Jujur saja, saya agak kesal membaca tulisan Aisyah Amira Wakang atau Aish di Mojok. Tulisannya berjudul “Kekesalan Orang Surabaya karena Tingkah Warga Jogja yang Terkesan Merendahkan, Mending Chill Ketimbang Adu Argumen”. Namun, karena dia teman satu kantor, kekesalan itu berubah menjadi kasihan.
Sebenarnya, rasa kasihan ini tidak menuju kepada Aish juga. Lebih pas ke teman Aisyah, pekerja dari Surabaya, yang baru saja mendapat kerja di Jogja. Saya rada kesal karena teman si Aish ini menyebut orang Jogja sok tahu. Hanya karena bertanya kenapa memilih bekerja di Jogja, bukannya di Surabaya.
“Kenapa kok pilih kerja di Jogja? Bukannya kerja di Surabaya lebih ‘sejahtera’?” tanya seorang sopir ojek online yang berusaha ramah terhadap penumpangnya, tapi malah bikin Dea kesal.
Paragraf di atas adalah tulisan Aish. Dea adalah nama temannya. Dan yang bertanya adalah sopir ojek online, yang hanya basa-basi dan berusaha ramah kepada konsumen. Maaf saja ya Aish. Menurut saya, kesimpulan “sok tahu” untuk warga Jogja itu terlalu jauh. Mungkin kamu dan Dea yang terlalu insecure, curigaan, atau bahkan lebih sok tahu.
Sini saja jelasin biar kamu paham iklim berpikir beberapa warga Jogja kepada pekerja dari luar kota. Ya biar jatuhnya nggak saling curiga. Ingat, kita udah capek curiga sama negara. Jangan sampai pekerja Jogja dan Surabaya saling curiga karena sok tahu dan salah paham.
Mungkin pekerja Jogja itu hanya penasaran
Aish, kita dan semua pembaca Mojok pasti paham kalau kerja di Jogja itu pasti merana soal gaji. Makanya, diskusi soal UMR, pasti nggak jauh-jauh dari rasa kasihan dan nelangsa. Sayangnya, kalau ngomongin soal hak pekerja dan hidup layak, narasi nrimo ing pandum itu masih ada. Semacam, “Ya udah, mau gimana lagi.”
Padahal, perdebatan yang sehat terkait UMR itu ya berkembang ke gimana caranya pekerja Jogja dan pendatang sama-sama sejahtera. Kita seharusnya udah membicarakan upah layak, hak pekerja, sampai usaha pekerja untuk berserikat. Makanya, kalau ada pekerja dari kota besar mau membanting tulang di sini pasti melahirkan rasa penasaran.
“Kenapa ya, pekerja dari kota besar, dengan standar gaji lebih tinggi dari Jogja, mau kerja di sini?”
Pertanyaan itu wajar muncul di dalam kepala. Makanya, si sopir ojek online memakai kata “sejahtera” dalam kalimatnya. Ini menggambarkan betapa pekerja di sini sangat mendambakan kesejahteraan. Ahh, bukankah kita semua sebagai pekerja pasti mendambakan kesejahteraan, Aish?
Makanya, saya jadi merasa aneh kalau pertanyaan sesederhana itu sampai bisa membuat pekerja Surabaya kesal. Kalau memang ada masalah pribadi, sebaiknya jangan dibawa ke percakapan basa-basi dengan orang lain. Sangat mungkin orang lain hanya berusaha ramah kepada orang lain yang sudah menggunakan jasanya.
Oya, si sopir itu nggak tahu pengorbanan apa saja yang udah Dea lakukan sebelum merantau. Ingat, dia bukan cenayang yang bisa membaca hati seseorang.
Baca halaman selanjutnya: Jangan sok tahu, deh.
Bisa jadi ini rasa iri kepada pekerja Surabaya
Analisis kedua saya mampir kepada sebuah kecurigaan. Bahwa bisa jadi si sopir ojek online itu cuma sebatas iri, bukan ingin menyakiti hati. Rasa iri di sini merujuk kepada 2 situasi yang sebaiknya Aish dan Dea memahaminya.
Pertama, mungkin si sopir ojek online iri kepada Dea karena punya opsi dalam hidupnya. Aish, sebagai pekerja Jogja dengan segala keterbatasannya, punya opsi dalam memilih tempat kerja itu sebuah kemewahan. Mungkin si sopir memandang Dea punya privilege itu, sementara dia tidak.
Si sopir mungkin merasa “terjebak” dengan keharusan bekerja di tanah kelahirannya karena berbagai alasan yang tidak kita ketahui. Misal, dia tidak bisa merantau karena harus mengurus orang tua yang sudah makin renta. Ini cuma misalnya, kan kita nggak mungkin bilang orang lain sok tahu hanya karena sebuah pertanyaan random.
Rasa iri yang kedua terkait pendapatan. Jelas, si sopir tidak tahu Dea akan dapat gaji berapa. Kan mereka berdua nggak saudaraan. Kenal juga nggak.
Saya sendiri, sebagai warga Jogja, kalau lihat pendatang dari kota besar kayak Surabaya, bisa berpikiran sama. Mungkin, dia mau pindah ke sini karena standar gajinya ikut kota besar. Misal, ikut UMR Surabaya atau UMR Jakarta. Menduga seperti ini tidak sama dengan sok tahu, ya.
Curiga itu nggak sehat, Aish dan Dea
Terakhir, rasa curiga kepada keramahan itu nggak sehat. Iya, kita nggak akan tahu intensi orang kalau belum ada aksi nyata. Tapi, di sisi lain, selalu ada kemungkinan bahwa si sopir ojek online memang tulus bertanya. Apalagi dia orang Jogja yang katanya ramah dan murah senyum. Mungkin dia memang Jogja tulen.
Kalau Aish atau Dea malah curiga, ya mohon maaf, pekerja Surabaya yang jatuhnya sok tahu. Kalau sudah begini, kan jadinya nggak enak. Di hari-hari kelam karena negara nggak sehat, janganlah warga saling curiga hanya karena pertanyaan sepele.
Yuk, makan gudeg aja di Jogja. Saya tahu tempat yang enak dan nggak bikin citra gudeg jadi makanan mahal.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pandangan Saya Terhadap Jogja Berubah Setelah Merantau, Ternyata Kota Ini Nggak Istimewa Amat
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
