Ramainya peziarah yang datang dan melakukan swafoto atau selfie di makam Presiden RI ke-3 menimbulkan reaksi yang sangat beragam. Banyak yang mengecam aksi tersebut dengan dalih minimnya empati dan kecemasan akan rusaknya makam sang bapak Teknologi. Meski pihak keluarga tak mempermasalahkan aksi tersebut, kecaman terus bergulir justru dari pihak-pihak lain di luar keluarga almarhum.
Swafoto atau selfie adalah tren yang begitu di gemari masyarakat, tua maupun muda kini begitu akrab dengan selfie, rasanya tiap momen apapun tak lengkap jika tak mengabadikannya melalui Selfie. Selfie juga sering dikaitkan dengan upaya ekspresi diri, upaya menunjukkan sisi lain dari diri kita. Meski demikian, selfie juga erat dikaitkan sebagai salah satu “sampah” dari kemajuan Teknologi. Atas nama teknologi, orang dibuat terpaku pada apa yang muncul didalam teknologi, muncul di internet. Kerap kali juga menjadikan kita kehilangan kemampuan mengendus nilai-nilai empati, melalui Selfie, Teknologi terlihat sebagai sesuatu yang mendistraksi esensi humanitas.
Dalam kasus aksi peziarah yang berebut selfie dengan nisan bertuliskan nama pak Habibie, ada sesuatu yang barangkali luput dari tangkapan kita. Merasa was-was dengan brutalisme aksi selfie memang sah saja, rasanya tak pantas mengacak-acak makam BJ Habibie, seseorang terlebih seorang tokoh besar bangsa ini. Namun memberikan aturan keras berbunyi Pelarangan seperti yang di keluarkan Kemensos rasanya juga tak perlu-perlu amat. Sebab dibalik keriuhan aksi Selfie, ada unggahan yang penuh dengan do’a-doa baik untuk Pak Habibie, ada Amin yang saling sahut-menyahut di kolom komentar unggahan Facebook ibu-ibu, ada doa serta harapan agar anak-anak mereka kelak jadi orang yang hebat dan banyak dicintai seperti halnya Pak Habibie, ada cita-cita untuk tumbuh menjadi seperti Pak Habibie. Tak lupa banyak yang mengucapkan salam perpisahan yang diharapkan dapat menghangatkan Pak Habibie di perisitirahatannya yang terakhir.
Tak perlu kiranya kita memperlebar jarak dengan kelompok tertentu hanya karena pandangan pribadi akan nilai idealitas. Selama keriuhan swafoto tak merusak makam BJ Habibie dan unggahannya tak berisikan ujaran kebencian, maka kita tak berhak menyoal hak orang untuk menampilkan dirinya di hadapan teknologi. Mereka yang berbondong-bondong datang tentu tak hanya datang untuk selfie, mereka membawa karangan bunga, mereka membawa duka yang sama, membawa doa. Bedanya barangkali hanya dimana kita melantunkan doa, para pelaku swafoto barangkali melambungkan doa di sosial media, kita boleh tak menyukai hal itu dan tak menirunya, tapi doa tetaplah doa, dia tetap terdengar oleh-NYA.
Orang-orang yang kontra terhadap aksi swafoto di makam BJ Habibie, kerap mengingatkan akan pentingnya ‘melek’ teknologi. Bagi saya pribadi, ‘melek’ teknologi didalamnya juga memuat anjuran untuk tak gegabah menjadikan pandangan pribadi sebagai informasi umum, apalagi yang menyoal ideal dan tak ideal yang syarat memicu perdebatan yang tak mendesak. Kita perlu membedah kembali apa yang seharusnya kita lontarkan, kita jadikan statement. Keriuhan para peziarah yang berebut swafoto di makam BJ Habibie justru kian menguatkan narasi bahwa B.J. Habibie adalah bapak bangsa yang sangat dicintai. Selamat pulang Pak Habibie, saya mau rajin belajar agar bisa jadi hebat seperti Habibie! (*)
BACA JUGA Jangan Heran, Orang Madura Memang Harus Demo Apalagi Menyangkut Harga Tembakau atau tulisan Syifa Ratnani Faradhiba Jane lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.