Apa itu hidup yang normal? Mengapa orang harus hidup normal? Mengapa jika orang tidak hidup normal, orang-orang di sekelilingnya akan merasa tidak nyaman dan mulai gatal untuk menertibkan? Itulah pertanyaan yang muncul ketika membaca novela Sayaka Murata berjudul Gadis Minimarket.
Dalam Gadis Minimarket, sang tokoh utama, Keiko Furukura, adalah seorang pegawai minimarket yang perilaku hidupnya digambarkan penuh keanehan. Sejak kecil ia dianggap berbeda oleh orang tua, saudara, dan teman-temannya. Perilakunya yang berbeda dari mayoritas orang membuatnya harus bolak-balik dikonsultasikan ke psikolog.
Potret keanehannya ditunjukkan semasa taman kanak-kanak, saat dirinya merespons seekor burung mati dengan cara tak lazim. Ketika anak-anak lain merespons dengan tangisan dan kesedihan, Keiko malah membawa burung itu kepada ibunya dan mengatakan ingin memakan burung itu. Orang-orang di sekitarnya, termasuk ibunya, merasa heran. Namun, Keiko merasa tindakannya sangat masuk akal.
Hingga ia beranjak remaja, Keiko tidak pernah tahu ketidaknormalan apa yang dikhawatirkan orang-orang di sekitarnya.
Setelah lulus kuliah, Keiko memilih bekerja sambilan sebagai pegawai minimarket. Dari situ, dia mulai memahami apa maksud dari kehidupan normal. “Hari itu, aku terlahir sebagai bagian yang normal dari masyarakat,” ucapnya ketika pertama kali bekerja di Smile Mart Stasiun Hiromachi. Fase itu baginya begitu penting. Di minimarket lah ia mulai merasa diakui sebagai orang normal.
Ketika bertahun-tahun dianggap tidak normal oleh orang-orang terdekatnya sehingga merasa tak punya eksistensi di masyarakat, menjadi pegawai sambilan di minimarket adalah sebuah lompatan untuk meninggalkan masa lalu.
Menjadi pegawai minimarket membuat Keiko belajar berpenampilan menarik, bersikap baik, dan mulai merasa bisa diandalkan. Di minimarket, Keiko dapat meniru cara bicara banyak orang dan menyesuaikan gaya bicaranya ketika merespons sesuatu. Minimarket, bagi Keiko, adalah ruang belajar kehidupan yang cocok.
Tapi, orang-orang mulai mempertanyakan dirinya lagi setelah Keiko konsisten menjadi pegawai sambilan di minimarket selama delapan belas tahun. Bagaimana bisa seseorang hanya berkutat di persoalan minimarket hingga menginjak usia pertengahan 30-an. Plus bergaji alakadar pun tanpa perjalanan cinta.
Hidup damai Keiko mulai diusik sekitar lagi. Kondisi itu membuatnya kembali mempertanyakan makna “hidup normal”.
“Menurutku ketika ada sesuatu yang dianggap aneh, semua orang tanpa sungkan merasa berhak untuk ikut campur dan mereka berusaha mengungkap alasannya. Buatku itu menyusahkan, arogan dan mengganggu.” Kalimat itu keluar dalam hati ketika Keiko menanggapi pertanyaan teman-temannya.
Banyak orang berkata, manusia adalah makhluk heterogen. Tapi, secara paradoksal, perkataan itu tidak diperlihatkan dalam bentuk sikap menghargai pilihan atau kondisi hidup seseorang yang berbeda. Mengapa seorang manusia dikatakan normal hanya karena melewati sebuah standar? Padahal fakta bahwa manusia adalah makhluk heterogen sudah cukup untuk menjadi legitimasi bahwa standar tiap orang bisa, dan silakan, berbeda-beda.
“Seperti yang kau bilang, mungkin masyarakat sekarang sama seperti Zaman Jomon. Manusia yang tak dibutuhkan desa akan ditekan dan dijauhi. Itu sama dengan struktur di minimarket. Manusia yang tak dibutuhkan di minimarket akan dikurangi shift-nya dan dipecat.”
“Dunia normal adalah dunia yang tegas dan diam-diam mengeliminasi objek yang dianggap asing. Mereka yang tak layak akan dibuang.”
Ungkapan dari Keiko ini merupakan definisi hidup normal dari kebanyakan orang yang coba dijelaskan Sayaka Murata. Hidup normal adalah tentang mengeliminasi yang tidak dibutuhkan. Seperti minimarket, pegawai-pegawai yang tidak sesuai standar, menurun kemampuan kerjanya, akan disingkirkan dengan yang baru. Begitulah hidup normal.
Selain menampilkan sosok Keiko, Sayaka Muraka juga memunculkan sosok Shihara yang memiliki permasalahan yang sama. Uniknya, sosok Shihara ini diceritakan mengalami diskriminasi dan dianggap tidak normal karena kemalasannya dan khayalannya yang terlalu tinggi.
“Aku ingin calon yang kaya karena aku punya ide bisnis. Tapi, aku tak bisa menjelaskan secara mendetail karena tak ingin ada yang meniru. Dan aku berharap calon istriku bisa memodali ide bisnisku itu. Ideku pasti berhasil dan itu akan membungkam keluhan orang lain.”
Meskipun dua tokoh ini berusaha sebisa mungkin agar diterima oleh masyarakat. Caranya, dengan mencoba mengikuti kenormalan yang berasal dari pertanyaan dan pernyataan orang-orang terdekat mereka. Pada akhirnya Keiko sadar, dia tidak bisa selalu mengikuti perkataan dan tekanan dari kehidupan sosial; dia punya hak untuk menjalani kehidupan yang ideal berdasarkan standar yang dia ciptakan sendiri.
Keiko menyadari hidup seperti apa yang harus ia jalani. Ketika penghakiman dan diskriminasi disematkan pada mereka yang berbeda standar kenormalan, petuah bahwa hidup itu pilihan terlihat begitu utopis karena kenyataannya, setiap orang akan selalu terbebani untuk memenuhi ekspektasi sosial dan melupakan jati diri dan keinginan yang sebenarnya ingin dicapai.
Melalui sosok Keiko di Gadis Minimarket, Sayaka Murata seolah ingin menunjukan bahwa kehidupan normal dan nyaman datang dari kontemplasi dalam diri sendiri. Mencoba mengikuti standar kenormalan yang diciptakan orang lain tidak serta-merta membuat kehidupan kita jauh dari komentar orang lain. Sebab, tujuan hidup kita bukan untuk memuaskan ekspektasi orang lain.
Sampul novela Gadis Minimarket dari Gramedia.com
BACA JUGA Jangan Memaksa Anak untuk Suka Membaca, Nanti Mereka Takut dan tulisan Muhammad Iqbal Haqiqi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.