Sepulang dari nonton Final Destination Bloodlines semalam, saya jadi tambah takut…
Kalau ada satu film paling mengerikan, paling traumatis, dan paling membekas dalam hidup (mungkin selamanya), film itu adalah Final Destination. Buat generasi X, Y, dan generasi Z awal, film satu ini benar-benar jadi mimpi buruk. Film ini benar-benar jadi alasan mengapa kita takut berkendara di belakang truk pengangkut kayu atau besi, takut melewati jembatan, takut naik pesawat, dan ketakutan-ketakutan lainnya.
Sejak pertama kali dirilis tahun 2000, Final Destination sukses menciptakan ketakutan-ketakutan itu. Nggak cukup dengan satu film saja, Final Destination ini punya 5 film sejak tahun 2000 hingga 2011. Itu berarti, selama satu dekade kita dicekoki oleh mengerikannya franchise film Final Destination yang mana ketakutan serta traumanya bertahan hingga sekarang.
Final Destination ternyata tidak hanya menciptakan ketakutan dan trauma kepada kita. Film ini juga menciptakan perdebatan-perdebatan, terutama tentang mana yang terbaik. Beberapa ada yang mengatakan Final Destination 2 (2003) yang terbaik, beberapa ada yang mengatakan film yang pertama kali dirilis pada tahun 2000 lah yang terbaik, dan ada juga yang bilang bahwa Final Destination 5 (2011) yang terbaik.
Akan tetapi semua perdebatan itu sepertinya harus dirampungi sebab di tahun ini, film ini muncul lagi. Ya, setelah 14 tahun dari film terakhir, Final Destination akhirnya rilis film lagi dengan judul Final Destination Bloodlines. Dan perdebatan soal film mana yang terbaik seharusnya dirampungi sebab Final Destination Bloodlines ini adalah yang terbaik, setidaknya buat saya.
Menonton Final Destination Bloodlines: Panas-dingin dan nyaris muntah, tapi sayang untuk dilewatkan
Seharusnya saya nggak perlu nonton Final Destination Bloodlines. Saya bukan pencinta film horor yang modelan begini. Saya juga takut sama darah, takut sama hal-hal yang berbau gore. Kalau saya melihat darah atau menonton hal-hal yang gore, sudah pasti akan panas-dingin dan pengin muntah. Tetapi, kemarin sore, saya akhirnya nonton juga. Sendirian pula.
Dan benar saja, ketika menonton Final Destination Bloodlines, saya lebih banyak tutup mata dan menunduk ke bawah. Terutama saat muncul adegan-adegan yang terlalu mengerikan, brutal, dan berdarah-darah. Yah, meskipun saya tetap berusaha memaksakan diri untuk melihat layar bioskop ketika ada adegan yang intens dan mengerikan. Alhasil, saya mandi keringat, panas-dingin, dan nyaris muntah di ruang bioskop yang nggak terlalu ramai itu.
Namun saya masih bisa menangkap apa yang diceritakan di film ini ini. Tanpa harus memberi spoiler, Final Destination Bloodlines menceritakan perempuan bernama Stefanie (Kaitlyn Santa Juana), yang hidupnya tiba-tiba nggak tenang karena dihantui hal buruk. Hal buruk ini ada kaitannya dengan keluarganya di masa lalu, serta ancaman kematian yang menyasar garis keturunannya. Segitu aja. Sisanya mending kalian cari tahu dengan menontonnya sendiri di bioskop.
Intinya, film ini punya cerita yang lebih bagus dan lebih dalam dari yang sebelum-sebelumnya. Ceritanya lebih enak disimak lah soalnya fokusnya ke satu keluarga Stefanie saja, nggak melebar ke mana-mana. Walaupun saya baru nonton sekali, itupun sampai saya panas-dingin dan nyaris muntah, saya bisa bilang ini adalah film Final Destination terbaik.
Membangkitkan lagi trauma menahun yang sudah saya kubur dalam-dalam
Saya, dan mungkin kalian yang juga tumbuh besar bersama franchise film ini, mungkin punya pendapat yang sama setelah menonton Final Destination Bloodlines. Ya, film ini seakan membangkitkan kembali ketakutan dan trauma menahun yang sudah kita coba kubur dalam-dalam.
Seperti yang sudah saya tulis di atas, kita jadi takut berkendara di belakang truk pengangkut kayu atau besi, takut melewati jembatan, takut naik pesawat, gara-gara sekuel film Final Destination. Dan setelah menonton Final Destination Bloodlines, ketakutan dan trauma kita nggak hanya bangkit, tapi juga bertambah. Saya saja jadi takut main trampolin, takut barbeque-an di halaman belakang, takut melihat mesin pemotong rumput, takut melihat mesin MRI, bahkan takut melihat gelas kaca berisi air dan es batu.
Makanya Final Destination Bloodlines ini nggak hanya jadi perayaan bagi pencinta dan penonton franchise Final Destination akan penantian 14 tahun lamanya. Film ini juga jadi perayaan bangkitnya trauma dan ketakutan menahun yang sudah coba kita kubur dalam-dalam. Trauma dan ketakutan yang sepertinya nggak akan pernah sembuh, dan akan melekat selamanya.
Sekarang, apakah saya akan nonton Final Destination Bloodlines lagi? Entahlah. Mungkin nanti, soalnya saya masih suka merinding dan pengin muntah sendiri kalau mengingat-ingat adegan semalam di bioskop.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 5 Film yang Bisa Bikin Parno selain Final Destination.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.