Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Pojok Tubir

Emangnya Kenapa kalau Artis Jadi Caleg?

Mohammad Maulana Iqbal oleh Mohammad Maulana Iqbal
22 Mei 2023
A A
Kenapa Kita Selalu Lupa Caleg yang Kita Pilih?

Kenapa Kita Selalu Lupa Caleg yang Kita Pilih? (Pixabay.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Jujurly, ini adalah sebuah unek-unek saya kepada khalayak publik, kepada berbagai media khususnya yang menyalurkan opini publik, yang mempersoalkan mereka yang berstatus artis namun beritikad untuk menjadi calon legislatif. Memangnya kenapa sih, kalau artis jadi caleg itu? Nggak boleh? Melanggar hukum? Atau gimana sih?

Beberapa hari ini, media sosial saya, Instagram khususnya, dipenuhi dengan pemberitaan tentang pencalonan berbagai individu yang akan berkontestasi dalam pesta demokrasi 2024 mendatang. Namun, yang menggugah greget saya bukan persoalan Prabowo, Ganjar, Anies atau lainnya yang bakal maju capres. Justru saya amat gemes banget dengan media yang memberitakan persoalan berbondong-bondongnya artis maju caleg.

Dari PDIP misalnya, ada Deny Cagur, Once Mekel, Kris Dayanti, Lucky Perdana, dan lainnya. PAN, ada Uya Kuya, Eko Patrio, Desy Ratnasari dan lainnya. Partainya Pak Prabowo, ada Ahmad Dhani, Melly Goeslaw, Ari Sihasale, dan beberapa lainnya. Demokrat, Arumi Bachsin dan Emilia Contessa. PKB pun sementara ada dua, Tommy Kurniawan dan Norman Kamaru. Perindo, ada Chef Arnold, Yusuf Mansur, Aldi Taher, dan lainnya. Nasdem, punya Reza Artamevia, Choky Sitohang, Ramzi, dan yang lainnya. Sedangkan PKS sementara masih ada komedian Narji.

Berbagai nama itu menjadi bulan-bulanan oleh netizen kita di media sosial, dan ruangnya difasilitasi oleh berbagai media pemberitaan. Seolah-olah apa yang terjadi dengan demokrasi kita pada hari ini itu udah nggak bener. Saya bukannya hendak mendukung, ataupun menolak, melainkan saya ingin mengajak para publik untuk mengoreksi cara berpikir kalian tentang demokrasi dan beberapa hal tentangnya yang bersinggungan pada hari ini.

Status sosial

Sebenarnya kita nggak perlu begitu terkaget-kaget ketika berbondong-bondongnya kafilah artis mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Sebenernya pola politik demokrasi kita itu nggak pernah jauh berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Hanya bungkusnya aja yang diubah-ubah.

Artis jadi caleg itu nggak jauh berbeda dengan praktik politik kita yang sebelum-sebelumnya. Seperti kyai jadi caleg, kyai nyalon bupati, nyalon gubernur bahkan jadi cawapres. Di sini saya nggak membicarakan kapabilitas calonnya, toh ada aja artis yang berkompeten, tapi juga ada kyai yang nggak berkompeten untuk memimpin, dan sebaliknya. Tapi, yang saya tekankan di sini adalah praktik politiknya. Bahwa mereka semua memanfaatkan status sosial mereka di masyarakat untuk kendaraannya.

Siapa pun boleh jadi caleg

Oleh karena itu, demokrasi kita itu demokrasi ala kaleng Khong Guan, yang isinya nggak hanya mereka-mereka yang selayaknya mengisi seperti biskuit dan wafer. Melainkan juga diisi oleh rengginang, rempeyek, kacang goreng, bahkan kerupuk. Dengan kata lain, di dalam pesta demokrasi kita, siapa pun boleh berkontestasi, bukan hanya kalangan “terdidik”. Siapa pun boleh, entah itu kyai, artis, pengusaha, bahkan mantan koruptor sekalipun dipersilakan untuk berkompetisi.

Meski ya, kalau mantan koruptor harusnya malu. But hey, apa itu rasa malu?

Baca Juga:

5 Istilah di Jurusan Ilmu Politik yang Kerap Disalahpahami. Sepele sih, tapi Bikin Emosi

4 Salah Kaprah tentang Jurusan Ilmu Politik yang Sudah Terlanjur Dipercaya

Mengapa kok orang-orang dengan status sosial yang aneh-aneh itu berani mencalonkan diri sebagai pemimpin kita? Ya karena mereka memiliki apa yang disebut oleh sosiolog klasik, Max Weber, sebagai otoritas kharismatik. Mereka memiliki pengaruh pada massa yang mengagumi mereka. Kharisma nggak hanya persoalan sosoknya, melainkan persoalan pengakuan dan kekaguman masyarakat akan sosok itu. Sehingga nggak segan-segan mereka memberanikan diri untuk mencalonkan diri.

Jadi meskipun nggak mempunyai kompetensi yang memadai, asalkan memiliki pengaruh, entah itu buruk atau nggak, pada suatu komunitas masyarakat, di sistem demokrasi kita itu dipersilakan untuk jadi caleg, nyalon pemimpin, bahkan nyapres.

Jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri, Socrates sebenernya udah ngewanti-wanti, perihal demokrasi ini yang hanya ngandalin suara terbanyak. Sehingga siapa pun bisa menjadi pemimpin, termasuk orang goblok sekalipun. Padahal, seorang pemimpin itu ya harus berpendidikan, memiliki kompetensi, bahkan pengalaman yang memadai.

Modal sosial adalah kunci jadi caleg

Namun, sayangnya apa yang diwanti-wanti oleh Socrates ini nggak digubris sama sekali oleh masyarakat kita, bahkan dunia. Yang pada akhirnya, demokrasi kita hanya mengandalkan dua modal, yakni modal popularitas dan modal ekonomi sebagai kendaraanya.

Di sebuah perbincangan warung kopi, seorang kolega saya sempat mengajukan pertanyaan receh kepada forum: bagaimana caranya biar bisa jadi caleg? Sederhana, bernada guyonan, tapi cukup menggelitik kalangan pemuda di warung kopi. Saya pun mencoba memberi pendapat saat itu, berdasarkan apa yang saya liat, bahwa syarat jadi caleg itu cuma dua, yakni kaya dan terkenal. Keduanya saling melengkapi dan menjadi senjata paling khas era saat ini.

Jadi, seperti artis yang udah punya kedua modal itu, tentu mereka yang berpikir untuk mengupdate kehidupannya, akan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Tapi kan mereka udah kaya kenapa kok nyari penghidupan uang negara? Pemimpin kan mengabdi, bukan pekerjaan sampingan?

Pertanyaan itu mungkin sering kali ditemui ketika ada artis jadi caleg. Jawabannya sebenarnya sederhana, sebagaimana petuah Mbah Nietzsche bahwa setiap insan itu memiliki kehendak untuk berkuasa. Nggak ada rasa puas. Ketika ada peluang, rasa ingin berkuasa itu pasti ada.

Demokrasi hanya untuk smart people

Sebelum mengakhiri tulisan ini, beberapa pembaca pasti ada yang menganggap bahwa saya menolak demokrasi sebagaimana Socrates, atau bahkan konyolnya menganggap saya mendukung artis yang jadi caleg. Tapi, sebenernya saya hanya ingin menegaskan bahwa demokrasi itu hanya untuk masyarakat yang cerdas, masyarakat berpendidikan, smart people, pemilih yang udah pinter dan bijak dalam memilih.

Demokrasi membebaskan siapa pun untuk berkontestasi. Meski calonnya bobrok, asal administrasi terpenuhi, lancar. Tapi jangan lupa, demokrasi itu seharusnya mensyaratkan pemilih yang cerdas dan bijak. Jadi meskipun kalau ada calon yang nggak berkompeten, ya tinggal nggak dipilih. Gitu aja kok repot.

Sayangnya, di Negeri Wakanda, nggak hanya calonnya yang bobrok, tapi masyarakatnya juga ikut goblok. Sehingga yang ada hanyalah cemooh, nyinyir, asal-asalan, ribut nggak jelas. Pemilu pada akhirnya adalah event lima tahun sekali untuk keributan dan kekacauan antara calon yang bobrok dan pemilih yang goblok.

Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Alasan Artis Nggak Bisa Lagi Jadi Senjata Parpol Mendulang Suara

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 22 Mei 2023 oleh

Tags: artisCalegDemokrasipemilu 2024Politik
Mohammad Maulana Iqbal

Mohammad Maulana Iqbal

Terkadang sedikit halu.

ArtikelTerkait

calon kepala desa

Negosiasi dengan Calon Kepala Desa Waktu Sosialisasi Visi dan Misi

10 Juni 2019
Baliho Caleg di Jalan Tangkel-Suramadu Malah Bikin Saya Ogah Nyoblos. Mending Balihonya Direvisi Sekarang, Pak/Bu!

Baliho Caleg di Jalan Tangkel-Suramadu Malah Bikin Saya Ogah Nyoblos. Mending Balihonya Direvisi Sekarang, Pak/Bu!

14 Januari 2024
Sejarah Heroin: Berawal dari Obat Batuk, Berakhir Menjadi Barang Terkutuk

Sejarah Heroin: Berawal dari Obat Batuk, Berakhir Menjadi Barang Terkutuk

25 Agustus 2022
Larangan Gaya Foto ASN Jelang Pemilu 2024 Bawa Berkah bagi Saya

Larangan Gaya Foto ASN Jelang Pemilu 2024 Bawa Berkah bagi Saya

9 Desember 2023
Puan Maharani, Satu-satunya Capres Perempuan dari Partai Sejauh Ini Terminal Mojok

Puan Maharani di Mata Sesama Perempuan: Privilese Itu Tidak Menarik di Mata Kami

6 Desember 2022
mural represi residu orde baru mojok

Mural, Represi, dan Residu Orde Baru

16 Agustus 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Harga Nuthuk di Jogja Saat Liburan Bukan Hanya Milik Wisatawan, Warga Lokal pun Kena Getahnya

Harga Nuthuk di Jogja Saat Liburan Bukan Hanya Milik Wisatawan, Warga Lokal pun Kena Getahnya

21 Desember 2025
Perlintasan Kereta Pasar Minggu-Condet Jadi Jalur Neraka Akibat Pengendara Lawan Arah

Perlintasan Kereta Pasar Minggu-Condet Jadi Jalur Neraka Akibat Pengendara Lawan Arah

24 Desember 2025
Universitas Terbuka (UT): Kampus yang Nggak Ribet, tapi Berani Tampil Beda

Universitas Terbuka (UT): Kampus yang Nggak Ribet, tapi Berani Tampil Beda

26 Desember 2025
Nestapa Tinggal di Kendal: Saat Kemarau Kepanasan, Saat Hujan Kebanjiran

Nestapa Tinggal di Kendal: Saat Kemarau Kepanasan, Saat Hujan Kebanjiran

22 Desember 2025
Perpustakaan Harusnya Jadi Contoh Baik, Bukan Mendukung Buku Bajakan

Perpustakaan di Indonesia Memang Nggak Bisa Buka Sampai Malam, apalagi Sampai 24 Jam

26 Desember 2025
Situbondo, Bondowoso, dan Jember, Tetangga Banyuwangi yang Berisik Nggak Pantas Diberi Respek

Situbondo, Bondowoso, dan Jember, Tetangga Banyuwangi yang Berisik Nggak Pantas Diberi Respek

25 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Pemuja Hujan di Bulan Desember Penuh Omong Kosong, Mereka Musuh Utama Pengguna Beat dan Honda Vario
  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal
  • Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha
  • Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya
  • Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa
  • Sempat “Ngangong” Saat Pertama Kali Nonton Olahraga Panahan, Ternyata Punya Teropong Sepenting Itu

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.