Desa wisata di Jogja (baca: Yogyakarta atau DIY) tumbuh subur. Menurut catatan Jadesta DIY, setidaknya ada 203 desa wisata yang tersebar di berbagai kabupaten dan kota. Adapun sebanyak 100 desa wisata berstatus rintisan, 45 desa wisata berkembang, 42 desa wisata maju, dan 16 desa wisata mandiri. Perkembangan desa wisata yang pesat tidak lepas dari pemerintah setempat.
Sebagai seseorang yang mengikuti perkembangan desa-desa wisata di Jogja, jelas angka itu menyenangkan. Namun, saya menyayangkan satu hal. Kebanyakan dari desa wisata itu tidak memunculkan esensi penting dari konsep desa wisata. Seharusnya, desa wisata itu bergerak atas dasar komunitas yang mana merupakan penduduk desa. Merekalah yang saling berinteraksi di bawah pengelolaan desa dan punya kesadaran penuh memberdayakan potensi kepariwisataan desa mereka.
Idealnya, konsep dari pengembangan desa wisata mengacu pada unsur 3A yaitu atraksi sebagai daya tarik utama desa wisata, amenitas sebagai fasilitas pendukung dari desa wisata dan akses wisatawan yang hendak ke desa wisata tersebut. Namun, tidak dapat dipungkiri, desa wisata di Yogyakarta kebanyakan masih menyimpang dari konsep desa wisata yang ideal
Daftar Isi
Desa wisata Jogja melenceng dari konsep ideal
Ancaman utama dari desa wisata yang tidak bergerak berdasar konsep 3A adalah melencengnya atau bahkan terkikisnya keaslian budaya lokal. Desa wisata seharusnya dikemas dengan interaksi dan keterlibatan tradisi dan budaya masyarakat di dalamnya. Namun, prakteknya, interaksi dan keterlibatan masyarakat lokal pada desa wisata yang justru dihilangkan dan diabaikan.
Pengabaian ini berujung pada kekeliruan warga dan orang pada umumnya dalam memaknai desa wisata. Kebanyakan hanya memandang desa wisata sebagai suatu tempat rekreasi dan tempat hiburan. Ujung-ujungnya, konsep desa wisata malah menjadi petaka pada desa itu sendiri dalam berbagai bentuk, misal over tourism dan sampah.
Persoalan itu bisa kita lihat pada salah satu desa wisata ternama, Ledok Sambi. Desa wisata yang berada di sisi utara Jogja ini memang ramai dikunjungi wisatawan. Namun, menurut hemat saya, Ledok Sambi bukanlah desa wisata yang ideal. Seperti kebanyakn desa wisata lain, Ledok Sambi malah lebih banuak melibatkan unsur rekreasi bersama keluarga. Di sana memang seru, ada flying fox, permainan tembak-tembakan, dan lain sebagainya. Namun, bukan begitu desa wisata yang ideal.
Akan tetapi, saya juga tidak bisa menyalahkan warga maupun pengelola di balik desa wisata Ledok Sambi. Sebab, Dinas Pariwisata DIY pun tidak memiliki aturan tegas mengenai pemanfaatan desa wisata. Kurangnya aturan yang tegas dan pengelolaan yang kurang optimal membuat desa wisata menjadi suatu yang melenceng dari konsep desa wisata.
Baca halaman selanjutnya: persoalan yang …
Persoalan yang muncul
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, desa wisata yang tidak sesuai dengan konsep ideal bukannya jadi bebas masalah. Ini juga terlihat dari Desa Wisata Ledok Sambi. Hal yang paling kentara adalah pengelolaan sampah yang buruk. Konsep penataan wilayah desa wisata di Ledok Sambi juga tidak membebaskan desa wisata dari sampah. Masih banyak sampah yang berserakan dan mengganggu pemandangan. Apabila dikelola dengan lebih baik, saya yakin persoalan sekecil sampah tidak akan terjadi.
Saya ingin mengajak untuk berkaca pada desa wisata Penglipuran Bali yang saat ini dinobatkan menjadi desa terbersih di dunia. Pengelolaan interaksi warga untuk mengelola desa wisata menjadi bersih. Walaupun diterpa gerimis dan turun hujan, tapi warga tetap antusias untuk membersihkan desa wisata ini dan melakukan banyak hal lain demi menunjang kesuksesan konsep desa wisata. Desa Wisata Panglipuran Bali ini menjual nilai kebersihan lingkungan dan budaya lokal. Wisatawan benar-benar merasa menikmati keasrian hutan di sekitar desa dan keunikan permukiman warga serta bebas dari polusi udara dan polusi sampah.
Kurangnya keterlibatan warga lokal
Saya rasa desa wisata Penglipuran Bali adalah contoh yang baik bagaimana warga lokal dilibatkan atau terlibat seacar penuh pada pengelolaan desa wisata. Tidak seperti banyak desa wisata lain yang diurus oleh pihak swasata. Syukur-syukur kalau pihak swasta bisa mengelolanya dengan baik dan melibatkan warga. Persoalannya, tidak sedikit juga swasta yang asal dan ugal-ugalan dalam mengelola wisata. Akibatnya, warga lokal justru terganggu dengan konsep desa wisata di desanya. Bahkan, ada yang mengatakan warga lokal tetap tidak memiliki perkerjaan dengan keberadaan desa wisata di daerah mereka. Ini sungguh keliru, seharusnya keberadaan desa wisata dapat memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal desa wisata untuk memajukan desa wisata tersebut.
Di atas beberapa persoalan yang saya temukan di desa wisata-desa wisata di Jogja. Saya harap ke depannya, desa-desa bisa mengutamakan keaslian budaya lokal dengan pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat setempat. Salah satu caranya, masyarakat lokal bisa dibekali pelatihan sehingga bisa berperan aktif dalam mengelola desa wisata. Termasuk, pengelolaan lingkungan sehingga terhindar dari sampah sehingga desa wisata dapat menjadi suatu aset penting pada pertumbuhan pariwisata yang berkelanjutan.
Penulis: Helena Yovita Junijanto
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Desa Wanurejo, Desa Wisata Dekat Candi Borobudur yang Bisa Melengkapi Liburanmu
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.