Semenjak artikel saya berjudul Susahnya Jadi Mahasiswa Bahasa Inggris Konservatif terbit di Terminal Mojok, banyak orang menyebut saya polisi bahasa. Sejujurnya saya sudah cukup sering dipanggil seperti itu sebelumnya. Tetapi setelah artikel itu dimuat, intensitasnya bertambah. Saya bingung—bingung mau bersyukur atau sambat.
My Lord dan My Lady, pada titik tertentu naluri kebanggaan saya sering muncul karena—merasa—mirip Ivan Lanin. Saya merasa satu spesies dengan beliau yang begitu berwibawa. Dengan pengetahuan begitu luas, para jomblo sering membuat Twitter lebih berfaedah dengan bertanya padanya mana kata baku dan mana tidak. Misalnya, yang benar “jamrud” atau “zamrud”, “standard” atau “standar”, dan “kamu” atau “dia”. Menjadi mirip Ivan Lanin berarti membuat saya dikenal luas dan penting. Itu keren—setidaknya bagi saya.
Di sisi lain, panggilan polisi bahasa membuat saya kadang cukup risih. Bagaimana tidak, tiap ada orang yang salah mengucap atau menulis bahasa Inggris, mata setiap insan seolah langsung tertuju pada saya.
“Polisi bahasa, tuh sweeping!”
Idih, sweepang-sweeping. Kayak sobat gurun FPI aja!
Begini ya, pemirsa—saya beri tahu. Dalam tulisan sebelumnya, saya memang mengaku sering mengoreksi kesalahan penggunaan bahasa—terutama bahasa Inggris. Namun, yang perlu diingat, saya tak selalu melakukannya. Saya melihat kesalahan itu dilakukan di mana. Dan saat mencoba memberi tahu yang benar pun, saya lihat-lihat kondisinya.
Ketika ngasih tahu kesalahan gramatikal misalnya, hampir semua yang saya koreksi itu untuk keperluan acara atau surat-menyurat. Artinya, saya melakukannya untuk hal-hal penting dan cenderung formal, seperti penggunaan “present” yang rawan keliru di pamflet-pamflet acara.
Kawan-kawan misqueen sekalian, coba bayangkan saat kalian bikin suatu acara dengan kata “present” yang melekat di pamflet. Niatnya sih ingin terlihat keren dengan cara keminggris meski cuma satu kalimat. Eh, akhirnya malah terlihat konyol karena secara tidak langsung menunjukkan kita tidak serius atau kompeten. Ironis banget nggak sih, gaes?
Melihat kata salah kayak gitu, bagi orang konservatif kayak saya membuat rasa ketertarikan pudar—bahkan bisa hilang begitu saja. Bukan apa-apa. Khilaf memang hal yang tak bisa lepas dari manusia. Namun, mengapa kesalahan seperti itu tak bosan-bosannya kita lakukan? Padahal, masih banyak kesalahan lain yang belum kita coba. Kan sayang.
Acara tersebut barangkali keren, menghadirkan bintang tamu tingkat nasional bahkan internasional. Tapi, lagi-lagi, jika masih ada kesalahan penggunaan “present”, pasti sangat menjemukan. Itulah the power of first impression. Kalau kata pepatah: karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Hal ini berlaku pula untuk urusan surat-menyurat secara resmi. Masa iya mau kirim undangan ke orang penting kayak juri atau bintang tamu masih salah-salah grammar? Kan nggak asik tuh.
Jadi begitulah. Yang saya koreksi itu cenderung untuk urusan penting dan formal. Tidak semua hal. Saya tahu kok, aspek paling penting dalam bahasa itu bagaimana pesan kita bisa tersampaikan dengan baik. Maka dari itu, saya sangat jarang menegur kesalahan berbahasa dalam kehidupan sehari-hari. Kalau saya tilang terus, bisa-bisa saya tak punya waktu luang buat bikin esai ini. Xixixi~
Yang perlu kalean tahu, saya juga memakai cara yang halus saat menegur. Saya tidak menghentikan tiba-tiba seperti oknum polisi saat kejar setoran, tidak juga mempermalukan dengan mengunggah di medsos. Saya memilih mengatakannya secara pribadi. Tapi kalau tidak kenal ya, saya memilih diam saja. Bukankah memang begitulah cara kita mengingatkan sesama? Termasuk dalam dakwah.
Meski begitu, banyak kawan yang tetap memanggil saya tukang tilang. Posisi saya sebagai editor di lembaga pers mahasiswa pun memperparah. Sudah jadi mahasiswa jurusan Bahasa Inggris, ditambah editor di redaksi. Lengkap bet dah.
Akibatnya, saya dapat julukan baru: kamus berjalan. Lhadalah, cobaan apa lagi ini, Ya Allah. Saya sungguh merasa terbebani dengan panggilan seperti itu. Meski saya (kadang) merasa mirip Ivan Lanin, sesungguhnya saya masih bukan siapa-siapa. Saya hanya Abu. Sudah. Tak lebih.
Pada titik ini, saya rasa sebutan itu sudah berlebihan. Jika saya sering mengoreksi kesalahan berbahasa orang lain, bukan berarti saya sudah benar-benar menguasai semua. Menegur, bagi saya, adalah salah satu bentuk kasih sayang dan perhatian kepada orang lain. Saya kadang sering pede membayangkan: jika saja saya tak mengoreksi kesalahan bahasa pada pamflet acara kawan saya, sebanyak apa orang lain yang akan melihat? Bagaimana impresi mereka turun sebab merasa panitia tidak serius karena meloloskan kesalahan seperti itu?
Sesungguhnya, sama seperti yang lain—termasuk yang sering salah itu, saya masih belajar. Kadang saya keliru juga. Saat melakukannya, saya butuh dikoreksi.
Sekali lagi, saya tak menguasai semua hal. Saya tidak hapal begitu banyak kata dalam kamus. Grammar saya tak selalu sistematis. Pelafalan saya tidak selalu tepat sebagaimana seharusnya.
Maka dari itu, kawan-kawan yang baik hati, janganlah kalian menganggap saya kamus berjalan yang selalu punya jawaban tepat. Kalian boleh bertanya, tetapi jika saya tak bisa menjawab atau salah, itu adalah kewajaran belaka. Jangan ada polisi bahasa kok gitu di antara kita.
Begitulah. Dipanggil polisi bahasa saja sesungguhnya saya tak pantas, apalagi kamus berjalan~