Dukun beranak masih ada dan mungkin berlipat ganda
Membahas perkara praktik klenik dan perdukunan di negara nol enam dua ini memang nggak ada habisnya. Setelah sebelumnya sempat muncul polemik Rara si pawang hujan di ajang MotoGP Mandalika, kali ini muncul sebuah perseteruan maha dahsyat antara Gus Samsudin dengan Pesulap Merah. Saking dahsyatnya, sampai-sampai Persatuan Dukun Indonesia melaporkan si pesulap nyentrik itu ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Sontak saja hal ini memicu pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian besar membela aksi-aksi frontal Pesulap Merah dan menghujat habis-habisan praktik dukun yang katanya penuh dengan tipuan dan pencabulan.
Saya nggak mau ikut-ikutan pusing dengan perseteruan yang memang nggak penting itu. Saya hanya sekadar mengingatkan, bahwa nggak semua dukun itu selalu berhubungan dengan hal-hal gaib berbau klenik dan mistis. Dukun beranak, misalnya. Sependek pengetahuan saya, dukun beranak itu nggak pakai mantra sihir, jampi-jampi, atau bantuan jin sekalipun. Mereka adalah orang-orang yang dipercaya oleh masyarakat setempat dan memiliki keterampilan dalam menolong persalinan secara tradisional. Keterampilan ini mereka peroleh secara turun temurun melalui pengalaman praktis.
Tunggu sebentar, memangnya masih ada ya profesi dukun beranak di zaman sekarang? Jangan salah. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dukun beranak masih memegang peranan penting dalam membantu proses persalinan ibu hamil. Sepanjang 2021, tercatat ada lima provinsi dengan persentase tertinggi ibu hamil usia 15–49 tahun yang persalinannya dibantu oleh dukun beranak. Kelima provinsi itu adalah Maluku (27,47 persen), Maluku Utara (17,10 persen), Papua (12,25 persen), Kalimantan Tengah (11,23 persen), dan Papua Barat (10,72 persen). Nah, apa dukun semacam ini juga perlu dihujat? Ya nggak, dong. Justru keberadaan profesi dukun semacam ini harus mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.
Dari angka persentase yang disebutkan tadi, seharusnya pemerintah sudah bisa mengevaluasi program-program di bidang kesehatan yang sudah berjalan selama ini. Kenapa masih ada ibu-ibu hamil yang proses persalinannya dibantu oleh dukun beranak, bukan oleh dokter, bidan, atau tenaga kesehatan lainnya? Apakah fasilitas kesehatannya masih kurang? Apakah ada kelangkaan tenaga kesehatan di wilayah tertentu? Apakah terkendala biaya persalinan yang terlalu mahal? Atau mungkin ada alasan lainnya? Ini perlu diperhatikan oleh pemerintah agar semua proses persalinan ibu-ibu hamil ditangani oleh orang-orang yang kompeten dari sisi medis dan dilakukan di tempat yang representatif.
Di sisi lain, peran dukun beranak dalam membantu persalinan ibu hamil pun bisa dioptimalkan. Salah satunya adalah melalui program penyuluhan dan pembinaan dukun beranak yang hingga saat ini masih dilakukan oleh beberapa puskesmas di seluruh wilayah Indonesia. Tapi ya, kalau bisa bukan cuma pembinaannya saja yang diberikan, tapi kesejahteraan mereka pun perlu diperhatikan. Hal-hal penting dan krusial inilah yang perlu dipikirkan oleh pemerintah supaya risiko kematian ibu dan bayi saat persalinan bisa diminimalisir.
Nah, kalau balik lagi ke kasus perseteruan Gus Samsudin dan Pesulap Merah tadi, saya nggak mendukung keduanya. Saya cuma mendukung pemerintah supaya lebih memperhatikan nasib profesi dukun beranak di Indonesia sekaligus mengoptimalkan peran dan fungsinya dalam membantu proses persalinan ibu hamil.
Lalu apakah dukun-dukun yang lain nggak bisa dioptimalisasikan perannya supaya bisa berguna bagi bangsa dan negara? Ya bisa saja sih, kalau mau. Tapi, saran saya nggak usah. Fokus ke hal-hal penting aja. Kalau mau ngurusin, ya gapapa sih, ketaker kualitasnya kek mana ye kan?
Penulis: Andri Saleh
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kalau Dukun Pesugihan Bisa Bikin Kaya, Kenapa Nggak buat Dirinya Aja?