Di Jogja, Cintamu Bisa Kandas karena Rekayasa Lalu Lintas

3 Daerah Tidak Ramah Perantau di Jogja yang Perlu Dihindari

3 Daerah Tidak Ramah Perantau di Jogja yang Perlu Dihindari (unsplash.com)

Saya menulis artikel ini setelah menyumpahi belasan kilometer jalanan Jogja. Mengutuk betapa semrawutnya kota ini. Entah saat musim liburan atau hari biasa, sama saja ruwetnya. Saya tidak terbayang jika Jogja nanti akan punya tol. Bahkan sebelum jalan tol selesai, rekayasa lalu lintas sudah dicanangkan.

Percayalah, Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta) akan dan selalu semrawut, karena Jogja sudah salah urus sejak dalam pikiran. Jalan tol yang jadi “mimpi” banyak orang Jogja bisa berakhir keruwetan tanpa solusi.

Jangan pikir ini perkara sepele. Kisah cinta dan kariermu sedang terancam oleh keruwetan baru Jogja. Pertanyaannya, apakah Pemprov siap dengan potensi kemacetan yang membuat semua jalan jadi semacet Gejayan?

Jogja, si paling rekayasa lalu lintas

Bicara rekayasa lalu lintas, Jogja adalah jagonya. Jangankan karena pembangunan tol, nikahan bangsawan saja bisa membuat rekayasa lalu lintas. Hampir setiap ada kegiatan skala besar, tiba-tiba jalan Kota Istimewa menjadi labirin.

Jangankan mengubah arah atau membuat contraflow. Membongkar pembatas jalan Ringroad yang jelas tidak masuk akal saja bisa kepikiran. Jadi jangan meremehkan kemampuan (baca:kenekatan) kota ini perkara rekayasa lalu lintas. Mungkin Jogja bisa jadi pusat studi banding rekayasa lalu lintas untuk berbagai negara.

Tapi yang jadi masalah bukan kemampuan merekayasa lalu lintas semutakhir mungkin, karena masalah Jogja bukan perkara atur ulang alur lalu lintas. Jogja sudah punya masalah menahun, bahkan puluhan tahun. Sialnya, masalah ini seperti kanker yang terus menggerogoti kenyamanan dan keamanan jalanan.

Salah tata kota sejak penjajahan Belanda

Kata orang, setiap sudut Jogja itu romantis. Tapi tidak ada yang bilang kalau setiap sudutnya itu rapi dan tertata. Inilah realitas Jogja yang kini tersibak dari tabir keindahannya. Tata kota ini memang sudah semrawut, bahkan sejak Kasultanan Yogyakarta masih digdaya.

Jalanan Jogja memang tidak direncanakan untuk kepadatan seperti Jakarta. Tidak pula siap menanggung tumpahan kendaraan seperti Surabaya. Silahkan lihat jalan utama di dalam kota saja. Rata-rata lebarnya tidak lebih dari 10 meter. Jalan Jogja juga penuh persimpangan. Menunjukkan kota ini memang ditata sebagai kota lengang yang lambat.

Ketika jalan Jogja dihajar muatan kendaraan, tidak ada cukup ruang untuk mengurai. Ketika rekayasa lalu lintas karena efek pembangunan tol dilakukan, bisa dibayangkan kepadatan di titik-titik contraflow. Jangankan untuk contraflow, untuk arus normal saja sudah kewalahan.

Rekayasa yang membuatmu tua di jalan

Ketika wacana rekayasa lalu lintas ini terlaksana, maka bisa dibayangkan bagaimana kepadatan menjadi rutinitas. Misal wacana rekayasa untuk pembangunan pintu tol area Prambanan. Meskipun contraflow diwacanakan di wilayah Klaten, dampaknya jelas sampai ke area Jogja. Wacana rekayasa di area Ringroad juga akan membawa dampak yang sama: semrawut.

Kemacetan di area tepi ini pasti akan berdampak di area pusat. Apalagi ketika musim libur datang seperti Nataru. Jangankan bicara distribusi barang, kisah cintamu saja bisa terancam. Kepadatan akibat tata kota ini bisa menambah kisah ambyar banyak nom-noman Jogja. Bayangkan kamu mau ngapel pasangan, tapi terjebak macet. Datang-datang doi malah lamaran.

Kariermu bahkan bisa terancam. Bayangkan gajimu rutin terpotong karena harus terjebak macet setiap hari. Mau berangkat lebih pagi juga percuma, lha wong masalahnya adalah jalanan yang tidak mampu menampung pergerakan manusia. Apa rela harus kena SP dari perusahaan karena terjebak kemacetan yang tak pernah terjawab?

Kepadatan selama ini saja sudah sering memakan korban nyawa. Akibat upaya ugal-ugalan melawan kemacetan. Apalagi ketika bicara wisatawan yang belum paham area Jogja. Sudah pasti rekayasa ini akan menambah potensi kecelakaan.

Dampak rekayasa yang tidak dibarengi dengan penataan ulang Jogja memang berdampak di berbagai lini. Sialnya, urusan ini tetap tidak diperhatikan. Bahkan tidak jadi isu yang diangkat saat musim pilkada tahun ini. Yang ada malah terus menerus menggenjot pariwisata yang sebenarnya jadi (sumber) masalah utama kota ini.

Apa rela Jogja terus menerus semrawut?

Kita sedang menyongsong Jogja yang lebih padat dari sebelumnya. Rekayasa jalan tidak lagi bisa menjawab pergerakan para penghuni dan wisatawan. Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan pemerintah Jogja?

Apa mau memberi imbauan macam “warga di rumah saja”? Jelas tidak mungkin. Lha keruwetan ini akan jadi keseharian. Rekayasa lalu lintas sudah berkali-kali terbukti gagal mengurai semrawutnya jalanan. Ingin ubah tata kota? Mungkin melebarkan jalan utama? Atau menambah cakupan dan kesadaran transportasi umum? Saya sih merasa sudah terlambat. Tapi mungkin tinggal ini satu-satunya solusi.

Sampai keputusan masuk akal menjadi realitas, saya dan Anda harus siap menyongsong keruwetan baru. Karena Jogja sudah begah dengan kepadatan jalan yang tak pernah diselesaikan. Jadi, mari berangkat kerja lebih pagi, lapangkan hati lebih luas lagi, karena sebentar lagi, kesabaran kita akan makin teruji.

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kalian Masih Membela Upah Murah Jogja ketika Defisit Gaji Jadi Realitas? Mending Kita Gelut!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version