Malang makin penuh, makin gaduh
Puluhan ribu mahasiswa baru bermigrasi ke Kota Malang setiap tahun. Jalanan di sekitar kampus-kampus besar seperti UB, UM, dan UMM sudah pasti macet di jam berangkat, pulang kantor, dan saat wisuda kebetulan serentak di beberapa kampus. Kemacetan tidak pernah compatible dengan jalanan kota Malang. Apalagi ruas jalan sekitar kampus yang hanya dua jalur sempit seperti di jalan Sumbersari, Merjosari, Dinoyo hingga Landungsari.
Prodi baru semakin banyak, mahasiswa yang diterima juga makin bertambah, tapi jalanan di wilayah kampus ya segitu-gitu aja nggak bisa nambah lagi. Kebijakan one way pun tidak banyak merambah di wilayah kampus ini. Kalau nggak misuh-misuh melewati kemacetan area kampus di Malang saat hujan deras dan jalanan tergenang, itu udah bagus banget.
Lain lagi dengan kemacetan di Tangerang yang menurut saya sesungguhnya adalah ujian naik level menjadi sufi. Jalan Raya Raden Saleh adalah simpul macet terparah yang bijaknya tidak perlu dilalui. Kanan-kirinya dipenuhi gang perumahan dan banyak kendaraan belok dan putar balik. Sehingga membuat ruas jalan di wilayah Karang Tengah ini sangat padat, merayap, dan menyiksa.
Jalan Raya Raden Saleh Karang Tengah baru satu titik kemacetan yang tidak masuk akal. Titik kemacetan yang sangat parah di Tangerang juga ada di Islamic Village, Ciputat, Cisauk, dan Rawa Bokor. Mengalami hiruk pikuk di area-area ini layaknya ujian kesabaran. Jika setelah melaluinya masih ada masalah kehidupan menanti, mungkin rasanya akan lebih ringan.
Tinggal di Malang, tapi gaji Tangerang
Sesungguhnya pemerintah daerah Malang dan Tangerang sudah melakukan beberapa hal untuk menanggapi ledakan populasi di wilayahnya. Malang menetapkan 39 titik ruas jalan menjadi one way sebagai alternatif cara untuk memecah kemacetan. Sedangkan pemerintah Tangerang menambah dan memperbaiki infrastruktur jalan untuk mengakomodir jumlah kendaraan melintas yang semakin meningkat.
Upaya pemerintah Tangerang dan Malang untuk mengendalikan kepadatan lalu lintas mungkin berhasil di hari biasa. Tetapi sepertinya upaya ini masih belum cocok untuk momen ketika kepadatan jalan meningkat seperti hari libur panjang di Malang atau banjir di Tangerang. Di hari-hari istimewa tersebut saya akan memilih opsi menjaga mental health dengan rebahan dan di rumah saja.
Tangerang memang bukan Malang, tetapi sekarang saya menyebutnya tempat untuk pulang. Saya suka momen relaxing menyetir melalui jalanan rindang tanpa kabel semrawut dan berpelindung pepohonan besar yang ditanam developer. Walau semenit kemudian, suasana healing berubah karena kendaraan saya melalui jalanan somplak bak dihujani meteor.
Jadi enak mana tinggal di Malang atau Tangerang? Kalau bisa memilih, saya ingin tinggal di Malang dengan gaji Tangerang.
Penulis: Maryza Surya Andari
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Cisauk vs BSD, Kecamatan dengan Dua Wajah yang Kesenjangannya Bikin Serasa Pindah Alam