Fiersa Besari merupakan seorang penulis dan musisi asal Bandung yang telah melahirkan banyak karya. Dalam dunia kepenulisan, dia telah menciptakan enam buku, yakni “Garis Waktu” (2016), “Konspirasi Alam Semesta” (2017), “Catatan Juang” (2017), “Arah Langkah” (2018), “11:11” (2018), dan “Tapak Jejak” (2019).
Sementara itu, dalam dunia tarik suara, lelaki yang kerap disapa Bung itu telah memublikasikan empat album, yaitu “11:11” (2012), “Tempat Aku Pulang” (2014), “Konspirasi Alam Semesta” (2015), dan “20:20” (2020). Selama berkarier di kancah permusikan, Bung Fiersa Besari telah meraih beberapa nominasi bergengsi dan memenangkan dua di antaranya: Rookie of the Year pada ajang IKAPI Awards tahun 2019 dan Top Male Singer Of The Year pada Billboard Indonesia Music Awards satu tahun setelahnya.
Meski telah memproduksi banyak karya dan sukses meraih beberapa penghargaan bergengsi, nyatanya, masih banyak orang di luar sana yang kurang menyukai “Mas-mas senja” yang satu ini. Oleh sebab itu, saya merasa Bung Fiersa Besari merupakan salah satu musisi yang overhated dan seharusnya lebih layak mendapat apresiasi.
Maka dari itu, lewat artikel ini, saya akan sedikit menjelaskan mengenai faktor-faktor apa saja yang membuat pria 38 tahun itu cenderung kurang disukai oleh sebagian orang, yang kemudian akan saya tambahkan pula pembelaan mengenai hal tersebut.
Namun, sebelumnya, harus diingat bahwa saya bukanlah penggemar fanatiknya. Saya hanyalah orang yang berada di tengah-tengah perbatasan antara fans dan haters. Dengan begitu, semoga saja tidak ada kebiasan tertentu dalam opini yang saya utarakan dalam tulisan ini.
Bila berbicara mengenai Bung Fiersa Besari, satu hal yang melekat di ingatan saya adalah cuitan-cuitannya di Twitter. Bagi sebagian orang, cuitannya dianggap puitis, sementara bagi yang lain justru dipandang sebagai perkataan dari seseorang yang sok bijak, si paling ngerti hidup, si paling sastra, dan sebagainya.
Yah, tak bisa dimungkiri bahwa sebagian besar cuitannya memang berupa sajak atau quotes singkat menggunakan diksi-diksi yang dijadikan standar puitis oleh banyak remaja zaman sekarang, seperti “senja”, “kopi’, “hujan”, dan semacamnya. Hal inilah yang biasanya menjadi “pusat kebencian” dari sebagian netizen terhadap pelantun lagu Celengan Rindu itu. Banyak dari mereka yang merasa bahwa apa yang Bung Fiersa Besari katakan itu sudah “basi” dan bahkan, toxic, karena unggahan tersebut dianggap hanya berupa manifestasi dari seseorang yang selalu mengeluh mengenai kehidupan.
Padahal, menurut saya pribadi, apa yang Bung Fiersa Besari lakukan itu sah-sah saja, kok. Bukankah salah satu fungsi dari Twitter adalah tempat untuk mencurahkan apa yang ada di hati seseorang?
Dengan kata lain, aplikasi yang didirikan pada 2006 itu dapat menjadi lahan bagi setiap orang untuk mengungkapkan kegalauan atas beratnya perjalanan kehidupan yang dijalani. Misalnya, urusan asmara yang mungkin toxic, bertepuk sebelah tangan, atau sebagainya, serta hal-hal lain yang membuat mereka merasa memerlukan tempat untuk membagikan kisahnya.
Lantas, jika Bung Fiersa Besari menulis tweet tentang topik-topik tersebut, mengapa kita harus mencacinya? Mengapa kita harus mempermasalahkan sesuatu yang mungkin tanpa disadari sebetulnya pernah kita lakukan juga?
Maksud saya, bagi kalian yang menggunakan media sosial, mungkin tanpa disadari kalian pernah membuat cuitan atau unggahan mengenai suatu hal buruk atau kenahasan yang terjadi di dunia nyata, seperti katakanlah, diselingkuhi pacar. Lalu, kalian mulai mengeluh perihal nasib tidak mengenakkan yang menimpa, lantas mencurahkan segala kekesalan mengenai apa yang telah si ayang lakukan dengan meluapkannya melalui umpatan, kata-kata bernada kasar, atau apa saja yang membuat orang lain kurang nyaman melihatnya.
Dengan begitu, tanpa disadari, kalian sebetulnya sudah menjadi pribadi yang toxic bagi mereka yang mengikuti akun media sosial kalian. Jika sudah begitu, kalian tidak berbeda dengan Bung Fiersa besari, bukan?
Perbedaannya, yang satu dianggap toxic karena menulis kata-kata yang sok bijak, sementara yang lain menjadi toxic karena melakukan sesuatu yang kurang bijak. Lebih baik yang mana?
Hal kedua yang biasanya membuat Bung Fiersa Besari kurang disukai oleh sebagian netizen adalah kebiasaannya berbahasa dengan menuruti kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar, sesuai KBBI dan anjuran dari para ahli bahasa. Saya tidak berbohong, tetapi saya memang betul-betul pernah melihat seorang netizen yang berkomentar dengan sedikit nada cibiran dan menyebut Fiersa Besari sebagai “Si Paling KBBI”.
Padahal, lagi-lagi, apa yang salah dengan kebiasaan itu? Bukankah itu suatu hal yang baik dan patut ditiru oleh kita semua? Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti masih sering keliru dalam menerapkan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sering kita masih salah menggunakan “di-“ sebagai prefiks atau preposisi, lalu mana kata yang sesuai dengan KBBI dan mana yang tidak, mana yang harus ditulis dengan huruf kapital dan mana yang tidak, serta kesalahan-kesalahan lain yang karena sudah menjadi kebiasaan, justru membuat kita seakan-seakan jadi “membenarkan apa yang salah”.
Melalui akun Instagram-nya, saya sering melihat Bung Fiersa Besari membuat Instastory yang berisi “sekolah” singkat mengenai cara tepat berbahasa sesuai panduan KBBI. Saya memaknai hal itu sebagai sesuatu yang sangat positif dan dapat memberikan edukasi serta ilmu tambahan bagi kita semua.
Memang, ada golongan orang yang menganggap bahwa bahasa sesungguhnya hanya bertujuan sebagai alat komunikasi. Akibatnya, selama apa yang kita tulis atau katakan bisa dipahami oleh lawan bicara, maka itu sudah cukup.
Namun, saya sejujurnya tak sepenuhnya setuju dengan pemahaman tersebut. Dengan kata lain, akan lebih baik lagi jika bahasa yang kita gunakan itu sesuai dan mengikuti apa yang telah dijadikan pedoman resmi. Sikap “kurang peduli” terhadap penggunaan bahasa yang kurang tepat harus dipandang sebagai tindakan “membenarkan yang salah” dan akan sangat berbahaya jika generasi di masa mendatang tetap melanjutkan kebiasaan tersebut.
Oleh sebab itu, saya menganggap apa yang Bung Fiersa Besari lakukan di Instastory-nya sebagai salah satu langkah yang baik dalam upaya “menyelamatkan” Bahasa Indonesia. Namun, ini pendapat saya loh, ya. Nggak masalah kalau kalian nggak setuju, lantas menyematkan saya dengan label Si Paling KBBI, sama seperti Bung Fiersa Besari.
Itulah artikel singkat saya mengenai Bung Fiersa Besari yang bagi saya, merupakan salah satu public figure di tanah air yang paling overhated. Pada intinya, tak masalah jika kalian tidak menyukai seseorang karena satu dan lain hal. Namun, jika individu tersebut melakukan sesuatu yang sebetulnya “normal-normal saja” atau bahkan positif, kita tak boleh mencacinya hanya karena kebencian kita yang mungkin tidak terlalu berdasar dan tak jelas penyebab sesungguhnya.
Biar agak adem, yuk dengerin satu lagi dari Bung Fiersa.
Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Hewan-hewan Ini Lebih Bucin dari Fiersa Besari.