Dik, maafkan aku tidak bisa memberikan banyak hadiah di hari ulang tahun pernikahan kita. Malah, aku bermaksud untuk memberikan sebuah kejutan berupa tanya: bolehkah aku menikah lagi, Dik? Aku tahu, sekadar pertanyaan akan menimbulkan kesalahpahaman dan bisa-bisa, dalam titik tertentu, dapat membuatmu membunuh dirimu sendiri. Maka dari itu, kuberikan pula foto perempuan yang ingin kunikahi, berikut cincin yang akan kusematkan di jari manisnya.
Dik, foto dan cincin itu kubungkus dengan sebuah kertas kado bergambar ilalang merah. Kau dulu suka bukan dengan ilalang? Namun enam tahunsebuah pernikahan mungkin mengubah banyak hal. Bagimu sekarang, ilalang itu sangat mengganggu, benalu, sebuah julukan yang jadi sering kau sematkan ke banyak orang.
Sengaja kuberikan kado ini di rumah, Dik. Tadinya, kau mau jalan-jalan bersama kawan-kawanmu. Aku memohon kepadamu untuk sejenak menyempatkan waktu buat kita berdua.
Waktu, waktu, waktu. Dik, waktu adalah salah satu alasan mengapa aku begitu ingin menikah lagi. Dulu, aku begitu giat bekerja dan kau bilang aku tak punya waktu untukmu. Lalu, ketika nasib baik berpihak dan aku punya banyak waktu luang, giliran kamu yang tak punya waktu. Kamu sibuk bekerja dan bersosialisasi demi eksistensi.
Sungguh, aku tak mau membelenggumu di rumah. Aku mengizinkanmu untuk bekerja dan nongkrong bersama teman-temanmu. Namun, di mana waktu berkualitas yang sering kita miliki dulu? Bukankah dulu kita sering pergi ke Taman Situ Lembang, membawa buku atau sekadar membawa obrolan tentang dunia?
Semenjak tahun demi tahun kita lewati, kamu menjelma menjadi alien yang tidak kukenal. Ya, saat aku melontarkan kalimat-kalimat ini, kuyakin bahwa para pembaca akan menyalahkanku. Ah, pria yang cari-cari alasan! Bilang saja ini perkara nafsu!
Tentu saja ini perkara nafsu. Bukankah itu yang menjadi penggerak bagi manusia? Namun, kamu tentu juga sadar bahwa pernikahan itu layaknya sebuah tarian Tango. Bila hanya satu orang saja yang mengusahakan, maka tak mungkin tarian itu akan terlaksana.
Dik, sebetulnya ini adalah cara terakhir yang mesti kutempuh. Berbagai cara sudah kulakukan untuk membuatmu tidak berubah dan mempertahankan pernikahan kita. Ya, aku sebetulnya tak mau kamu berubah. Aku ingin kamu tetap menjadi kamu yang dulu aku kenal.
Hai, Dik, ketika aku berhadap-hadapan denganmu, saat ini, sejujurnya itu sudah menjadi hal yang langka. Matamu tidak fokus lagi melihat ke arahku dan kupikir kamu begitu terburu-buru. Apa yang mengejar-ngejarmu sehingga kamu tidak tenang? Ataukah rumah ini dan aku sudah tidak lagi menjadi rumah yang benar-benar rumah bagimu?
Kado itu kuberikan padamu, dan ada sebuah senyum tergambar di wajahmu. Namun aku tahu itu bukan senyum yang menyenangkan. Ini senyum jengah yang kamu tampilkan supaya kesempatan ini cepat usai.
Senyum itu kemudian berganti dengan amarah saat tanya itu kuberikan padamu. Seperti biasa, amarahmu ditunjukkan dengan perkataan pedas, minim reaksi ekstrem.
“Semua laki-laki akan brengsek pada waktunya.”
Kembali lagi, waktu, Dik. Kamu sering menuntut waktu. Namun, kamu lupa bahwa kamu juga sudah brengsek pada waktunya. Ah, maaf. Aku merasa bersalah saat mengataimu brengsek dalam hati.
“Baguslah. Cerai saja. Aku nggak akan menuntut apa-apa. Beri saja semuanya pada calon istri barumu.”
Kamu beranjak pergi. Dingin. Aku tidak tahu memang itu sifatmu, atau kamu sudah (dan memang tidak pernah) benar-benar takut kehilangan aku.
Refleks kutahan tanganmu. “Sayang, aku mohon, apapun yang terjadi, tolong buka dulu kado itu.”
Di dalam kado itu, ada foto perempuan yang ingin kunikahi. Secara fisik, perempuan itu tak secantik kamu kini. Badannya pun tak ideal. Namun aku mencintainya. Tentu saja karena dia sangat menganggap keberadaan kita berarti, Sayang. Dan dia selalu menghargai waktu yang kita lewati bersama. Maaf, aku mungkin selingkuh hati, Dik. Namun aku harap dengan ini, kamu mau mengerti.
Dengan wajah jijik kau membuka kado tipis itu. Merobek sedikit foto yang ada di dalamnya. Sebelum kamu melihatnya, sebuah cincin jatuh.
“Bahkan cincin ini lebih bagus, ya. Perempuan matre mana yang kamu temu…”
Perkataanmu terhenti saat kamu melihat sosok di dalam foto tersebut.
“Lho, ini kan dulu waktu kita ke teater?” Aku tersenyum dan sedikit genangan air mata mau turun dari pelupuk mataku.
Dik, maaf, mungkin ini cara terbaik untuk berkata bahwa aku selalu mencintai dirimu yang dulu dan ingin menikahinya lagi dan lagi. Bisakah kau mengembalikan wanita itu?