Dilema Saat Bertemu Sales di Mal: Dicuekin Salah, Didengerin Juga Salah

Dilematis Saat Bertemu Sales di Mal: Dicuekin Salah, Didengerin Juga Salah terminal mojok.co

Dilematis Saat Bertemu Sales di Mal: Dicuekin Salah, Didengerin Juga Salah terminal mojok.co

Malam itu harusnya saya dan anak-anak Terminal Mojok Jogja ngumpul dan membahas segala hal tentang dunia literasi. Waktu dan tempatnya sudah hampir fiks, saat mendadak pacar saya mengajak jalan-jalan. Daripada terjadi konflik dahsyat karena saya dituduh lebih milih ketemu mereka ketimbang nemenin pacar, akhirnya saya nemenin pacar jalan-jalan di salah satu mal paling hits di Jogja. Saya nggak pernah masalah pergi ke mal, tetapi yang selalu bikin saya berpikir dua kali untuk main ke mal adalah parkirnya yang ribet, mbak-mbak Jenius, dan sales yang sering ada di depan Gramedia.

Oke, parkir emang bisa di luar mal kalau nggak mau ribet. Pun mbak-mbak Jenius juga bukan masalah lagi bagi saya. Saat mbak-mbak Jenius mulai nyamperin, saya sudah menyiapkan kalimat pamungkas yaitu, “Saya sudah punya akun, Mbak!” sambil mbatin dalam hati, “Yang kemarin kebobolan gara-gara temen saya.” Akan tetapi, urusan sales di depan Gramedia adalah yang paling bikin dilema.

Jadi gini, saat saya ke mal, Gramedia adalah tempat wajib yang harus saya kunjungi, entah buat belanja buku atau sekadar liat-liat buku apa yang lagi pada nangkring di rak. Nah, karena saya sering ke Gramedia di mal itu, makanya saya hafal betul kalau pintu masuk Gramedia sering dihadiri mas-mas atau mbak-mbak yang selalu nawarin sesuatu. Bukan nawarin produk atau jualan, tetapi biasanya semacam charity gitu. Nah, setiap kali saya ketemu mas-mas atau mbak-mbak model beginian, saya selalu bingung harus bagaimana. Kalau saya mau mengabaikan panggilan mereka, kok rasanya jahat banget apalagi sudah pasti bertatapan muka. Pun sepemantauan saya, sudah banyak orang yang pergi tanpa peduli kehadiran mas-mas atau mbak-mbak yang sudah ramah menyapa itu.

Pas masuk ke Gramedia, saya bisa beralasan lagi pengin nyari buku dan belum ada waktu. Eh, setelah saya dapat buku dan mau keluar dengan santai, mas-mas tadi langsung datang dengan ramah di hadapan saya sambil bilang, “Permisi. Maaf, Kak, boleh minta waktunya sebentar?”

Melihat senyuman ramah dan sikap sopan mas-masnya itu, ya saya jadi rikuh sendiri. Mau bablas pergi kok kayaknya nggak sopan. Kalau mau dengerin, kok nanti ujung-ujungnya pasti berurusan dengan duit dan kemungkinan besar saya bakal menolaknya.

Akhirnya saya memutuskan untuk memberi waktu kepada mas-mas itu. Saya mau dengar apa yang dia ingin sampaikan, dan kalau memang menarik atau memang saya bisa membantu dia, mungkin bakal saya lakukan.

Mas-mas itu memperkenalkan dirinya dengan ramah. Setelah itu dia menanyakan nama saya dan nama pacar saya. Lantas, setelah basa-basi singkat, dia mulai menjelaskan tentang kondisi lingkungan di Indonesia. Dia mengatakan bahwa hutan di Indonesia adalah salah satu hutan terbesar dan terbaik di dunia, pun menjelaskan tentang kelestarian alam, tak lupa tentang Pulau Komodo, dan segala sesuatu tentang keindahan alam Indonesia. Wah, awal yang menarik, menurut saya. Setelah itu, dia menjelaskan tentang ancaman kelestarian lingkungan. Dia membahas seputar kebakaran hutan, satwa-satwa yang hampir punah, ancaman sampah plastik di lautan, serta kemungkinan yang terjadi di masa depan terkait lingkungan Indonesia.

Ya, meski saya bukan seseorang yang sangat vokal dengan isu lingkungan, tetapi saya tahu seperti apa ancaman kerusakan lingkungan, pun selalu berusaha tidak membuang sampah sembarangan, menggunakan plastik seminimal mungkin, dan beberapa tindakan kecil lainnya. Maka dari itu, saya putuskan untuk mendengarkan si mas-mas lebih jauh.

Si mas-mas lantas menjelaskan bahwa dia tergabung dengan semacam yayasan yang peduli terhadap isu lingkungan itu. Akan tetapi, fokus mereka bukanlah bagaimana mengatasi kerusakan lingkungan. Namun, mereka lebih kepada bagaimana penduduk lokal di daerah-daerah pelosok bisa lebih maju. Wah, pemelintiran cerita yang lumayan mulus menurut saya. Awalnya diceritakan tentang kekayaan alam, lantas ancaman kekayaan alam, kemudian berlanjut ke bagaimana penduduk di sekitar kawasan alam itu bisa lebih maju. Mulus. Cukup mulus, mirip-mirip artikel advertorial di Mojok.

Tetapi, begitu disampaikan bahwa yayasan tempat si mas-mas itu menggalang dana demi membantu ekonomi penduduk di kawasan alam, saya justru kehilangan minat. Bukan karena si mas-mas meminta donasi berupa penyisihan lima ribu rupiah per hari dari rekening saya. Namun, karena menurut saya semuanya menjadi melenceng. Premis yang dibangun sejak awal adalah soal lingkungan dan kerusakannya, sehingga saya berharap konsentrasi si mas-mas dan yayasannya adalah penggalangan dana untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih jauh, melakukan tindakan pencegahan, untuk riset pengolahan sampah plastik, atau entah apa selain itu. Saya kecewa karena justru diarahkan ke ranah ekonomi. Bukan berarti saya nggak peduli, ya, tetapi karena menurut saya itu sudah dua hal yang berbeda.

Makanya, setelah penjelasan disertai diskusi-diskusi antara saya dan si mas-mas terkait rusaknya lingkungan, saya memutuskan untuk tidak mengikuti program penggalangan dana. Saya jadi merasa bersalah, terlebih waktu yang dihabiskan selama penjelasan itu hampir setengah jam, terlebih karena saya kerap mengambilalih pembicaraan dengan membahas hutan di Papua yang semakin dieksploitasi.

Saat saya menolak dan ditanya alasan kenapa saya nggak mau donasi, saya bilang kalau setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk peduli terhadap lingkungan. Dan cara berdonasi lima ribu per hari guna membantu penduduk di kawasan wisata alam memajukan ekonomi bukanlah cara yang saya pilih. Akhirnya saya pergi sambil merasa sangat bersalah. Si mas-mas pasti sudah berharap saya ikutan donasi karena mendengarkan penjelasannya sampai tuntas, tapi akhirnya saya menolak tawarannya. Jauh di lubuk hati si mas-mas, dia mungkin mangkel sama saya karena sudah membuang waktunya cukup lama. Tapi ya gimana, saya merasa nggak tertarik dengan penawaran terakhirnya itu.

Kalau kemudian ada yang bilang saya sering iseng dengan dengerin penjelasan sales atau semacamnya dan berakhir dengan menolak penawaran, wehhh nggak gitu juga. Saya pernah pas makan cheeseburger di Burger King didatangi mbak-mbak yang menawari saya sebuah buku untuk dibeli. Hasil dari uang membeli buku itu akan dikumpulkan dan digunakan untuk membantu anak-anak penderita kanker. Dan ya, saya membeli buku yang seharga seratus lima puluh ribu rupiah itu. Karena apa? Karena penyampaiannya jelas dan nggak dipelintir ke hal lain. Dari awal si mbak-mbak membahas soal anak-anak penderita kanker, lantas menawarkan buku kepada saya buat dibeli. Karena saya merasa bisa membantu dan tujuannya pun jelas dari awal, maka saya memutuskan untuk menerima penawaran dari mbak-mbaknya itu.

BACA JUGA Sering Terjadi di Lowongan Kerja: Lowongannya Marketing, Ternyata Nyarinya Sales  dan tulisan Riyanto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version