Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Pojok Tubir

Gagal Branding, Alasan Orang Kaya Nggak Malu Beli Pertalite

Zamzam Muhammad Fuad oleh Zamzam Muhammad Fuad
20 September 2022
A A
Kasihan Motor Saya jika Pertalite Beneran Dihapus

Kasihan Motor Saya jika Pertalite Beneran Dihapus (unsplash.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Saat main ke Solo, saya melewati warung sate kere yang ramai pol. Anehnya, konsumen sate kere ini justru orang-orang berduit. Bermobil semua. Padahal kan, seperti terlihat dari namanya, sate kere identik dengan makanannya orang-orang “prihatin”. Lha ini kok bisa ya, orang kaya mau makan sate kere? Apa orang-orang kaya itu tidak malu?

Saat merenungi teka-teki tersebut, tiba-tiba saya ingat pada pejabat kita yang akhir-akhir ini sering mengeluh: mengapa orang-orang kaya, yang mobilnya mewah-mewah itu, mengisi mobilnya dengan Pertalite? Bukankah Pertalite itu bahan bakarnya kalangan menengah ke bawah? Apa mereka tidak malu?

Paradoks ini sebenarnya bisa dipahami kalau kita belajar ilmu branding. Ilmu ini meyakini bahwa produk tidak hanya persoalan bentuk (tangible), namun juga persoalan makna di dalamnya (intangible).

Gampangnya begini. Dua buah sepatu bisa memiliki kesan yang berbeda, walaupun produknya sama persis. Misal, sepatu A dijual di pasar tradisional kesannya akan lebih murahan dibanding sepatu B yang dijual di mall. Singkatnya, tugas branding adalah mengubah makna sebuah produk. Bisa upgrade, bisa downgrade.

Yang dimaksud upgrade adalah menaikkan citra prestise sebuah produk. Misalnya seperti yang dilakukan oleh penjual sate kere. Ia mengubah citra sate kere yang tadinya identik dengan kemiskinan menjadi makanan yang bernilai prestis. Itulah mengapa orang-orang kaya tidak malu lagi melahap sate kere.

Ada beberapa hal yang mungkin dilakukan oleh pemilik warung sate itu. Pertama, memodifikasi tempat makan, yang tadinya warung kaki lima pinggir jalan, menjadi warung di dalam kios, beralas keramik, dengan meja kursi yang bersih dan tertata rapi.

Kedua, pemilik warung juga menjual menu lain yang identik dengan makanan orang kaya seperti sate daging, ati, limpa, kikil, sop daging, dll. Dikeroyok oleh menu-menu ini, sate kere jadi terlihat naik kelas.

Namun, branding tidak hanya untuk meningkatkan prestise sebuah produk. Ada juga branding yang dilakukan untuk menurunkan atau downgrade prestise sebuah produk. Misal, dulu Pizza Hut adalah brand yang punya pasar kalangan menengah atas. Namun mengandalkan pasar menengah atas dianggap tidak cukup menyelamatkan Pizza Hut dari kebangkrutan. Akhirnya Pizza Hut berusaha meluaskan target marketnya. Perubahan strategi branding ini bisa dilihat ketika Pizza Hut terlihat lebih merakyat dengan berjualan “asongan” di pinggir jalan dan memberikan banyak diskon. Strategi ini sukses, karena faktanya Pizza Hut berhasil survive di tengah badai pandemi Covid 19.

Baca Juga:

5 Alasan Saya Menyesal Tidak “Hijrah” Jadi Pelanggan SPBU Shell sejak Dahulu

Suzuki Thunder, Raja Tangki Besar Penguras SPBU di Luwu Timur

Yang ingin saya katakan di sini adalah branding bisa digunakan untuk mengubah makna suatu produk. Branding bisa digunakan untuk menaikkan prestise, bisa juga untuk menurunkan prestige. Kalangan kelas menengah atas tentu akan lebih terdorong mengonsumsi produk bernilai prestise daripada terlihat miskin.

Nah kalau orang kaya tidak malu mengonsumsi BBM bersubsidi (Pertalite dan Biosolar), berarti ada kesalahan branding di situ. Alias, Pertamina gagal membranding Pertalite dan Biosolar sebagai produk yang pasarnya adalah kalangan orang-orang menengah ke bawah.

Kegagalan branding pertama adalah dari segi penamaan produk. Judul produk “Pertalite” dan “Biosolar” malah memberi kesan mewah dan menyasar pasar orang-orang kaya perkotaan. Sebab, dalam wacana sehari-hari, istilah “lite” dan “bio” sering menempel pada produk yang bersifat futuristik, efisien dan menguntungkan.

Misal, kita tentu akrab dengan istilah Facebook Lite. Dari laman resmi Facebook, diperoleh informasi bahwa versi “lite” dibuat untuk membantu penggunanya mengakses Facebook dengan cepat dan mudah. “Keeping up with friends is faster and easier than ever with the Facebook Lite app!”, demikian di laman resmi Facebook. Jadi, “lite” tidak ada kaitannya sama orang miskin. Malahan seolah-olah Pertamina bilang: “Bro, kalau kamu nggak kuat beli Pertamax, nih, pake versi ringannya aja, sama-sama bisa nge-gas kok”!

Sebenarnya berkaitan sih, lite kan ringan ya maksudnya. Tapi, dah sepakat aja ya, biar fafifu saya valid.

Bergeser ke nama Biosolar, menurut saya, nama itu justru kental sekali kesan mewahnya. Di kepala saya, sekali istilah “bio” disebut, yang terpikir adalah pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Misal, kampanye anti plastik, listrik bertenaga surya, dll. Sehingga istilah “bio” memiliki kesan yang sangat futuristik. Dan, pasar dari kampanye-kampanye seperti itu biasanya justru masyarakat menengah atas.

Selain penamaan, branding juga terkait dengan penataan produk. Anda tentu ingat bahwa Pertalite dan Pertamax biasanya diletakkan di SPBU dan pos pengisian yang sama, cuma beda selangnya saja. Akibatnya, ini membuat nilai prestise Pertalite dan Pertamax sejajar.

Ini ibarat sate kere yang ikut kecipratan mewah ketika diletakkan di tengah sate kambing, sop kambing, dan kikil. Begitulah nasib Pertalite dan Biosolar. Citra mereka naik kelas gara-gara ditaruh di tempat yang sama dengan Pertamax dan Dexlite.

Terakhir, lokasi penjualan juga menentukan branding suatu produk. Misal, jika Anda jualan baju di pasar tradisional dan di mall, kesan mewahnya tentu akan berbeda. Demikian juga dengan Pertalite dan Biosolar.

Selama ini, dua produk subsidi Pertamina itu dijual di tengah kota, di pinggir jalan raya atau jalan nasional, yang justru dekat dengan kehidupan orang-orang kaya. Bukannya dikoreksi, kegagalan branding ini malah dipertegas dalam kebijakan pembuatan pom bensin mini yang diberi judul Pertashop.

Maksud Pertamina membuat Pertashop sungguh mulia. Yaitu agar terjadi pemerataan distribusi bahan bakar hingga pelosok desa. Seharusnya petani atau nelayan senang mendengar ini. Karena mereka tidak perlu beli biosolar jauh-jauh di kota untuk menyalakan traktor atau kapal. Cukup beli di Pertashop saja. Dekat, mudah, murah, menyenangkan. Namun, petani dan nelayan sepertinya kena prank. Karena ternyata Pertashop hanya menjual Pertamax, yang notabene adalah bahan bakar nonsubsidi.

Semua ini menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal mem-branding Pertalite dan Biosolar sebagai barang konsumsi masyarakat menengah kebawah. Kedua produk itu malah relevan dengan kehidupan orang-orang kaya. Jadi salah pemerintah sendiri kalau ada orang kaya yang tidak malu membeli Pertalite atau Biosolar. Jadi, ayolah yang lebih kreatif kalau jualan. Masak kelas pemerintah kalah sama penjual sate kere. Please deh, tobat!

Penulis: Zamzam Muhammad Fuad
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Harga BBM Terbaru: Daftar Mereka yang Nggak Boleh Minum Pertalite

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.

Terakhir diperbarui pada 20 September 2022 oleh

Tags: bbmbrandingorang kayapertalitepertamaxpertashop
Zamzam Muhammad Fuad

Zamzam Muhammad Fuad

Penulis nyambi jualan online.

ArtikelTerkait

First Class Sebagai Citra Diri Orang Kaya

First Class Sebagai Citra Diri Orang Kaya

13 Februari 2020
Pengalaman Mengajarkan Saya untuk Tidak Berharap Banyak Pada Ban Tubeless mojok.co/terminal

Tidak Ada yang Salah dengan Tidak Punya Motor

29 Oktober 2020
Pertashop Bangkrut Justru Bikin Repot: Laporan Langsung dari Pelanggan Bensin Pertamina

Pertashop Bangkrut Justru Bikin Repot: Laporan Langsung dari Pelanggan Bensin Pertamina

21 Januari 2023
Branding Madiun Kampung Pesilat Indonesia yang Berlebihan

Branding Madiun Kampung Pesilat Indonesia yang Berlebihan

20 Maret 2022
Berkali-kali Kehabisan Bensin Setelah Isi di Pertamini, Apakah Mesin Tersebut Bisa Dipercaya?

Berkali-kali Kehabisan Bensin Setelah Isi di Pertamini, Apakah Mesin Tersebut Bisa Dipercaya?

10 Januari 2025
Pertashop Lebih Nyaman, SPBU Pertamina Malah Bikin Resah (Unsplash)

Pertashop Lebih Nyaman karena Mengisi Bensin di SPBU Bikin Resah

28 Januari 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, tapi Layanan QRIS-nya Belum Merata Mojok.co

Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, Sayang Layanan QRIS-nya Belum Merata 

24 Desember 2025
Eretan Wetan Indramayu, Venesia Jawa Barat yang Nggak Estetik Sama Sekali

Eretan Wetan Indramayu, Venesia Jawa Barat yang Nggak Estetik Sama Sekali

24 Desember 2025
Alasan Posong Temanggung Cocok Dikunjungi Orang-orang yang Lelah Liburan ke Jogja

Alasan Posong Temanggung Cocok Dikunjungi Orang-orang yang Lelah Liburan ke Jogja

27 Desember 2025
Universitas Terbuka (UT): Kampus yang Nggak Ribet, tapi Berani Tampil Beda

Universitas Terbuka (UT): Kampus yang Nggak Ribet, tapi Berani Tampil Beda

26 Desember 2025
Kuliah Bukan Perlombaan Lulus Tepat Waktu, Universitas Terbuka (UT) Justru Mengajarkan Saya Lulus Tepat Tujuan

Kuliah Bukan Perlombaan Lulus Tepat Waktu, Universitas Terbuka (UT) Justru Mengajarkan Saya Lulus Tepat Tujuan

24 Desember 2025
Apakah Menjadi Atlet Adalah Investasi Terburuk yang Pernah Ada? (Unsplash)

Apakah Menjadi Atlet Adalah Investasi Terburuk dalam Hidup Saya?

27 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Kala Sang Garuda Diburu, Dimasukkan Paralon, Dijual Demi Investasi dan Klenik
  • Pemuja Hujan di Bulan Desember Penuh Omong Kosong, Mereka Musuh Utama Pengguna Beat dan Honda Vario
  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal
  • Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha
  • Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya
  • Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.