Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan Sungai Ketiwon, serta dekat dengan rel kereta, warga Mejabung Kelurahan Panggung termasuk cukup sering menemukan mayat. Ada mayat hanyut di sungai, mayat dibuang ke tanggul, ada pula mayat korban tabrak kereta. Mayat terakhir ditemukan pada Maret 2022 silam. Seorang bocah umur 9 tahun, hanyut dan tewas saat mandi di sungai.
Kamu yang ciut nyali, mending pikir ribuan kali kalau mau tinggal di sini. Lha wong waktu masih tinggal di sana saja, tiap kali ada kabar penemuan mayat, saya nggak pernah berani mendekat. Takut nggak bisa bobo akutu~
Air keruh
Waini. Ini nih penderitaan terberat warga Mejabung Kelurahan Panggung. Air bersihnya angel buanget! Bayangkan, air sumurnya punya warna yang 11-12 dengan air sungai. Ya kalau air sungainya ala-ala sungai Jepang yang bening sih nggak papa. Lha ini? Buthek. Keruh. Terasa lengket kalau buat mandi. Segala sampo dan sabun auto males berbusa kalau ketemu air model ginian. Alhasil, selama tinggal di Mejabung Kelurahan Panggung, saya jadi jarang mandi. Eh. Jarang mandi di rumah, maksudnya. Mending mandi di SPBU atau mandi di kantor sekalian.
Itu sebabnya, kalau hujan turun, tak jarang warga menampung air hujan dalam ember-ember besar. Air itu, nantinya digunakan warga untuk mencuci piring ataupun cuci baju. Memang, sih, tidak setiap waktu air sumur di Mejabung Kelurahan Panggung itu keruh. Ada momen tertentu yang airnya mendingan. Baca: mendingan. Artinya, air tidak lagi terlihat keruh, tapi masih terasa lengket jika digunakan untuk mandi. Jadi wajar dong, jika kala itu saya jarang mandi~
Thank God, beberapa bulan lalu, saya dikabari bapak kalau PDAM mulai masuk ke Mejabung Kelurahan Panggung. Tentu saja warga menyambut gembira. Sayang, kegembiraan itu hanya sebentar saja. Wong jebulnya si air ngicir kek air mata buaya, kok! Mengsedih.
Susah menyeberang
Ujian warga Mejabung Kelurahan Panggung selanjutnya ada pada susahnya menyeberang jalan. Terutama, jika kamu datang dari arah barat. Ya Lord, truknya gede-gede banget! Maklum, jalan yang saya maksud termasuk jalur pantura. Diperumit lagi karena titik penyeberangan ada di turunan jalan raya utama. Dengan kata lain, di titik itu, kendaraan sedang banter-banternya karena efek jalan menurun. Wah, bener-bener harus fokus dan sabar kalau mau menyeberang.
Begitu pun jika kamu hendak pergi ke arah timur. Kamu harus menyibak keramaian jalan dengan penuh kehati-hatian agar tak berakhir mengenaskan. Salah satu tetangga saya adalah korban tabrakan ketika akan menyeberang. Nyawanya melayang, tak terselamatkan.
Penuh cerita horor
Tinggal di Mejabung, Kelurahan Panggung, Kota Tegal, artinya juga harus siap dengan cerita-cerita horor khas urban legend. Tentang Sungai Ketiwon, misalnya. Sungai yang jadi pembatas sisi timur kelurahan Panggung ini, konon dihuni oleh siluman buaya putih. Ada pula yang menyebut sepasang naga raksasa. Entah mana yang benar. Yang jelas, urban legend ini kerap digunakan orang tua untuk menakut-nakuti anak-anaknya agar tidak bermain di dekat sungai, terutama menjelang waktu maghrib.
Sedangkan jika ditilik dari perjalanan sejarah bangsa ini, Sungai Ketiwon memiliki cerita kelam pasca peristiwa Gerakan 30 September (G30S) PKI. Sungai Ketiwon menjadi tempat pembantaian massal terhadap kader, simpatisan, dan orang-orang yang dituduh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terjadi pada tahun 1965-1966.
Itu dia penderitaan yang dialami oleh warga Kelurahan Panggung Kota Tegal, terutama yang tinggal di daerah Mejabung. Yuk, adu mekanik. Ada penderitaan apa di daerah tempat tinggalmu?
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Alasan Orang Tegal Malah Jarang Makan di Warteg