Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Otomotif

Derita Sopir Taksi di Sumenep: Hidup Segan, Mati Tak Mau

Akbar Mawlana oleh Akbar Mawlana
18 Mei 2023
A A
Derita Sopir Taksi di Sumenep: Hidup Segan, Mati Tak Mau

Derita Sopir Taksi di Sumenep: Hidup Segan, Mati Tak Mau (Pixabay.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Hanya ada satu kata yang pantas untuk menggambarkan kehidupan sopir taksi di Sumenep saat ini: menderita. Kehidupan mereka berputar 180 derajat. Ibarat kata, sopir taksi di Sumenep dahulu diagungkan seperti dewa, tetapi sekarang dilupakan seperti kulit kacang. 

Sebelum lanjut menceritakan derita sopir taksi di Sumenep, saya ingin menjelaskan bahwa jangan samakan taksi di kota besar dengan di Sumenep. Kalau di kota besar, taksinya biasanya menggunakan mobil sedan dengan fasilitas nyaman. Berbeda dengan taksi di Sumenep, mobilnya menggunakan mobil Carry dengan AC alami. 

Kenapa orang Sumenep menyebut mobil Carry sebagai taksi? Sejauh pemahaman saya, dahulu masyarakat menyebut Carry sebagai taksi karena fungsinya yang sama dengan taksi di kota besar. Fungsinya adalah menjadi alat transportasi buat masyarakat untuk sampai ke tempat tujuan. 

Taksi di Sumenep bermandi hujan di kala jaya

Tidak bisa disangkal kalau dahulu taksi di Sumenep menjadi alat transportasi utama bagi masyarakat dalam melakukan mobilitas. Saking banyaknya masyarakat yang mau menggunakan taksi, sampai saling berebutan agar kebagian kursi. Mirip seperti rebutan commuter line di Jakarta.

Saya masih ingat betul saat kecil pernah diajak oleh nenek pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan hidup. Seusai berbelanja, saya dan nenek menunggu di jalan dekat pasar agar mendapatkan taksi bersama banyak orang. Ketika ada satu taksi yang berhenti, langsung orang-orang tadi rebutan. Bahkan, saya yang masih bertubuh mungil dan ringkih, diseret oleh nenek agar mendapatkan kursi. 

Bukan hanya rebutan agar bisa mendapat kursi, dahulu sopir taksi di Sumenep juga sering jual mahal. Tidak mau mengantar penumpang kalau jaraknya dekat. Biasanya kalau jaraknya dekat disuruh naik becak saja. Ada alasan untung rugi ekonomi di dalamnya. Semakin jauh tempat tujuan penumpang, semakin mahal tarikannya. Sedangkan, kalau jaraknya dekat, hanya rugi ke pengeluaran bensin karena nominal tarikannya murah. 

Dunia berbalik

Namun, sikap selektif memilih penumpang, tidak berlaku sekarang. Kini, para sopir taksi tidak mempedulikan lagi jarak tempat yang mau dituju penumpang. Sekalipun jaraknya dekat, para sopir tetap mengangkutnya. Sebab, orientasi mereka bukan lagi untung dan rugi, melainkan yang penting dapat penumpang. 

Orientasi memperoleh penumpang disebabkan oleh sulitnya mendapatkan penumpang. Jika waktu kecil saya sering menyaksikan kursi-kursi taksi selalu penuh, justru sekarang seringnya melihat kursi-kursi yang kosong. 

Baca Juga:

6 Syarat yang Harus Dipenuhi Madura sebelum Bermimpi Menjadi Provinsi Sendiri

Tugu Keris dan Terminal Sumenep Proyek Buang-buang Uang: Sudah Tak Menarik, Kualitasnya Jelek pula

Kenapa bisa terjadi? Sebab, masyarakat sudah tidak lagi menjadikan taksi sebagai transportasi utama. Masyarakat mulai merasakan bahwa taksi di Sumenep tidak lagi memberikan kenyamanan. Kata nenek saya ketika terakhir kali menggunakan taksi, kursinya banyak yang bolong. Bukan hanya satu taksi, melainkan tiga taksi yang ditemukan nenek saya. Bahkan, juga banyak taksi yang sudah berkarat besinya di dalam. 

Dengan ketidaknyamanan fasilitas yang diberikan oleh taksi, menjadikan masyarakat lebih menggunakan kendaraan pribadi. Sebab, secara pengeluaran lebih murah menggunakan kendaraan pribadi. Dalam seminggu hanya perlu mengisi bensin paling banyak lima puluh ribu.

Sumenep yang dulu, Sumenep yang sekarang

Lantas, kenapa masyarakat Sumenep tidak dari dahulu menggunakan kendaraan pribadi? Secara kondisi ekonomi, ada perbedaan antara sekarang dengan dahulu. Kalau dahulu, ekonomi masyarakat Sumenep bisa dikatakan seret, lantaran hanya menjadi petani, nelayan, tukang, dan pedagang di pasar. Sedangkan, sekarang lebih banyak lowongan kerja, sehingga kondisi ekonomi lebih mapan daripada kehidupan masyarakat dulu. 

Terjadinya perubahan sosial yang menyebabkan taksi di Sumenep tidak laku lagi, menjadikan para sopir taksi hidup menderita. Ada perbedaan yang cukup mencolok dari segi pendapatan. “Memangnya berapa perbedaan pemasukan antara dulu sama sekarang, Pak?” tanya saya pada salah satu sopir taksi yang mangkal. 

“Kalau diukur secara rupiah sulit karena pendapatannya kan tidak pasti. Cuman ada penurunan pemasukan sampai lima puluh persen atau enam puluh persen,” jawab sopir yang tadi saya tanyakan.

Bahkan, beberapa sopir taksi lainnya juga pernah dalam sehari hanya mendapatkan lima penumpang. Jumlah yang sedikit karena uang tarikannya hanya cukup untuk membeli bahan bakar yang semakin mahal. 

Apa saja dilakukan agar bisa bertahan

Maka, untuk menutupi pengeluaran hidup yang besar dengan pemasukan kecil, banyak sopir taksi mulai kerja merangkap. Rata-rata merangkap sebagai petani dan kuli bangunan. Pak Rusdi, salah satu sopir taksi yang saya temui, mengaku jika dirinya juga bekerja sebagai petani. Biasanya, kalau lagi musim panen, lebih memilih bekerja sebagai petani karena pendapatannya lebih menguntungkan. 

Pak Rusdi juga bercerita kalau teman sopir taksi lainnya yang merangkap sebagai kuli bangunan, akan memilih bekerja penuh sebagai kuli bangunan kalau ada pembangunan. Sebab, sehari bisa memperoleh uang sebesar delapan puluh ribu. 

“Kalau tidak lagi musim panen dan tidak ada pembangunan, bagaimana, Pak?” tanya saya pada Pak Rusdi. 

Dengan nada datar, Dia menjawab, “Ya, kembali lagi jadi sopir. Itu pun terpaksa daripada tidak ada pendapatan sama sekali. Walaupun pemasukannya sedikit, disyukuri saja. Orang seperti sopir, mau kerja apa lagi, Mas. Mau melamar di instansi dan kantor, nggak punya ijazah.”

Pak Rusdi kembali mencurahkan isi hatinya, “Sebenarnya, kami-kami ini hidupnya banyak pikiran. Soalnya, harus gali lubang, tutup lubang. Kalau nggak pinjam, kadang tidak bisa menutupi pengeluaran untuk hidup.”

Mendengar jawaban darinya, saya hanya diam membisu. Ingatan saya teringat pada teman yang bapaknya bekerja sebagai sopir taksi. Bapaknya menjual mobilnya untuk menutupi pinjaman di bank. Alhasil, kini tidak bisa narik taksi kembali. 

Memang benar, bahwa perubahan sosial begitu menyakitkan pada pelaku ekonomi yang tidak mampu beradaptasi dengan kreativitas. Namun, bagaimana sopir taksi di Sumenep bisa memberikan kreativitas? Jangankan memikirkan kreativitas, pikiran mereka sudah kalut dengan persoalan ekonomi dan keluarga. Kalau urusan perut sudah sulit terpenuhi, bagaimana bisa berpikir kreatif? 

Penulis: Akbar Mawlana
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Senjakala Ojek Online di Sumenep: Dulu Berjaya, Kini Terlunta-lunta

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 18 Mei 2023 oleh

Tags: angkutansopir taksisumenep
Akbar Mawlana

Akbar Mawlana

Mahasiswa yang gemar gelisah dan menulis.

ArtikelTerkait

Sumenep: Kota Keris yang Miris

Sumenep: Kota Keris yang Miris

2 Maret 2023
Nestapa Tinggal di Desa Montorna Sumenep

Nestapa Tinggal di Desa Montorna Sumenep

18 April 2023
Pengalaman Berkunjung ke Sumenep Madura: Suasananya Mirip Mojokerto di Masa Lalu bangkalan, madura

Masyarakat Hanya Fokus pada Stereotip Madura karena Kasus di Bangkalan, tapi Mereka Lupa Madura Juga Punya Sumenep yang Elegan nan Menawan

22 Januari 2025
Mensyukuri Tinggal di Sumenep, Kabupaten Termiskin Ketiga di Jawa Timur

Mensyukuri Tinggal di Sumenep, Kabupaten Termiskin Ketiga di Jawa Timur

26 Juni 2023
Sumenep Dilanda Kekeringan: 5.000 Liter Air Bersih untuk Pasokan Selama 183 Hari Jelas Nggak Cukup!

Sumenep Dilanda Kekeringan: 5.000 Liter Air Bersih untuk Pasokan Selama 183 Hari Jelas Nggak Cukup!

28 Juli 2023
Tugu Keris dan Terminal Sumenep Proyek Buang-buang Uang: Sudah Tak Menarik, Kualitasnya Jelek pula

Tugu Keris dan Terminal Sumenep Proyek Buang-buang Uang: Sudah Tak Menarik, Kualitasnya Jelek pula

20 Agustus 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Dosen yang Cancel Kelas Dadakan Itu Sungguh Kekanak-kanakan dan Harus Segera Bertobat!

Dosen yang Cancel Kelas Dadakan Itu Sungguh Kekanak-kanakan dan Harus Segera Bertobat!

3 Desember 2025
Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

2 Desember 2025
Alasan Orang Surabaya Lebih Sering Healing Kilat ke Mojokerto daripada ke Malang Mojok.co

Alasan Orang Surabaya Lebih Sering Healing Kilat ke Mojokerto daripada ke Malang

5 Desember 2025
4 Alasan Saya Lebih Memilih Ice Americano Buatan Minimarket ketimbang Racikan Barista Coffee Shop Mojok.co

4 Alasan Saya Lebih Memilih Ice Americano Buatan Minimarket ketimbang Racikan Barista Coffee Shop

4 Desember 2025
Menanti Gojek Tembus ke Desa Kami yang Sangat Pelosok (Unsplash)

“Gojek, Mengapa Tak Menyapa Jumantono? Apakah Kami Terlalu Pelosok untuk Dijangkau?” Begitulah Jeritan Perut Warga Jumantono

29 November 2025
Korupsi Masa Aktif Kuota Data Internet 28 Hari Benar-benar Merugikan Pelanggan, Provider Segera Tobat!

Korupsi Masa Aktif Kuota Data Internet 28 Hari Benar-benar Merugikan Pelanggan, Provider Segera Tobat!

3 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.