Dosen Bukan Lagi Manusia Setengah Dewa, tapi Memang Sudah (Cosplay) Jadi Dewa

Dosen Bukan Lagi Manusia Setengah Dewa, tapi Memang Sudah (Cosplay) Jadi Dewa

Dosen Bukan Lagi Manusia Setengah Dewa, tapi Memang Sudah (Cosplay) Jadi Dewa (Pixabay.com)

Ungkapan “dosen adalah manusia setengah dewa” barangkali bukan lagi ungkapan yang cocok untuk saat ini. Sebab, Hercules lah yang muncul di pikiran kita jika dengar kata demigod (sebutan manusia setengah dewa). Dan dosen, jelas nggak ada seujung kukunya Hercules.

Hercules kerap jadi perlambang moral, kekuatan, kebajikan, dan sejenisnya, sesuai portrayal yang media berikan padanya. Masalahnya, dosen nggak ada mirip-miripnya sama itu. Dan dosen memang bukan demigod, tapi dewa itu sendiri.

Saya akan cerita tentang beberapa dosen yang bertingkah bagai akamsi Olympus, dan seakan-akan punya pengaruh sebesar itu terhadap perputaran dunia.

Ragam perilaku yang amat hadeh

Mungkin sudah menjadi hal yang lumrah ketika terdapat dosen yang barangkali masuk kelas saja sebisanya atau sulit untuk ditemui. Saya atau teman-teman yang juga mahasiswa tentu memaklumi hal tersebut. Karena, kita sama-sama tau jika tugas dosen tidak hanya mengajar. Di luar itu, ada juga kewajiban untuk melaksanakan tri dharma perguruan tinggi lainnya –penelitian dan pengabdian.

Akan tetapi, hal ini tidaklah menjadi lumrah ketika terjadi berulang kali. Apalagi setiap kali mahasiswa memintanya untuk bertemu.

Ada juga dosen yang senang memberikan tugas-tugas kepada mahasiswanya. Apalagi kesenangan itu terus berlanjut sehingga mahasiswa diminta untuk mempresentasikan dalam kelas terkait hasil tugas yang ia kerjakan. Hal ini seakan membuat tugas dosen untuk mengajar kian tergantikan oleh mahasiswanya.

Tipe yang terakhir adalah dosen yang memberikan nilai tergantung mood mereka. Sayangnya, hal ini juga lumrah ditemui banyak mahasiswa di kampus-kampus lain. Misalnya, kalau dosen nggak suka sama si X, maka si dosen ngasih nilai C, begitupun sebaliknya.

Tapi kasus yang saya temui kali ini berbeda dengan kasus yang bisa dilumrahkan seperti yang lain. Pasalnya, mood yang kurang baik ini, tidak hanya menimpa perseorangan, melainkan menimpa seluruh teman-teman kelas termasuk saya. Hingga pada akhirnya, nilai yang dirasa kurang memuaskan pun muncul.

Parahnya, ketika ditanya tentang transparansi penilaian pada mata kuliahnya, beliau hanya mengatakan, “Silakan introspeksi diri saja”. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar di kalangan akademik yang mengagungkan rasionalitas bukan?

Baca halaman selanjutnya

Situ tetangga Zeus?

Yang punya Olympus ya, Bos? Situ tetangga Zeus?

Memang barangkali, di kelas tersebut sukar untuk diatur atau lebih tepatnya berisik. Tetapi apakah pantas jika dalam skala kelas yang pasti isinya beragam justru digeneralisasi? Lagian berisiknya dalam perkara akademis kok.

Sistem penilaian yang diberikan ini, seakan disamakan dengan sistem ganjaran yang diberikan oleh dewa kepada umatnya. Dosen dalam hal ini seakan ingin agar mahasiswanya tidak hanya jago dalam segi kognitif tetapi juga akhlaknya. Udah mirip banget kan kaya dewa?

Padahal dalam pembuatan kesepakatan penilaian di awal pertemuan, kata akhlak atau perilaku tidaklah disebutkan. Apalagi menjadi syarat penilaian di dalamnya. Syarat penilaian tersebut hanya menyebutkan nilai keaktifan, UTS, dan UAS.

Sistem yang mendukung dosen berbulu dewa

Yang terakhir nih biar lebih parah, hehehe. Jadi, di kampus X ini, terdapat sebuah sistem yang menurut saya sangat mendukung terhadap penjelmaan dewa tersebut. Salah satunya adalah sistem evaluasi dosen.

Selain adanya evaluasi mahasiswa, evaluasi dosen juga menjadi keniscayaan di setiap kampus. Yang mana dalam evaluasi tersebut, mahasiswa dihadirkan untuk memberikan pandangan mereka terkait kompetensi dosen yang telah mengajar mereka dalam satu semester.

Sayangnya, waktu pengisian tersebut ditempatkan jauh-jauh hari sebelum nilai akhir diberikan. Masalahnya adalah, dosen berbulu dewa ini bisa dengan mudah mengidentifikasi mahasiswa yang ngasih dia penilaian nggak bagus. Ya, mau nggak mau, mahasiswa “mengamankan diri”. Situ mau ngomongin moral? Oke. Tapi nasib perkuliahan kami gimana? Maju kena mundur kena nih.

Saya tak tahu apa yang melatar belakangi sikap para dosen berbulu dewa. Entah karena merasa di atas angin, atau aji mumpung, atau apalah saya tak peduli. Hanya saja, saya merasa aneh, di dunia akademis yang harusnya memberikan pelajaran moral, justru yang saya lihat adalah sikap unjuk kekuasaan yang benar-benar di luar akal.

Penulis: Nabil Rifqi Nidhomi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Dosen yang Jarang Ngajar, Nggak Pernah Koreksi Tugas, Plus Pelit Nilai Sebenarnya Minta Diapain sih?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version