Akhir-akhir ini film pendek berjudul Unbaedah menjadi salah satu film pendek yang ikut populer akibat viralnya film pendek berjudul Tilik. Pasalnya saat saya melihat film tersebut di awal tahun 2020, jumlah viewers youtube-nya baru sekira 30 ribuan orang saja. Namun dalam minggu ini penontonnya sudah menembus angka 500 ribuan lebih, sungguh kenaikan yang fantastis.
Maklum, Siti Fauziah yang berperan sebagai Bu Tejo dalam film Tilik juga meramaikan film Unbaedah sebagai Baedah itu sendiri. Semua orang terlalu rindu sama kelakuan menggemaskan Bu Tejo.
Film ini pun dinobatkan sebagai film terfavorit pada Anti-Corruptipn Film Festival 2019 yang diselenggarakan olek KPK. Memang sangat pantas apabila mendapatkan penghargaan tersebut karena film ini benar-benar menampilkan realitas korupsi yang mungkin lekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Perilaku korup yang digambarkan sederhana dalam film
Selain karena prestasi, nilai-nilai yang disampaikan oleh Unbaedah pun sangat ngena. Biasanya perilaku korupsi itu nggak jauh dari kasus suap, hingga mengambil uang anggaran instansi, dst. dst. . Akan tetapi dalam film ini, tindakan korupsi yang digambarkan sangatlah sederhana. Tokoh baedah terlihat sering sekali mengambil jatah lebih saat ada pembagian konsumsi di tengah kegiatan masyarakat, seperti buka bersama ataupun tahlilan. Persoalan yang sangat ringan dan mungkin pernah atau sering kita lihat dalam kehidupan nyata.
Hal yang paling menarik menurut saya adalah solusi yang ditawarkan film pendek Unbaedah ketika memberantas perilaku korup yang mengambil jatah berkat tahlilan. Ada keterlibatan masyarakat dalam penanganannya. Bisa kita lihat bahwa yang memberi pelajaran kepada tokoh Baedah bukanlah aparat maupun pengurus RT/RW, melainkan orang-orang yang merasa dirugikan oleh Baedah. Ternyata hal ini lebih efektif untuk menjerakan Baedah yang telah melakukan tindakan korupsi.
Hukuman bagi koruptor perlu melibatkan masyarakat
Menurut saya, melibatkan masyarakat sebagai salah satu alternatif proses penghukuman bisa menjadi alternatif yang sangat efektif bagi penegakan hukum kita, terutama terhadap tindak pidana korupsi. Sebagaimana tindakan para korban yang menghukum Baedah dengan cara mereka sendiri.
Saya jadi membayangkan apabila para koruptor tidak hanya dihukum pidana penjara, akan tetapi dapat dipidana dengan melibatkan masyarakat sebagai korbannya. Bisa jadi akan ada perasaan lebih takut untuk melakukan korupsi. Misal, ketika ada oknum anggota dewan yang terbukti melakukan korupsi bisa dihukum dengan melakukan kerja sosial secara individu (membersihkan musala, kampung, atau rumah-rumah warga) di seluruh daerah dapilnya selama berapa tahun dan dikawal oleh seluruh masyarakat.
Atau, jika seorang pejabat terbukti melakukan korupsi bisa dihukum untuk ikut tukar nasib dengan orang-orang yang kurang beruntung secara ekonomi di daerah tempat tinggalnya selama beberapa tahun. Sehingga orang-orang yang kurang beruntung tersebut bisa merasakan hidup layaknya pejabat secara bergantian.
Atau mungkin yang agak nyeleneh, dijewer oleh semua jajaran pegawainya di seluruh Indonesia. Sama kayak film Unbaedah yang eksekusinya ekstrem sekali. Silakan ditonton sendiri deh, takutnya spoiler.
Siapa tahu alternatif hukuman tersebut bisa lebih menimbulkan rasa takut bagi koruptor. Karena ada upaya-upaya yang lebih agresif dengan melibatkan masyarakat, sehingga proses hukuman akan lebih menimbulkan efek jera. Selain itu, sanksi sosial yang diberikan masyarakat memang lebih kejam daripada jeruji besi. Ah andai saja bisa begitu.
Sumber gambar: YouTube KPK RI.
BACA JUGA One Piece, Manga Terbaik di Dunia, Adalah Tempat Terbaik Belajar Diskriminasi atau tulisan Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.