Saya ditinggal nikah berkali-kali oleh mantan pacar (dan “pacar”) saya. Ajaibnya, tak sekalipun saya menangis karena ditinggal nikah oleh orang yang pernah mengucap janji akan hidup bersama. Saya kadang menganggap ini macam kutukan bahwa orang yang mencintai saya akan meninggalkan saya dengan cara tersakit hingga akhirnya saya tak peduli lagi.
Tapi, jujur saja, saya nggak pernah merasa sedih ketika mendengar kabar mantan saya menikah. Saya justru lebih sedih melihat kawan-kawan saya menikah. Di umur yang katanya harusnya sudah menikah ini, saya justru lebih sering memikirkan kenapa Zidane tidak memainkan Jovic atau sebenarnya seperti apa rasa ramen di Ichiraku.
Saya bahkan nggak nangis ketika orang yang pernah saya begitu cintai menikah, yang bahkan saya pernah bersumpah bakal mendem geden ketika dia menikah bukan dengan saya. Alih-alih mendem, saya malah nonton tutorial mengawinkan cupang.
Dulu, pada 2016, saya akhirnya dekat dengan adik angkatan yang saya taksir sejak lama. Kita sempat bertukar romansa dengan cara pulang main dilama-lamain dan pesen minum di kedai thai tea pakai “atas nama Cinta” yang membuat saya mesem-mesem goblok. Sayangnya, saya jatuh cinta dengan orang yang tepat di waktu yang salah karena waktu itu saya punya pacar. Akhirnya tertebak, pacar saya tahu, ngamuk, dan saya harus “berpisah” dengan adik angkatan yang saya taksir. Tingkat galau saya saat itu bikin saya lumayan gila, sampai-sampai saya mancing di akuarium saya sendiri.
Penyesalan itu lumayan lama menghinggapi saya. Tapi, ketika mendengar dia menikah, saya nggak bereaksi apa-apa. Saya cuma mendoakan yang terbaik—itu pun jika doa saya diterima—dan melanjutkan hidup. Ditinggal nikah orang yang (pernah) saya cintai segitu dalam ternyata biasa saja.
Sebenarnya ditinggal nikah itu nggak remuk-remuk amat. Mungkin bagi beberapa orang, ditinggal nikah itu mengerikan, dan saya bisa memahami. Tapi, saya yakin bahwa fenomena ini seakan-akan harus dirayakan dengan tangis yang gegap gempita karena lagu-lagu sekarang mengeksploitasi ditinggal rabi dengan ugal-ugalan. Saya kadang bertanya-tanya, koe nek ra gawe lagu tentang ditinggal rabi opo ora iso, Su???
Tentu hal ini tidak berlaku untuk almarhum Didi Kempot. Hanya beliau lah yang bisa mengiris hati orang paling tangguh sekalipun tanpa menggunakan lirik yang mendayu-dayu.
Fenomena lagu ditinggal rabi tersebut membuat orang-orang tak bisa menerima bahwa ada orang yang bisa biasa saja ditinggal nikah. Mereka seakan menganggap bahwa manusia itu gumpalan daging yang kebetulan bisa menahan kentut, tapi tidak bisa menerima kenyataan.
Padahal, ya mau tidak mau, kita harus move on. Beberapa orang butuh berbotol-botol ciu, beberapa orang menangis sembari mengetik skripsi, beberapa orang tiba-tiba gabung Indonesia Tanpa Pacaran, beberapa orang memilih untuk mempersiapkan diri.
Mempersiapkan diri bahwa untuk orang yang (pernah) kita cintai, kita tidak cukup meyakinkan untuk diajak membangun rumah tangga dan menyicil KPR.
Move on itu tidak bisa kita hindari. Mau seberapa dalam kamu mencintai seseorang, kamu harus paham bahwa pada titik tertentu, dia tidak bisa dan bahkan tidak mau menjalani hidup denganmu. Terima saja, kenyataannya memang begitu.
Bukan berarti saya ilfil sama orang-orang yang menangis dan bersedih secara genuine karena ditinggal seseorang yang mereka cintai—terkadang lebih dari diri sendiri. Percayalah, saya pernah merasakannya. Tapi, bagi saya, bersedih akan sesuatu yang tak bisa diubah itu percuma. Sebab, saya tahu tangis saya tak akan memutar waktu. Dan saya juga nggak bisa menggunakan waktu sekarang ini untuk berusaha mengubah keadaan karena ya simply nggak bisa.
Mungkin saja saya pesimis makanya saya jadi siap untuk ditinggal nikah kapan pun. Tapi, setidaknya, saya nggak perlu melalui waktu-waktu muntah karena ciu dan menangisi waktu yang telah pergi.
Orang-orang yang tak percaya kita baik-baik saja setelah ditinggal nikah itu sebaiknya dikumpulkan jadi satu, lalu diberi kenyataan bahwa ada lho manusia yang menerima keadaan. Kesedihan itu pasti, tapi merayakan kesedihan itu pilihan. Mau dirayakan ya monggo, mau move on secepat mungkin ya monggo.
Yang namanya rasa cinta itu nggak jauh-jauh dari kesedihan, kadang malah sepaket. Ketika kita dicintai seseorang, ada yang remuk hatinya. Ketika seseorang yang kita cintai mencintai orang lain, kita yang remuk hatinya. Itu lumrah, yang nggak lumrah adalah nggak menerima kenyataan tentang hal tersebut.
Bagi kalian yang belakangan atau akan ditinggal nikah, sing tenang. Kalian boleh sedih, boleh (pura-pura) bahagia, boleh menunggu dia janda/duda, terserah. Tapi, pesan saya, terima keadaan. Sekeras dan sederas apa pun tangisan kalian, keadaan tidak akan berubah. Katering sudah terlanjur dibayar, cincin sudah terlanjur dipakai, dan dia sudah terlanjur bahagia. Yang perlu kalian lakukan adalah bersedih secukupnya (atau biasa saja, itu jauh lebih baik) dan segera temukan kebahagiaan ketika kalian sudah puas bersedih.
Sebab, ditinggal nikah itu biasa saja.
BACA JUGA Eden Hazard Main 20 Menit Jauh Lebih Bagus dari Vinicius Junior dalam 3 Musim dan artikel Rizky Prasetya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.