Medio antara 2008 hingga 2010 bisa dibilang menjadi era keemasan bagi karir kepenulisan Habiburrahman El Shirazy. Di tahun-tahun tersebut, secara beruntun beberapa novel karyanya yang bergenre romance-religi itu diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar. Dan rata-rata meledak, loh. Sebut saja di antaranya, Ayat-Ayat Cinta (2008), Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2 (2009), dan Dalam Mihrab Cinta (2010).
Bagi saya pribadi, film Ayat-Ayat Cinta adalah film yang cukup memorable. Pasalnya, gegara film ini, nih, seenggak-enggaknya dulu banget saya sempat mencoba menjadi sosok lelaki yang saleh, pribadi yang religius, dan tentunya pintar urusan agama. Pokoknya, saya pengin jadi sosok lelaki yang ke-Fari-Fahrian gitu lah.
Motif saya simpel saja, kalau saya sudah jadi sosok seideal Fahri, ah pastinya saya juga bakal jadi lelaki idaman, dooong. Saya direbutin banyak perempuan cantik dan salehah. Bahkan ditaksir sama anak kiai juga loh, tokoh kita ini. Motif yang saya kira, waktu itu, nggak mustahil-mustahil banget buat diwujudkan. Toh, saya juga nggak jelek-jelek amat. Ya, tipis-tipis lah sama Mas Fahri (Fedi Nuril). Jadi, kan, nantinya paket komplit gitu, sudahlah cakep, saleh pula. Uhuk!
Ya bayangin saja, Rek, Fahri yang secara materiil pas-pasan, bisa jadi rebutan ughtea-ughtea, mulai dari Nurul (Melanie Putria Dewita Sari) yang seorang anak kiai; Noura (Zaskia Adya Mecca), tetangganya yang sering ia tolong dari siksaan ayahnya sendiri; hingga yang beda agama sekalipun ikut-ikutan naksir, Maria Girgis (Carissa Putri), seorang Kristen Koptik. Sebelum akhirnya dia resmi menikah dengan Aisha (Rianti Cartwright), sosok bercadar yang bermata indah. Ha wes mbuh, jan tenan og Mas Fahri iki. Itu semua karena satu, religius. Eh, cakep juga, nding.
Ayat-Ayat Cinta sendiri baru mulai saya tonton di tahun-tahun antara 2012-2013, pas saya masih duduk di bangku kelas dua MTs. Begitu juga sederet film Kang Abik lainnya—seperti Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2 dan Dalam Mihrab Cinta—yang baru saya tonton di tahun-tahun tersebut. Pasalnya, beberapa kali memang sempet tayang di salah satu stasiun televisi.
Seingat saya, dulu Ayat-Ayat Cinta pernah tayang juga di waktu Ramadan. Saking maniaknya saya sama film ini, sampai-sampai waktu itu saya rela nggak berangkat tarawih ke masjid demi bisa nonton film ini dari awal hingga akhir, tanpa terlewat satu adegan pun. Pasalnya, waktu itu dia tayang sekitar pukul 19.30 WIB, sementara Tarawih di masjid desa saya selesainya pukul 19.40-an. Kalau saya Tarawih dulu, kan, mestinya kelewatan adegan awal, to. Eman!
Pola cerita dalam karya-karya Kang Abik yang difilmkan sih sebenarnya mirip-mirip. Di film Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2 misalnya, menceritakan seorang mahasiswa asal Indonesia yang harus struggling semasa kuliah di Al-Azhar, Kairo. Karakternya pun mirip-mirip, antara Fahri bin Abdillah dalam Ayat-Ayat Cinta dengan Abdullah Khoirul Azzam di Ketika Cinta Bertasbih sama-sama merupakan pemuda yang cerdas dan berada di jalan yang lurus. Dan satu lagi, keduanya jadi idaman ukhti-ukhti. Namun, dibanding Azzam, menurut saya sosok Fahri lah yang paling ideal. Itulah kenapa waktu itu saya bener-bener punya obsesi tersendiri buat mengikuti jejak Mas Fahri. Semua-muanya mau saya ikuti, tanpa terkecuali.
Dan nggak bisa dimungkiri, di masa-masa itu, film Ayat-Ayat Cinta, lebih khusus tokoh Fahri membuat hidup saya berubah 180 derajat lebih lurus dari sebelum-sebelumnya.
Gara-gara Fahri nih, saya akhirnya memutuskan buat menyetujui permintaan ibu agar saya masuk pesantren. Padahal sebelumnya mati-matian saya menolaknya. Sebelumnya saya bersikukuh nggak mau masuk pesantren karena nggak siap hidup penuh aturan yang ketat, nggak siap bangun subuh tepat waktu, dan lebih-lebih nggak kebayang sama jadwal ngaji yang luar bisa padet.
Namun, kemudian karena inget kalau saya harus jadi sosok kayak Fahri, maka saya mantap dan ikhlas untuk menjalani itu semua. Lantaran saya pengin bisa bahasa Arab, pinter ngaji, menguasai ilmu agama, terus lulus SMA nanti bisa dapet beasiswa buat lanjut studi ke Al-Azhar. Saking obsesifnya saya sama Mesir, di beberapa kitab milik saya bahkan sampai saya tulisi, “Al-Azhar Mesir, I’m Coming”.
Lucunya, demi bisa terlihat sebagai lelaki seperti Fahri, saya sempet loh bener-bener menolak pacaran. “Apa itu pacaran? Islam hanya mengajarkan taaruf. Pacaran itu dosa karena merupakan perbuatan mendekati zina,” begitu jawaban saya tiap kali ditanya soal pacaran. Tentu dengan dalil klise Walaa taqrabu al-zina ituh. Sampai-sampai tiap kali lagi pas-pasan sama cewek di jalan, kadang saya milih buat nundukin kepala. Buat menjaga pandangan, hehuheuheu. Lebih-lebih kalau misalnya kebetulan pas-pasan sama cewek yang nggak berhijab, saya mesti bakal menunduk dalam-dalam sambil istighfar berulang-ulang. Sama yang berhijab pun kalau diajak ngobrol biasanya saya ngusahain nggak bertatap-tatap muka dalam waktu yang lama.
Agar hidup saya tetep stay di jalan yang lurus, semasa di pesantren dulu saya betul-betul menjaga pergaulan. Alih-alih manfaatin waktu luang buat nongkrong-nongkrong di warkop sambil sebats-sebats, saya lebih milih manfaatin senggang ngaji buat baca Al-Quran atau sesekali mendaras kitab-kitab. Masya-Allah tabarak-Allah pokoknya. Di samping buat ngamalin slogan, “Gunakan waktu luang untuk hal-hal bermanfaat” memang waktu itu saya juga berupaya menjaga diri dari perkara-perkara makruh dan syubhat. Itulah alasan saya menolak keras buat rokok, makruh, Bro!
Di titik yang paling ekstrem, waktu itu saya tumbuh jadi sosok lelaki yang pro terhadap poligami. Saya juga masuk dalam barisan lelaki yang mengamini bahwa perempuan harus tunduk pada suaminya secara total, kalau nggak mau dilaknat sama Allah. Beberapa kali dalam diskusi mengenai poligami, saya pasti membantah siapa pun yang berani-beraninya menolak poligami. Hla wong jelas-jelas dibolehin Al-Quran dan dipraktikkan sama Nabi kok malah ditolak itu, loh.
Itu belum seberapa. Sebagai fans Fahri garis keras, saya pernah bercita-cita suatu saat bisa menikah sama dua jenis wanita. Kalau nggak syar’i bercadar kayak Aisha, ya sama perempuan non-Muslim, lah. Tentu dengan niat yang warbiayasa adiluhung, apalagi kalau bukan buat men-syahadatkan si perempuan non-Muslim istri saya tersebut. Seperti Fahri yang akhirnya bisa membuat Maria Girgis memeluk Islam dari yang sebelumnya merupakan pemeluk Kristen Koptik. Coba, to, kurang Fahri gimana saya ini?
Namun, ya jalan hidup siapa yang tahu. Tirakat saya buat menjadi ke-Fahri-Fahrian ternyata cuma bertahan dua tahun. Habis itu, seiring dengan terjadinya banyak hal dalam hidup saya, saya akhirnya memutuskan untuk menjadi biasa-biasa saja. Apalagi setelah saya disadarkan oleh seorang teman kalau Fahri hanyalah tokoh fiktif, manusia ideal yang utopis. Dan ternyata saya mengamininya.
Saya sepakat kalau ternyata Kang Abik terlau hiperbolis dalam menggambarkan nuansa Mesir dan tiap tokoh yang dia ciptakan. Lain itu, jujur, jadi orang yang lurus-lurus amat ternyata capek juga, Cuy! Wqwqwq. Mangkanya setelah itu saya milih, ah mending gini-gini aja, bisa nakal, bisa rokok, bisa pacaran. Jadi diri sendiri ternyata lebih asyik!
Sumber Gambar: YouTube MD Pictures
BACA JUGA Mengabadikan Nama Pengarang Novel ‘Ketika Cinta Bertasbih’ Menjadi Nama Anak Pertama Saya yang Lahir di Bulan Ramadan. #TakjilanTerminal05 dan tulisan Aly Reza lainnya.