Belakangan ini, saya sering melihat di linimasa media sosial tentang curhatan (kritikan tepatnya) dari adek-adek saya di kampus mengenai kebijakan universitas swasta di Malang (Univeristas Muhammadiyah Malang) yang membuka pendaftaran mahasiswa baru lewat jalur influencer (ya kampus itu adalah almamater saya) dengan syarat follower instagram sebanyak 10 ribu atau Subcriber YouTube sebanyak 5K. Sepintas dari komentar mereka mengisyaratkan rasa kekecewaan, bahkan malu terhadap keputusan ini. Ada juga yang mempertanyakan keputusan ini, yang dianggap nyeleneh, aneh dan tidak umum.
Tentu saja, bagi saya ini adalah hal yang menarik untuk dibahas. Jika ini adalah keputusan yang dianggap sebagian orang kontroversial, lalu apa yang menjadi problematika dalam keputusan ni sehingga banyak yang menolak cara penerimaan mahasiswa baru yang seperti ini?
Penolakan itu wajar; Perubahan itu tak mudah
Di zaman yang serba canggih ini, manusia akan menghadapi banyak realita hidup yang begitu cepat dan drastis perubahannya. Mulai dari peran teknologi yang menggantikan peran manusia secara perlahan. Ini semua adalah fenomena yang bisa disebut sebagai disrupsi. Ada perubahan pada tatanan yang telah berlaku sebelumnya secara settle, berganti pada sebuah bentuk inovasi yang sama sekali berbeda dan di luar kebiasaan.
Tentu saja, apa pun yang berada di luar kebiasaan, pastinya akan sulit diterima oleh manusia yang sudah ‘terbiasa’ menjalani sesuatu sesuai dengan kebiasaan. Hal ini sangat wajar, toh nabi Muhammad SAW juga mengalami penolakan ketika melakukan ‘perubahan’ di Mekah dan Madinah dalam proses dakwahnya, bukan?
Maka, wajar pula pada konteks ini, yakni keputusan untuk membuka jalur pendaftaran mahasiswa baru melalui jalur influencer, terjadi penolakan-penolakan dari berbagai pihak, karena ini adalah hal yang berada di luar ‘kebiasaan’. Bagi saya, ini justru merupakan sebuah inovasi dalam strategi dalam menggaet mahasiswa baru agar dapat mengenyam pendidikan tinggi. Iya, bagian dari strategi, dan ini wajar, bahkan, bisa jadi inovasi strategi justru mendisrupsi proses seleksi mahasiswa baru yang umumnya lewat tes tulis dengan les yang ampun-ampunan.
Apakah ini salah? Saya akan jawab, ini tidak masalah sama sekali, bahkan ini bukanlah masalah mengenai benar/salah, etis/tidak etis, dan justru ini adalah salah satu cara kampus agar tetap relevan dengan zaman, relevan dengan kaum milenial. Justru ini adalah saatnya, di tengah era disrupsi ini, kampus mengambil langkah untuk melakukan perubahan, bahkan jika itu dimulai dari seleksi mahasiswa baru. Maka dari itu, alih-alih melihat hal ini sebagai sebuah ancaman, perlu bagi kita (terutama adek-adek saya) melihat ini sebagai sebuah peluang.
Influencer punya Potensi
Patut diingat bahwa pengaruh influencer ini sangat besar dalam kehidupan bangsa ini. Buktinya, Presiden Joko Widodo mau ngeluarin biaya yang gak sedikit untuk menggaet mereka. Bahkan yang terkini, dilansir dari CNN, Presiden Joko Widodo berencana mengucurkan dana Rp72 miliar untuk para influencer yang diharapkan mampu menangkal dampak pandemic COVID -19 terhadap sektor pariwisata Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, ini uang APBN! Uang pajakmu! Lho heeeee
Melihat hal ini, maka perlu diakui bahwa peran influencer saat ini memang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat saat ini. Melalui konten-konten mereka inilah opini publik dapat terbentuk dan tentu saja harus diakui, suplai informasi saat ini justru bergantung pada influencer ini. Saat ini, harus diakui pula bahwa suplai informasi sudah bukan lagi dari TV, koran dkk, tapi ya dari media sosial. Dan influencer ini lah yang menguasai media sosial dengan konten-konten mereka.
Kebijakan serupa (seleksi mahasiswa baru lewat jalur influencer) juga pernah dilakukan oleh UPN Veteran Jakarta pada 2019. Ini membuktikan bahwa kebijakan ini ya tidak aneh-aneh amat. Ini juga relevan dengan semangat pembelajaran yang menjujung tinggi nilai-nilai revolusi industri 4.0. yang berarti saat ini tuntutan zaman yang semakin dinamis dan kreatif ini.
Bagi saya, justru kehadiran influencer ini adalah bukti bahwa media sosial dapat digunakan sebagai sarana mengoptimalkan bakat dan minat seseorang. Gak gampang lho, punya follower 10000 keatas itu (kecuali beli, ya monmaap), tentunya untuk mencapai follower sebanyak itu, diperlukan kegigihan dalam menciptakan konten, kecerdasan visual dan eksplorasi kreativitas yang tentu tidak mudah. Nah, inilah yang perlu ditangkap oleh kampus bahwa anak-anak muda sekarang dapat bereksplorasi melalui hal ini. Ini juga merupakan upaya agar akses pendidikan dapat dirasakan siapa saja secara lebih luas, termasuk pada influencer. Kan mereka juga berhak kuliah dan belajar. Btw, Bayu Skak ya bisa wisuda tanpa skripsi ya karena karyanya, ini bukti bahwa bisa kok potensi ini ditumbuhkembangkan.
Kalau para hafiz quran, pemain basket bisa daftar kampus impian melalui jalur prestasi, lantas kenapa kita menghujat keputusan yang menyatakan bahwa influencer dapat masuk melalui jalur influencer? Toh mereka memliki kemampuan dan potensi yang bisa diasah dan potensi ini bisa dididik dengan baik, bukan tidak mungkin, para influencer ini nantinya, menjadi ujung tombak dakwah Persyarikatan Muhammadiyah. Mahasiswa Influencer ini (kalau keterima wkwkwk), dapat menjadi modal sosial yang tepat bagi Persyarikatan Muhammadiyah melalui Perguruan Tinggi Muhammadiyah dalam melebarkan sayap dakwahnya. Tentu menjadi nilai plus apabila influencer ini bisa menjadi kader Muhammadiyah.
Maka dari itu, dalam kasus ini, perlu juga untuk melihat potensi yang terdapat pada influencer-influencer ini nantinya. Selama kampus dapat mendidik dengan baik dan optimal, ya tinggal ditunggu pula hasilnya sehingga ini menjadi modal sosial yang berharga bagi kampusku yang tercinta ini. Ingat, K.H. Ahmad Dahlan dahulu juga melakukan upaya modernisasi dalam dakwahnya dan dapat nyinyiran juga dari penduduk sekitarnya. Masak kita ya ikut-ikutan nyinyir? Jangan-jangan kita yang gak tau seberapa besar potensi menjadi influencer ini, hadeuh….
BACA JUGA Tren Para (So Called) Influencer yang Menginginkan Gratisan Bermodalkan Jumlah Followers atau tulisan Bintang Sasmita Wicaksana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.