Di Sidang MK Para Ahli Hukum Berkumpul dan Berdebat, Saat Itulah Saya Kebingungan Memahami Bahasa Level Tingginya

sidang MK

sidang MK

Pemilu sudah usai hasil Pemilu pun sudah dikoar-koarkan eh maksudnya diumumkan ke masyarakat, namun pihak yang merasa kalah tidak terima dengan hasil Pemilu dan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui mekanisme sidang MK inilah mereka yang kalah merasa dicurangi ini dan itu, sementara untuk pihak yang menang juga tidak tidak tinggal diam. Pihak yang merasa menang berusaha membela diri dari berbagai macam tuduhan kecurangan.

Akhirnya sidang MK pun resmi dimulai di mana di dalam sidang ini kebanyakan yang hadir adalah orang-orang pintar, orang pintar disini bukan dukun lo ya. Orang-orang pintar yang saya maksud adalah para kuasa hukum, hakim, dan ahli yang bergelar prof, entah itu professor atau provokator yang penting gelarnya prof. Ada juga yang bergelar doktor, insinyur, dan banyak juga yang lainnya. Entah kenapa di antara mereka tidak ada yang hanya lulusan SMA atau SMK seperti saya. hehehe

Kalau boleh saya menebak paling-paling yang lulusan SMA dan dibawahnya ada di pihak saksi ataupun para manusia yang memegang kamera di belakang. Bahkan bisa saja kalau yang pegang kamera itu adalah lulusan sarjana malahan. Kembali ke sidang MK, saat saya mengetahui bahwa yang akan berdebat dalam sidang ini adalah para ahlinya ahli di bidang hukum, saya merasa curiga apakah para masyarakat awam—termasuk saya—mampu mengerti bahasa level tinggi mereka saat berdebat nanti.

Namun saya merasa lega saat orang-orang di sidang MK saling mengingatkan satu sama lain kalau sidang ini ditonton oleh masyarakat Indonesia, jadi harus adil dan harus ada kejelasan. Saya rasa saat itu mereka mengerti, kalau kebanyakan yang menonton sidang ini adalah masyarakat yang awam dan tabu dari namanya bahasa-bahasa hukum apalagi yang level tinggi. Sidang sengketa pemilu yang katanya paling rumit sedunia pun dimulai, mereka yang bersangkutan mulai menjabarkan beberapa pendapat mereka dengan membaca tulisan di kertas yang banyaknya hingga ratusan lembar.

Saat saya melihat ekspresi para hadirin di sana khususnya yang bersangkutan, saya menyadari satu hal yaitu entah itu anak SMA, kuliahan, dan profesor akan bosan dan mengantuk bila mendengarkan penjelasan yang panjang—ternyata. Karena hal itu juga saya sebagai masyarakat awam dapat mengambil kesimpulan bahwa penjelasan yang dilakukan oleh masing-masing pihak dengan kertas yang banyaknya beratus-ratus lembar itu hanya formalitas belaka. Toh juga yang hadir di sana kebanyakan tidak memperhatikan atau bahasa kerennya ndableg.

Kenapa kok bisa dibilang ndableg, karena memang kebanyakan dari mereka hanya mendengarkan sambil ngantuk sana sini.  Saya pun dapat memaklumi kalau orang mendengarkan penjelasan yang panjang apalagi yang menjelaskan itu membaca teks.  Maka rasanya ngantuk dan bosan atau bisa dibilang njelehi. Setelah itu lanjut ke sidang berikutnya di mana kata-kata level tinggi mulai bermunculan.

Jujur saja apabila itu istilah masih memakai bahasa Inggris, setidaknya kami yang sudah mengenyam pendidikan selama 12 tahun masih bisa mengerti artinya. Tapi apabila sudah masuk istilah bahasa-bahasa latin, asas-asas asing, dan bahasa-bahasa alien—waduh sumpah deh saya nggak paham sama sekali. Bahkan saat itu saya juga bertanya pada seorang teman yang juga Sarjana Hukum. Jawabannya saja seperti ini, “mboh ra ngerti aku! Ndisik sakretiku gak enek istilah ngono kui”—entah saya tidak tahu !, saat dulu menurutku tidak ada istilah seperti itu.

Semakin lanjut ke sidang berikutnya bahasa-bahasa level tinggi mulai menguasai pembicaraan yang ada dalam persidangan. Istilah-istilah asing, pendapat para ahli terkenal, bahasa – bahasa kuno tentang keadilan semakin mendominasi pembicaraan dalam sidang ini. Rasa bosan pun hadir dalam diri saya—ini terjadi karena saya merasa tidak bisa cukup paham dengan pembicaraan dalam sidang ini.

Bahkan tetangga saya yang ikut nonton bareng di rumah saya pun juga ikut mengeluh sambil berkata, “Halah jane nyapo to dadak ngangge boso model ngono wi, mbok yo ndang digenahne sing bener ndi, sing salah ndi ben rakyat sing ndelok ra mumet”—haduh sebenarnya kenapa to kok harus pakai bahasa seperti itu, daripada seperti itu ya langsung saja dijelaskan yang benar mana yang salah mana, supaya rakyat yang melihat juga tidak pusing.

Sampai sidang selesai pun saya hanya bisa menangkap beberapa hal—seperti pihak yang kalah atau pihak yang merasa dicurangi mengajukan bukti, saksi, dan berkas-berkas lainnya ke MK untuk menjatuhkan pihak yang menang serta pihak yang dirasa melakukan aksi kecurangan. Serta saya dapat memahami bahwa dalam upaya perdebatan menggunakan istilah-istilah asing adalah langkah untuk memperkuat pendapat. Yang sebenarnya menurut pendapat saya itu sangat sulit dipahami oleh sebagian besar rakyat Indonesia termasuk saya.

Jadi dengan adanya sidang ini—saya juga selaku rakyat—berharap bahwa sistem demokrasi di negeri ini semakin kokoh dan tidak terjadi penyelewengan. Sehingga negara ini semakin dihormati dan dipercayai khususnya oleh rakyatnya sendiri.

Exit mobile version