejak pemerintah memutuskan untuk memberi gambar efek samping rokok seperti kanker paru-paru, kanker tenggorokan, dan penyakit lainnya, kemasannya terasa tidak indah lagi. Mungkin pemerintah ingin meniru keberhasilan Amerika Serikat yang jauh sebelum Indonesia memang sudah memasang gambar-gambar penyakit dan memang berhasil menurunkan angka perokok.
Ternyata penempelan gambar mengerikan tak terlalu berpengaruh di Indonesia. Mungkin, awal-awal memang banyak perokok yang merasa risih bahkan jijik dan mengurungkan niat untuk merokok, tapi itu hanya sementara. Kita sudah tahu sendiri bahwa orang Indonesia itu jagonya mengakali. Setiap ada rintangan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, orang Indonesia pasti selalu menemukan cara untuk mencapai tujuannya.
Berbagai cara dilakukan para perokok untuk menghapus gambar mengerikan itu. Seperti menempelinya dengan lakban, mengganti kemasan dengan kemasan lama, atau menguliti gambarnya sampai hilang. Di lain sisi, pemerintah sebenarnya juga setengah-setengah dalam misi mengurangi angka perokok. Bisa dilihat dari sebagian gambar yang ditempel, kadang terlihat tidak terlalu menyeramkan.
Salah satunya adalah gambar dengan dada terbungkus perban, juga gambar seorang pria merokok dengan gambar asap yang membentuk tengkorak. Secara visual, gambar-gambar itu tak terlalu menyeramkan sehingga seakan-akan memberi perokok alternatif. Dengan kemampuan orang Indonesia yang jago mengakali dan pilihan berupa gambar yang tak terlalu mengganggu, pantas saja angka perokok bukannya berkurang malah cenderung meningkat.
Ditambah lagi sekarang sudah banyak orang yang tak terlalu peduli dengan gambar-gambar tersebut. Mungkin karena sudah terbiasa dan meilhat setiap hari, gambar-gambar paru-paru yang rusak, gigi yang keropos, dan tenggorokan yang bolong sudah menjadi hal yang lumrah. Sama halnya seperti jika kita terbiasa dengan seseorang, walaupun awalnya tidak suka lama-lama akan biasa saja dan cenderung nyaman lalu timbul rasa suka. Seperti kata pepatah Jawa “witing tresno jalaran soko kulino”.
Jadi penempelan gambar-gambar yang menjijikkan dalam kemasan rokok adalah sebuah kesia-siaan belaka. Tujuannya untuk mengurangi angka perokok tidak berhasil. Wacana untuk meningkatkan cukai rokok yang mulai diberlakukan tahun depan juga rasanya tidak akan terlalu memberikan efek jera. Perokok pasti akan selalu mencari cara untuk bisa merokok meskipun harga rokok sangat mahal.
Malah, akan membuat para perokok yang awalnya membeli rokok legal, jadi beralih ke rokok ilegal yang harganya jauh lebih murah. Bayangkan saja, sebungkus rokok ilegal berisi dua puluh batang dijual dengan harga tujuh ribu rupiah. Kalaupun tak beralih ke rokok ilegal, para perokok masih bisa beli tembakau dan kertas rokok lalu melinting sendiri rokoknya. Banyak orang di kampung saya yang sekarang beralih pada rokok lintingan sendiri.
Selain murah, melinting rokok juga bisa sesuka hati kita. Apalagi sekarang aroma tembakau sudah tidak seperti dulu lagi. Ada berbagai macam aroma yang aneh-aneh. Contohnya aroma bubble gum. Dulu, mana ada tembakau dengan aroma permen karet. Saya sampai geleng-geleng kepala saat saudara saya membeli tembakau dengan tulisan “bubble gum” di kemasannya. Aneh-aneh saja memang, tapi itu salah satu bentuk inovasi sih.
Jadi sepertinya upaya pemerintah untuk mengurangi angka perokok masih cukup panjang dan sulit. Selain itu, sampai kapan pun sepertinya memang pemerintah akan setengah-setengah. Tidak bisa dimungkiri bahwa cukai rokok menyumbang angka yang besar pada pendapatan negara. Jika angka perokok turun drastis, pendapatan dari rokok juga pasti akan menurun drastis. Selama pemerintah belum menemukan industri baru yang sebesar rokok, maka selama itu pula upaya menurunkan angka perokok hanya akan setengah-setengah.
Daripada merusak desain bungkus rokok dengan gambar-gambar penyakit kanker, mending dihapus saja, toh tak menimbulkan efek seperti yang diinginkan. Biarlah para desainer bungkus rokok kembali berkarya dan karyanya terpajang indah di etalase-etalase dalam warung.
BACA JUGA Pengalaman tak Mengenakkan di Salah Satu Mal Kota Malang dan artikel Sigit Candra Lesmana lainnya.