Kendati saya ini merupakan mahasiswa jurusan sejarah, tapi saya sering terlibat dalam forum-forum diskusi dari beberapa jurusan lain. Yang paling sering sebut saja dari jurusan Sastra Indonesia, Filsafat, dan tentu saja jurusan Tasawuf.
Kalau forumnya anak-anak dari jurusan Sastra Indonesia, ah teman-temen pasti sudah nggak asing lah. Forum mereka pasti nggak jauh-jauh dari bedah buku, baca puisi (plus kopi dan senja), kelas menulis kreatif, dan yang berhubungan sama dunia literasi lainnya.
Adapun kalau forum diskusinya anak-anak Filsafat, ini nih yang paling sering jadi bahan pergibahan. Tentu karena stereotip yang sudah kadung melekat dalam diri anak-anak filsafat, mulai dari yang katanya bahasanya terlalu abstrak sampai topiknya yang sangat-sangat absurd.
Wajar saja sih, sebab mahasiswa Filsafat ini kan memang dikenal suka mempertanyakan eksistensi Tuhan dan skeptis terhadap dogma-dogma agama. Makanya banyak yang menyebut kalau anak-anak Filsafat itu rentan banget buat jadi murtad. Yah kendati asumsi tersebut nggak sepenuhnya tepat, sih, seperti yang diungkapkan Mbak Agnes Palupi dalam tulisannya berjudul, Pengalaman Menyusup Diskusi Fakultas Filsafat, Pusing Nggak Sih?.
Tapi, jika konteksnya adalah absurd nggak absurd, kayaknya diskusinya anak-anak jurusan Tasawuf juga nggak kalah absurd (atau jangan-jangan malah lebih absurd) deh dari diskusinya anak Filsafat. Kalau dalam filsafat mungkin kita cuma mencoba menguliti satu isu dengan tumpuan akal. Nggak berat-berat amat lah itu.
Beda kasus dengan diskusinya anak jurusan Tasawuf, satu isu harus dikupas bukan hanya dengan akal, tapi juga harus melibatkan hati. Jadi, akal dan hati harus kerja secara bersamaan cuma untuk satu pembahasan. Praktik ini tentu butuh effort gede, dong.
Oke, coba kita urai sedikit-sedikit dari isu-isu mainstream saja dalam dunia tasawuf.
Tasawuf, sejak dalam terminologi saja sudah sangat absurd, og. Begini, secara sederhana, tasawuf itu adalah laku hidup asketis (prihatin) dalam rangka menyucikan diri dari hasrat-hasrat duniawi agar lebih dekat dengan Tuhan. Karena dalam tasawuf, syarat agar seseorang bisa deket sama Tuhan itu hati dan pikirannya harus bersih atau kosong dari kecenderungan materialistik.
Nah, aktualisasinya adalah dengan hidup zuhud atau menghindari jadi orang yang serba kecukupan dan uzlah atau harus mengasingkan diri dari masyarakat untuk fokus beribadah kepada Tuhan.
Pada bagian ini kita bakal ketemu sebuah paradoks. Satu sisi kita disuruh Tuhan buat jangan hanya fokus ibadah, tapi juga harus ingat sama urusan dunia. Tapi, sisi lain, Tuhan kayak ngasih gap gitu. Pokoknya kalau mau deket sama Tuhan, hati dan pikiran kita harus lepas dari aspek-aspek duniawi.
Kita nggak boleh ngejar dunia, tapi di sisi lain Tuhan juga berfirman bahwa dunia itu memang diciptakan buat manusia nikmati. Kalau mau menikmati, ya harus berjuang, harus dikejar. Ini kan kayak Tuhan sedang mempermainkan kita gitu loh, Rek. Pikiran diacak-acak, eh hati juga ikut diaduk-aduk.
Ada sih persepsi alternatif yang lebih moderat. Yang dimaksud zuhud di sini nggak harus hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Boleh punya harta melimpah, asal hati dan pikiran nggak bergantung sama harta tersebut. Yang dimaksud uzlah bukan mengasingkan diri secara fisik, tapi rohani (hati) kita yang harus diasingkan dari keinginan-keinginan.
Lah, namanya manusia kan memang diciptakan dengan hasrat dan keinginan. Mangkanya Tuhan nyuruh kita kalau punya keinginan tertentu, ya ajukan saja ke Tuhan. Kita disuruh berdoa (meminta) dan Tuhan jamin bakal ngabulin. Hla tapi kok syarat buat deket sama Dia harus melepas keinginan-keinginan? Lagi-lagi pikiran dan hati kita dibikin kocar-kacir.
Terus lagi, dalam kasus ibadah. Dalam tasawuf, ibadah itu harus diniatkan murni semata-mata hanya buat Tuhan. Bukan karena mengharap feedback personal kayak pahala atau surga. Kita disuruh menjauhi maksiat itu harus murni karena taat atas perintah Tuhan, bukan karena biar nggak dapet dosa dan terhindar dari siksa neraka. Kata orang-orang tasawuf, ibadah yang masih ada pamrih-pamrihnya gitu nggak sempurna, bahkan bisa dibilang nggak sah.
Asli ini ruwet. Sebab gimana-gimana, firman Tuhan yang berisi perintah ibadah itu ya pasti diembel-embeli hadiah pahala dan surga. Gimanapun juga firman Tuhan yang berisi larangan maksiat itu mesti dibarengi sama ultimatum soal dosa dan neraka. Sebab, itu yang bisa bikin kita semangat dalam ibadah dan lebih hati-hati dalam polah tingkah. Kan susah jadinya kalau satu sisi Tuhan ngasih embel-embel gitu, tapi sisi lain malah bikin syarat berlawanan agar niat kita dinilai sempurna.
Dan adapun yang paling absurd lagi dalam diskusinya anak jurusan Tasawuf, adalah kalau sudah ngomongin tentang aneka jenis wahdat (kebersatuan antara Tuhan dengan kita). Ini sungguh jadi topik diskusi yang paling bikin kepala kliyengan terus hati jadi nggak karu-karuan.
Wahdat sendiri dalam tasawuf itu ada banyak. Yang cukup populer adalah wahdat al-wujud atau dalam terma Jawanya, manunggaling kawula lan Gusti.
Jadi, konsep ini adalah bentuk gambaran situasi ketika Tuhan menitis dalam diri manusia, baik dalam bentuk roh maupun zat. Sebab sejatinya, wujud satu-satunya hanyalah eksistensi Tuhan, eksistensi manusia hanya bagian kecil dari emanasi-Nya. Akhirnya, orang kalau sudah dalam situasi ini, eksistensinya sudah nggak ada lagi, tinggal eksistensi Tuhan yang tersisa.
Alhasil, seolah penglihatan, pendengaran, dan gerak tubuh seseorang yang dalam situasi tersebut adalah penglihatan, pendengaran, dan gerak dari Tuhan sendiri. Mangkanya nggak heran jika ada orang yang sampai bilang, “Aku adalah Tuhan, dan Tuhan adalah aku.”
Gimana, kebayang nggak? Ya begitulah beberapa topik diskusi anak jurusan Tasawuf, nggak kalah absurdnya lah sama diskusinya anak Filsafat. Kalau nggak kuat, pulang-pulang kita bisa jadi edyan.
Photo by Matheus Bertelli via Pexels.com
BACA JUGA Membedah Tagline ‘Mondok Sampek Rabi, Ngaji Sampek Mati’ Anak Pesantren dan tulisan Aly Reza lainnya.