Nggak ada angkringan dan cilok di Magelang. Pecel lele pun tak ada…
Magelang adalah gabungan kota dan kabupaten yang terus berkembang dan berubah. Dua belas tahun lalu kami kehilangan sebuah bioskop, lalu mendapat gantinya saat ARTOS mal dibuka. Kami hampir punya semua yang anak Jaksel miliki, tak terkecuali KFC, McD, Starbucks, hingga Mixue.
Sebagai wilayah yang masih memegang teguh identitas Indonesianya, di Magelang jamak ditemui penjaja makanan khas daerah lain. Namun, bukan orang Jawa kalau kami memperlakukan mereka dengan seadanya dan apa adanya. Angkringan mungkin adalah contoh paling konkretnya.
Di Magelang, tak ada yang namanya angkringan. Bukan karena berjarak dengan budaya jalanan Jogja, bukan juga persoalan angkringan yang kurang cocok bagi warga Magelang. Magelang dan Jogja itu serumpun, buktinya UMR kami tak jauh-jauh amat.
Baceman dan aneka gorengan di angkringan itu adalah teman semua umat. Mustahil di semesta kita ada yang benci angkringan. Semua ini hanya disebabkan karena lidah Magelang kami terlalu kreatif. Kami hanya terbiasa menyebut angkringan sebagai kucingan.
Tentu Anda bisa menduga dari mana nama itu berasal. Nasi kucing sebagai signature dish angkringan adalah penyebabnya. Nama angkringan dirasa kurang cocok, dan kucingan mungkin lebih kawaii bagi orang Magelang.
Masalahnya, bukan hanya angkringan yang tak ada di Magelang. Selayaknya orang Jawa lain yang menyebut chainsaw sebagai senso, kebiasaan itu menjadi penyebab tak adanya cilok di Magelang. Asal tahu saja, kami tak mau menyebutnya sebagai cilok. Meski sama-sama bulat, terbuat dari aci alias tapioka, ia kami panggil cilot. Benar, hanya beda satu huruf saja. Saya pun mengakui, huruf k mati memang kurang sedap di lidah. Itu juga masih pelafalan yang wajar.
Beberapa daerah di Magelang punya penamaan yang lebih panjang lagi untuk si cilok. Penthol cilot adalah sebutannya. Penthol yang terkesan Jawa Timur, dan cilot yang nyerempet Jawa Barat. Ini justru menunjukkan Magelang sebagai penengah yang baik. Akulturasi budaya yang ciamik, dan sudah pasti patut ditiru. Kebetulan tempat tinggal saya termasuk kawasan yang menggunakan penthol cilot untuk menyebut jajanan bulat itu.
Baca halaman selanjutnya
Jangan ajak kami makan pecel lele…
Jangan ajak kami makan pecel lele
Jika Anda suka makan pecel lele, di Magelang juga ada banyak penjajanya. Namun, jika ingin mengajak orang sini makan pecel lele, sebisa mungkin hindari penggunaan istilah pecel lele. Cukup sebut Lamongan dan kami pasti sudah mengerti. Iya, saya tahu, tak semua penjualnya asli Lamongan, namun begitulah orang Magelang menyebut kuliner satu ini.
Selain itu, tak perlu Anda mencari magelangan di Magelang. Mayoritas nasi goreng di sini dijamin punya bentuk dan rasa yang magelangan itu tadi. Jadi, sebenarnya agak haram jika Anda menyebut nasi goreng sebagai magelangan di sini, karena tanpa diminta pun nasi bercampur mi adalah yang akan didapat. Mayoritas warga adalah pencinta nasi goreng semacam itu, dan penjualnya ada di setiap sudut.
Hal yang perlu dipahami lagi adalah perihal panggilan kepada rekan atau kawan sejawat. Tak perlu “bro”, apalagi “bung”. Di Magelang cukup gunakan “leh” (e dibaca seperti pada ikan lele). Memang perlu waktu untuk mempelajarinya, sebab ini agak sulit. Biar dianggap sudah ahli, perlu agak medok saat mengucapkannya. Seolah-olah ada huruf h diantara l dan e. Lllhehhh… Begitulah kira-kira.
Sebenarnya daerah seperti Kecamatan Secang dan Grabag yang berbatasan dengan Temanggung punya kata ganti untuk kamu, panjenengan, atau kowe. Kami biasa menggunakan samang dibanding sampean. Terdengar lebih merdu dan syahdu, kan?
Begitulah sedikit penjelasan soal apa saja yang tak ada dan harus diperhatikan saat berada di Magelang. Siapa tahu mau pindah dan pensiun di sini, biar nggak terlalu kesambet culture shock. Yang pasti dan paling penting adalah, kami tak punya pantai, bandara, dan tentu saja seorang sultan. Dan untuk yang terakhir itu, saya amat sangat bersyukur.
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Sudah Saatnya Magelang Menjadi Daerah Istimewa.