UEFA resmi mencabut aturan gol tandang dalam semua kompetisi di bawah naungannya. Sebagai informasi, gol tandang merupakan sebuah aturan di mana jika hasil agregat suatu pertandingan berakhir imbang, tim yang mencetak gol lebih banyak ketika bertamu ke kandang lawan dinyatakan sebagai pemenang. Aturan ini pertama kali diaplikasikan saat Piala Winners 1965/66 pada pertandingan ronde kedua antara Budapest Honved dari Hongaria menghadapi tim asal Ceko, Dukla Prague. Budapest Honved yang berhasil memenangi leg pertama di kandang Dukla Prague dengan skor 2-3 akhirnya lolos setelah Dukla Prague hanya bisa menang 1-2 di laga tandang.
Saya sebagai pencinta sepak bola sih senang akhirnya UEFA buka mata terhadap masalah ini. Sebab, aturan gol tandang inilah, akhirnya banyak tim tuan rumah yang bermain secara hati-hati di leg pertama sehingga pertandingan cenderung membosankan. Tapi, banyak juga fans yang protes karena aturan ini dicabut. Yah, emang sih akhir-akhir ini “melawan arus” bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang keren abis.
Setidaknya, ada dua alasan mengapa saya menganggap dicabutnya aturan gol tandang ini sebagai suatu kemajuan:
Pertama, aturan gol tandang memang sudah nggak relevan. Kalau kita tilik sejarahnya, akan terlihat secara jelas bahwa aturan tersebut merupakan buah dari keadaan zaman. Pada zaman tersebut, belum ada sistem adu penalti seperti sekarang. Sehingga, jika agregat suatu pertandingan berakhir sama kuat, akan dihelat pertandingan ketiga di tempat netral. Kalau masih seri juga, maka akan ditentukan melalui tos koin yang dianggap kurang adil.
Intinya, karena pertandingan tambahan dianggap memengaruhi kondisi fisik pemain dan kalender kompetisi domestik, serta akses perjalanan antarnegara yang masih sulit, maka aturan gol tandang mulai diberlakukan. Hal itu berbanding terbalik dengan zaman sekarang, di mana sepak bola sudah mengenal sistem adu penalti plus akses perjalanan antarnegara yang semakin mudah.
Kedua, aturan gol tandang bisa dibilang tidak adil. Contoh paling bagus adalah pertandingan Juventus versus Porto pada 16 besar UCL musim kemarin. Juventus yang sudah susah payah menyamakan kedudukan, eh malah kebobolan di babak perpanjangan waktu. Meskipun pertandingan tersebut agregatnya adalah 4-4, tapi Juventus tetap kalah karena Porto bisa mencetak gol tandang lebih banyak. Nggak adil kan? Bahkan di babak perpanjangan waktu pun aturan gol tandang tetap berlaku
Nama-nama yang mendukung agar peraturan ini dicabut juga bukan nama sembarangan. Mulai dari Jose Mourinho, Arsene Wenger, Thomas Tuchel, dan pelatih top Eropa lainnya. Mereka beropini bahwa mencetak gol tandang di zaman sekarang lebih mudah, nggak kayak zaman dulu. Sehingga, perlunya penyegaran aturan yang lebih sesuai dengan kondisi sepak bola modern. Kalau pelatih-pelatih top aja pada pengen peraturannya diubah, la terus kowe ki sopo mencak-mencak nggak jelas gara-gara peraturannya diubah?
“Tapi, aturan gol tandang kan bikin tim kecil jadi punya peluang lolos lebih besar”
Ah kata siapa, nyatanya nggak semua tim kecil dapet keuntungan seperti itu. Tanya saja Ajax sebagai tim underdog yang gagal masuk final UCL 2018/19 karena kalah gol tandang melawan Spurs. Lagi pula, bukannya memang wajar kalau tim kecil memiliki probabilitas untuk menang lebih rendah daripada tim yang lebih besar, apa pun kompetisinya? Memang sudah kodratnya, kok.
Jadi, daripada sibuk memprotes keputusan UEFA untuk mencabut aturan gol tandang, saya justru memilih untuk bertanya kenapa aturan ra mashok kayak gini nggak dari dulu aja dihapus? Entahlah, hanya pengurus UEFA dan Tuhan yang tahu.
Mungkin mikir cara lain biar bisa nyedot uang lebih banyak dari hak siar apa ya? Entahlah.
BACA JUGA UEFA: Gercep Perkara Duit, Lambat Perkara Rasisme dan artikel Muhammad Bagir Shadr lainnya.