Dulu ibu saya pernah bilang, “Segala sebab, selalu ada akibat, lantas ada gunanya.” Memang, ketika itu blio sedang menjelaskan konsep tanggung jawab. Seiring berjalannya usia, problem dan pertanyaan saya perihal sebab-akibat-kegunaan pun bertambah. Selain mobil SMK, apakah pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI ada gunanya?
Saya nggak mungkin bertanya pertanyaan-pertanyaan itu kepada ibu saya. Lantaran alasan pertama, blio menangis ketika membaca prank Agus Mulyadi kepada seluruh simpatisan Jokowi ketika blio ultah. Dan yang kedua, ibu saya salah satu penikmat film yang saya sebut pertama tadi. “Karena filmnya lama, enak buat tidur,” kata blio di sela-sela saya sambil ngampet ngguya-ngguyu.
“Durasi film India aja kalah lama,” begitu kata blio. Duh, untung ibu saya kini hidup di zaman rezim Pak Jokowi yang selalu menerima perbedaan pendapat, sekaligus menampung dengan legowo segala protes dari rakyat. Sebab itu saya senang ketika ibu saya menasbihkan diri sebagai Jokower Garis Keras.
Blio tertidur ketika nonton itu bukan karena filmnya membosankan lho ya. Sama sekali nggak. Ibu saya ini ketika SMA dulu, blio sekolah nyambi jualan es apolo dan kerupuk pasir di sekolahnya. Makanya, ada jeda dari sekolah yang diperuntukan nonton film berdurasi 4,5 jam, ya jelas sebab itu blio nggak menyia-siakan kesempatan itu untuk tidur. Eh, istirahat, maksud saya.
Gini lho, bukan karena pembuatan film yang durasinya ngalahin Endgame (nggak ada after movie-nya pula) itu sia-sia lho ya. Nggak sama sekali. Gendheng po sinema yang diproduksi Perum Perusahaan Film Negara (PPFN) pada 1984 ini flop. Biarkan Arsenal dengan belanja besarnya musim ini saja yang flop, film ini nggak mungkin.
Dikutip dari Tirto, dalam Majalah Tempo (1988) melaporkan, film ini menghabiskan biaya Rp800 juta dan menjadi film termahal di Indonesia pada dekade 1980-an. Persetan dengan yang menyebut bahwa film Pengkhianatan G30S/PKI adalah propaganda orba, yang jelas film ini amat layak untuk ditampilkan ke layar kaca saban musim karena pertama, lebih dramatik ketimbang film aksi lainnya.
Coba lihat saja film yang lahir dari Marvel Cinematic Universe atau DC Extended Universe. Ayolah hanya anak-anak usia sebelas tahun ke bawah yang sudi nonton film-film begituan. Contohlah film Pengkhianatan G30S/PKI; dialog natural, cerita bersumber sejarah yang sudah teruji klinis, dan tokoh-tokoh protagonis bagaikan Tuhan yang layak disembah. Sungguh film yang non-fiksi sekali, kan?
Dan belakangan ini, stasiun televisi sudi memutar film wangun ini. Wah, sineas Indonesia sungguh diberkahi dengan privilese macam ini. Para sineas harus mencontoh bagaimana cara membuat film yang mempengaruhi alam bawah sadar penikmatnya dengan dramatik yang termuat di dalamnya.
Masa, sih, kalian nangis hanya karena kisah haru dalam film Laskar Pelangi? Coba deh sekali saja melihat dramatisasi Harto dalam menyelamatkan Indonesia dalam kebejatan komunis. Saya jamin kalian bakal berterima kasih karena—setidaknya—sekali dalam seumur hidup nonton film yang penuh dengan twist nyah-nyoh macam ini.
Kedua, tokoh-tokoh yang kaya akan derita dan berakhir sebagai legenda. Film-film superhero belakangan ini, apanya yang keren? Lihat saja MCU dan DCEU yang nggak becus mengelola tokoh-tokoh utamanya.
Ambil contoh, lihat saja betapa klemar-klemer-nya Iron Man. Lantas betapa pesakitannya Superman yang kadang kala masih bingung dia ini superhero atau alien yang mak mbedunduk kerja di Metropolis.
Mbok ya o contoh tokoh Harto dalam film ini. Dalam penggambaran di film ini, Harto menjelma bak lelananging jagad. Sudah otaknya yang cemerlang, kiat-kiat yang brilian, pun langkah-langkah yang ngosak-ngasik dalam panggung politik patut dijadikan percontohan film-film lain semisal mau mengambil penokohan meta dan sulit dikalahkan.
Ha gimana nggak sulit dikalahkan, 32 tahun jhe. Itu pun kudu nunggu Indonesia hancur dulu.
Aksi heroik Harto yang ngosak-ngasik ini patut ditiru jutaan rumah produksi semisal mau garap film bertemakan super-human atau super-hero. Mereka setidaknya harus melihat dengan seksama dan membedah secara total film Pengkhianatan G30S/PKI dengan hati-hati.
Kalau bisa ya dibuat kelas-kelas diskusi atau bedah film gitu lah. Judulnya, “Memetakan Peran Meta Tokoh Suharto dalam Film Pengkhianatan G30S/PKI.” Tenang, saya jamin nggak bakalan digeruduk oleh aparat kok. Yang digeruduk aparat kan film-film sebelah yang judulnya serem-serem.
Ketiga, film Pengkhianatan G30S/PKI ini hiburan sekali. Dulu, ketika saya kecil, nonton Wiro Sableng itu udah asyik sekali walau nggak ngerti jalan ceritanya. Yang penting gayeng, ada silat, juga ada adegan terbang-terbangnya. Nah, begitu halnya dengan film Pengkhianatan G30S/PKI ini.
Memang sih dalam film Pengkhianatan G30S/PKI nggak ada adegan terbang dan silat. Tetapi, ada adegan-adegan yang nggak kalah menarik untuk disaksikan muda-mudi masa kini. Lho, kapan lagi nonton film yang dialognya begitu mendayu selain film Dilan 1990?
“Darah itu merah, Jendral!” Lihat saja, struktur kalimat dan tingkat tekannya sama seperti Iqbaal Ramadhan sedang memerankan tokoh Dilan dan nembung ke Milea, “Iqra, Milea!” sambil memberikan TTS yang sudah terisi. Penuh dengan diksi, semiotik, dan istilah-istilah njlimet lainnya pokoknya terkandung dalam film ini.
Kurang milenial apa? Nggak usah ragu lah menonton dan memutar film ini saban tahun. Toh Orde Baru sudah mati, sama halnya dengan PKI. Walau keturunan Orde Baru masih ada—dan selalu—senantiasa ada, sih, dalam bursa politik dari tahun ke tahun.
Tapi, eksisnya inang-inang Orde Baru yang masih mondar-mandir di bursa politik itu nggak masalah. Yang penting keturunan PKI sudah binasa sampai akar-akarnya. Itukan yang paling penting? Ayolah, orang-orang yang hilang secara misterius dan dibunuh dengan keji, pelanggaran HAM dan segala tetek bengeknya, nggak sepenting dengan traumatik goblok atas kebangkitan PKI yang kumat tiap bulan September.
Mari, jangan takut lagi nonton film ini. Kalau bisa sih jangan hanya bulan September doang, mbok menowo selo ya putar saja non-stop tiap saat. Jangan tanggung-tanggung kalau mau bikin generasi sekarang melek sejarah. Toh, generasi sekarang ini sudah melek atas segala kebenaran yang ditutupi dan segala perjuangan yang belum terpenuhi.
Film Pengkhianatan G30S/PKI ini saya kasih rating 10.5/10. Mengutip salah satu tokoh, yang nggak bisa disebutkan namanya karena nggak tahu sudah meninggal atau belum, sekaligus menutup review film aksi ini, jika kau menghamba kepada ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan.
Panjang umur bagi mereka yang hilang dan perannya malah digantikan dengan tokoh-tokoh fiksi protagonis cuci tangan dalam film ini.
Sumber gambar: YouTube Hendra Ahya.