Bulan April kemarin, saya menemani almarhum kakek ke Rumah Sakit Umum Daerah. Bengkak yang makin parah di lengan kanannya, membuat kami sekeluarga hendak merujuk beliau ke Rumah Sakit di ibukota provinsi. Hari itu saya mengantri di depan ruangan Poli Bedah, dari pagi hingga siang. Menunggui dokter yang kata perawat, masih punya urusan di luar sana.
Pukul satu siang, pintu ruangan poli bedah dibuka. Petugas mulai memanggil satu per satu pasien. Namun, barulah tiga puluh menit kemudian, giliran kakek saya disebut namanya. Bersama tante, saya menemani beliau masuk ke ruangan. Dokter meminta berkas yang hendak diisi untuk keperluan rujukan. Tiga menit mengisi berkas dengan tulisan acak-acakan khas seorang dokter, konsultasi kami berakhir. Singkat betul, cuk!
Di perjalanan pulang, batin saya menggeliat. Seperti ada sesuatu yang mengganjal perihal konsultasi tadi. Saya kemudian mengingat kembali beberapa pengalaman ketika berhadapan dengan dokter. Ada satu hal yang bisa saya simpulkan, sebagian dokter telah kehilangan senyuman kepada pasiennya. Setidaknya itu kesimpulan subyektif, berangkat dari pengalaman yang lalu. Entah majelis sidang sekalian, apakah sama atau berbeda? Semoga kesimpulan kita masih bisa didiskusikan. Tolong jangan hakimi saya. Hehehe
Dokter ahli bedah yang mengisi berkas rujukan, sama sekali tidak tersenyum pada kami, terlebih kepada almarhum kakek. Bertanya perihal kondisi beliau pun, tidak terucap dari mulutnya. Dokter itu hanya berkata, “Nanti dirujuk ke RS Wahidin Sudiro Husodo Makassar saja!”. Dingin sangat bro. Air muka pak dokter itu abstrak, persis tulisan tangannya yang sulit dibaca.
Pernah juga saya memeriksakan diri, sewaktu menderita demam plus batuk parah tahun 2016 silam. Berlama-lama ngantri di sebuah klinik yang lumayan terkenal, naik turun tangga melewati beragam prosedur pemeriksaan, eh ketemu dokter yang raut wajahnya tidak menunjukkan ekspresi ramah sekali. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya seperti dicomot dari buku panduan tertentu. Mungkin hasil dari latihan selama di Fakultas Kedokteran kali ya. Latihan orang pintar gitu.
Saya dulunya berpikir, dokter-dokter yang bertingkah begitu, mungkin akibat kelelahan mengurusi pasien dari pagi sampai malam hari. Kebanyakan dokter—selain dinas di Rumah Sakit—juga nyambi memeriksa pasien di klinik milik sendiri atau swasta punya. Mengurusi sekian banyak pasien, dengan segala macam jenis keluhan, dengan segala tingkat keparahan penyakit, tentu menguras banyak tenaga. Ditambah harus menulis puluhan resep obat, tangan pak-bu dokter bisa pegal-pegal. Belum lagi urusan di luar pekerjaan, semisal keluarga, beban itu membuat dokter agak sulit tersenyum.
Kemudian, pikiran itu luntur setelah bertemu langsung dengan dokter yang murah senyum. Jenis yang seperti itu ternyata ada dan kesimpulan saya yang menyatakan hanya sebagian, benar adanya.
Enam bulan lalu, saya memberanikan diri ke sebuah klinik di Kabupaten Gowa. Batuk parah selama dua bulan bikin tubuh saya lemas dan kurang nafsu makan. Bobot turun 13 kilogram. Sebenarnya saya agak takut divonis penyakit berat, tapi atas desakan orang terdekat, ya ke sana saja. Toh, demi kesehatan dan umur panjang.
Menunggu sekitar tiga puluh menit, akibat telat booking nomor antrian, saya akhirnya dipanggil masuk ke ruangan. Kesan pertama berhadapan dengan beliau ini adalah kelegaan. Yah, lega rasanya ketika pantat belum menyentuh kursi, dokter malah duluan menyapa. “Selamat malam, Dek,” ucapnya sembari tersenyum.
Dokter melanjutkan dengan pertanyaan seputar keluhan. Nada bicaranya yang ramah dan sopan, bikin saya menceritakan apa saja perihal keluhan yang saya alami selama dua bulan terakhir. Beliau belum memvonis saya hari itu. Ia memberi saya surat rujukan pemeriksaan rontgen paru-paru ke Rumah Sakit terdekat.
Besok malam, saya datang membawa hasil rontgen. Dokter dengan sedikit nada lesu mengabarkan bahwa saya terserang virus tuberkulosis paru dan menganjurkan saya untuk berobat selama enam bulan. TBC merupakan penyakit pembunuh ke empat di Indonesia dan tentu saja—saya takut mati. Hahaha. Tapi beliau malah bilang gini, “Kamu bisa sembuh asalkan tidak putus minum obatnya”. Lagi-lagi dengan senyum Pepsodent atau mungkin Ciptadent—nantilah saya tanya ke beliau.
Bulan Juni ini, pengobatan saya hampir usai. Sebelumnya, setiap sebulan sekali, saya harus konsul untuk melihat perkembangan, sejauh mana virus itu mulai diredam. Satu kata yang selalu dokter itu ingatkan saat sedang konsul, “Semangat ya! Jangan pernah putus minum obatnya”. Siapa coba yang tidak bersemangat untuk sembuh, ketika salah satu elemen penting – selain keluarga dan kawan terdekat – dalam pengobatan turut memberi semangat.
Apabila seorang kiai adalah perantara umat masa kini untuk menikmati keabadian surga di akhirat kelak, maka dokter adalah perantara umat masa kini untuk sedikit lebih lama menikmati ‘surga’ di dunia. Dengan secercah senyuman dari dokter kepada pasien, ketakutan-ketakutan akan penyakit, jadi obat batin tersendiri. Seperti adagium populer yang terkenal di kalangan anak sekolahan, “Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”.
Obat-obat kimiawi memang memperbaiki sel yang rusak, menghabisi segerombolan virus, bahkan memperkuat kondisi tubuh. Tapi, apa jadinya bila kesehatan jiwa dan pikiran tidaklah kembali. Tentu, proses pemulihan dan kesembuhan akan sedikit terhambat. Senyuman dari dokter, yang pasien percaya sebagai perantara Tuhan untuk urusan kesehatan di dunia, begitu penting.
Arkian, kepada pak dokter yang rajin senyum itu, saya haturkan banyak terima kasih. Saya tidak usah sebut namanya, nanti malah iklan lagi. Wqwqwq. Oh, masih satu lagi. Teruntuk fakultas kedokteran di kampus mana saja, tolong tambah satu mata kuliah, judulnya “sesi belajar tersenyum”. Supaya lulusan dokternya, lebih banyak lagi yang suka senyum. Masak kalah sama petugas pom bensin yang tamatan SMP itu. Malu bos!