Sebelum memulai tulisan ini, ada baiknya saya jelaskan latar belakang saya terlebih dahulu. Jadi, saya adalah mahasiswa baru jurusan Sastra Prancis di salah satu universitas negeri di Jawa Barat. Saya sendiri besar di Jakarta dan baru saja pindah rumah, tepatnya bulan Juli tahun kemarin, ke Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Sebuah kabupaten di tenggara Provinsi Sulawesi Tengah yang terdiri dari beberapa pulau. Lebih jelasnya kalian bisa tengok Google Maps di gawai masing-masing.
Saya memang berasal dari sini, tetapi sejak kecil saya sudah pindah ke Jakarta. Besar di lingkungan kota membuat saya agak kesulitan ketika baru pindah ke sini. Mulai dari kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan sosial, hingga kesulitan memenuhi hasrat membaca buku. FYI, ongkos kirim untuk sebuah buku yang dibeli dari Pulau Jawa berkisar Rp80.000-an.
Kesulitan yang paling berat adalah ketika saya resmi menjadi mahasiswa baru, tetapi harus menjalani sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ). Seperti yang kita ketahui bersama, pandemi Covid-19 yang tidak berkesudahan ini membuat pelajar di Indonesia harus bergumul dengan aplikasi Zoom, Google Meet, dan Google Classroom setiap hari. Dan hal tersebut adalah mimpi buruk bagi saya.
Permasalahan yang saya temui selama menjalani pembelajaran jarak jauh dari sini sebenarnya adalah masalah klasik di Indonesia Timur: listrik dan jaringan internet.
Saya yakin kalian semua setuju kalau kedua unsur ini adalah unsur paling penting dalam menunjang PJJ. Jujur saja, apabila salah satu unsur ini bermasalah ketika saya sedang melakukan pembelajaran online tatap muka, rasa-rasanya saya pengin membenturkan kepala saya ke dinding rumah.
Kalian perlu tahu, di daerah saya yang namanya mati listrik adalah problem harian yang harus dihadapi. Setiap hari bisa satu atau dua kali terjadi mati listrik. Jika saya sedang beruntung, kejadian mati listrik hanya terjadi dua atau tiga hari sekali. Sekalinya mati listrik, perlu menunggu berjam-jam. Bahkan, sesekali bisa seharian atau semalaman listrik baru menyala!
Salah satu mata kuliah yang saya pelajari adalah Kemahiran Berbahasa Prancis. Di mata kuliah ini, saya diminta untuk belajar mengenai bahasa Prancis. Karena saya sebelumnya tidak pernah belajar bahasa Prancis, maka wajib hukumnya untuk terus hadir di setiap sesi tatap muka via Zoom. Apabila tidak hadir, bakal banyak materi yang terlewat. Dan tentu saja, dosen saya yang rata-rata perfeksionis tidak segan tidak meluluskan saya apabila kemampuan saya dianggap kurang.
Kewajiban saya untuk terus hadir di sesi Zoom mungkin tidak akan jadi masalah besar apabila saya tinggal di kota-kota besar di Pulau Jawa yang relatif lebih maju. Di Banggai Laut, listrik dan sinyal internet tidak akan pernah membuat hidup saya tenang.
Gawai yang mudah drop baterainya, ditambah kewajiban saya untuk menghadiri sesi Zoom yang sangat memakan baterai, mengharuskan saya untuk terus memastikan gawai saya mendapat asupan listrik terus-menerus selama menjalani pembelajaran jarak jauh. Dengan begitu, setiap kali mati listrik, walau setengah jam saja, kening saya bisa pening dibuatnya.
Masalah mengenai listrik mungkin bisa diatasi dengan mengisi powerbank untuk berjaga-jaga apabila terjadi mati listrik. Namun, tempat ini seperti tidak membiarkan saya menjalani pembelajaran online dengan tenang.
Kenapa begitu? Di sini, matinya listrik biasanya diikuti dengan hilangnya sinyal internet. Bayangkan betapa frustasinya saya yang setiap belajar harus dihantui oleh ketakutan padamnya listrik dan hilangnya jaringan internet!
Masalah listrik dan jaringan internet memang sangat mengganggu pembelajaran jarak jauh, tetapi bukan berarti tidak ada solusi. Saya beruntung, di daerah saya ada satu Kantor Telkom, di mana terdapat banyak bangku panjang, meja, dan stopkontak untuk masyarakat umum yang ingin menumpang berinternet ria.
Sayangnya, solusi di atas tidak benar-benar menyelesaikan persoalan yang saya hadapi. Terkadang, walau tidak sesering di rumah, sinyal internet masih bisa hilang. Listrik pun begitu. Di Kantor Telkom memang ada genset untuk membangkitkan listrik apabila mati listrik, tetapi kadang dengan alasan yang saya tidak ketahui, petugas Kantor Telkom tidak menyalakannya. Brengsek memang, nasib perkuliahan saya bergantung pada kemurahan hati petugas Kantor Telkom.
Sebagai mahasiswa, di akhir semester, tentu saya menghadapi UAS. Pada UAS pertama saya di bulan Desember kemarin, di daerah saya sedang ada pembangunan jembatan, yang saya tidak tahu bagaimana caranya, akan berdampak pada hilangnya sinyal internet kira-kira selama tiga hari. Hari di mana sinyal internet akan hilang bertepatan dengan jadwal UAS saya.
Ketika mendengar kabar ini, saya hanya bisa mengelus dada dan berpasrah pada diri pada keadaan. Ibu yang tahu mengenai jadwal UAS saya, mendorong saya untuk memberi kabar mengenai hal ini kepada dosen.
Saya agak ragu bagaimana cara menjelaskan situasi rumit yang saya hadapi. Namun, karena tak ada pilihan, saya pun menghubungi blio melalui WhatsApp untuk menanyakan apakah saya bisa mengikuti ujian susulan apabila isu mengenai hilangnya sinyal internet ini benar-benar terjadi.
Butuh waktu yang agak lama untuk menunggu balasan dari blio. Jantung saya sendiri berdebar-debar menunggu respon dari dosen saya ini. Ketika notifikasi dari beliau muncul di layar ponsel pintar saya, saya memberanikan diri melihat balasannya dan berharap jawaban blio tidak mengecewakan saya.
Jawaban yang saya takutkan tidak terjadi. Justru jawaban yang saya terima adalah: “Ada-ada aja Indonesia Timur hahaha,” diikuti dengan emotikon tertawa sembari keluar air mata.
Menengok jawaban blio yang menertawakan saya membuat saya tenang. Dosen saya yang mengaku ber-KTP Nusa Tenggara Timur bisa memaklumi keadaan. Lantas, saya pun ikut tertawa menertawakan nasib. Gini amat ya rasanya menjalani pembelajaran jarak jauh dari pelosok Indonesia Timur, hadeeeh…
BACA JUGA Sidang Skripsi Online dan Offline Itu Nggak Ada Bedanya, Sama-sama Ribet!