Depresi memang butuh didengarkan, tapi didengarkan saja tidak cukup untuk menyembuhkannya. Depresi bukan sekadar perasaan tidak nyaman yang butuh diceritakan. Depresi yang kita bicarakan di sini depresi beneran lho ya, bukan yang self diagnose depresi.
Jadi gini…
Ketika bercerita tentang depresi, sebagian besar dari kita mungkin sadar bahwa orang itu butuh didengarkan. Tapi sebagian membawa “didengarkan” ini ke titik ekstrim, seakan hanya itu yang dibutuhkan. Seakan dengan didengarkan keluhannya, depresinya menghilang. Seakan depresi itu semacam tumpukan sampah yang perlu dibuang, begitu dibuang ya tumpukannya hilang.
“Coba kalo dia cerita, pasti ga akan depresi”
Padahal bercerita pada orang yang salah, malah memperberat kondisi. Padahal “didengarkan”pun kadang tidak cukup untuk menyembuhkan.
Apakah lantas mendengarkan itu tidak penting? Lantas “didengarkan” itu tidak penting untuk menjadi bagian proses terapi? Tidak demikian, itu sisi ekstrim yang lain yang juga tidak kalah kelirunya. Didengarkan juga adalah kebutuhan, tapi bukan satu satunya kebutuhan.
Depresi tidak sederhana. Tidak sesederhana “ada trauma, makanya jadi depresi”, “orangnya introvert, makanya gampang depresi”, “orang tuanya depresi, pantes sih dididik gitu makanya dia jadi depresi”. Depresi tidak terjadi karena satu faktor tunggal, selalu ada hal lain di sana.
“Tapi dok, akar depresi temenku itu dari dibully online”
Yuk kita lihat gambar akar. Akar itu banyak, panjang, dan dari mana mana.
“Akar” gangguan jiwa tidak bicara tentang satu tema/kejadian, tapi kompleksitas yang sangat rumit dari faktor biologis, psikologis dan sosial.
Tidak jarang juga, orang dengan depresi mengalami ragam emosi dan pikiran yang terlalu banyak dan membingungkan, sehingga tidak tau harus bercerita apa dan dari mana. Rasanya sudah terlalu “penuh”. Bicarapun rasanya percuma, sehingga yang terucap “aku nggak papa kok”.
Depresi juga ga sesederhana “nggak mendapatkan yang diinginkan”. Jadi kalo seseorang dapat yang diinginkan, seperti pasangan cantik/ganteng, jadi kaya, terkenal, maka lantas dia nggak akan depresi. Kayanya ini si jelas ya, liat aja berita berapa banyak orang “ideal” yang depresi.
Depresi terjadi karena apa jadi? Karena kompleksitas penyebab. Contoh: struktur gen + faktor keturunan + trauma + pola asuh + proses pikir + mekanisme defense emosional + support system + stresor = depresi. Kesemua faktor tadi ikut serta dalam mengakibatkan depresi. Jadi kalau penyebabnya kompleks, depresi nggak pulih dengan solusi sederhana.
Kalau kebakaran melahap satu kompleks perumahan, solusinya kan nggak cuma “matiin saklar listrik”. Kita perlu manggil pemadam, kerjasama nyiram, menyelamatkan yg terjebak, dll. Semua dilakukan sekaligus.
“Didengarkan” adalah salah satu cara memadamkan kebakaran akibat depresi. Yang lain juga tetap perlu dilakukan. Konsultasi rutin, minum obat (jika dibutuhkan), bangun support system, latihan CBT/ mindfulness/ ACT (mana yang cocok), didengarkan dengan tepat, dsb semua sekaligus.
Karena depresi butuh didengar, kita bahas sedikit tentang bagaimana itu mendengarkan. Dengan syarat, bagian lain juga perlu dilakukan, seperti konseling, minum obat, ubah gaya hidup, tidur teratur, olahraga, makan gizi seimbang, dsb.
Ketika mendengar, ingatlah bahwa “Dia” adalah subjek pembicaraan kali ini.
Jangan rebutan spotlight dengan membandingkan kepada ceritamu, kehebatanmu menyelesaikan masalah, saranmu menghadapi situasi. Jangan, rebutan jadi subjek. Ijinkan dia bicara tanpa interupsi cerita hebatmu. Niatkan untuk mendengarkan tanpa menghakimi. Dengarkan saja, lepaskan asumsi. Bersikaplah seakan-akan kamu tidak tahu apa apa tentang depresi dan kisah temanmu. Dengarkan seutuhnya, sepenuhnya, dengan segenap perhatian yang kamu miliki.
Niatkan mendengar untuk memahami. Ketika mengajak seseorang yang depresi bercerita untuk kita mendengarkan, sadari bahwa percakapan ini mungkin tidak terjadi satu kali, mungkin bahkan ajakan pertamamu untuk berbagi tidak berbuah hasil, dan itu tidak apa. Sampaikan saja perhatian dan keinginanmu untuk mendengar.
Mengajak bicara, “Hei, akhir akhir ini aku melihat kamu murung. Adakah sesuatu yang mau diceritakan?”, “Hei, kamu tampak berbeda beberapa hari ini. Apa kabar?” Kalau dia menolak bercerita, “Oh baiklah kalau begitu. Tapi kalau ada apa apa, aku ada disini kok siap mendengarkan”
Pertanyaan lanjutan:
“Sejak kapan kamu merasa begini?”
“Adakah sesuatu yang kamu pikir membuat kamu merasa begini?”
“Apa yang bisa aku bantu saat ini?”
“Apakah kamu mau saran atau didengarkan saja?”
“Apakah sudah terpikir untuk mencari pertolongan profesional?”
Lalu akan muncul pertanyaan lagi, bagaimana merespon ketika mendengarkan? Orang sekarang dikasi semangat jadi sebel. Di bawah ini ada contoh respon ketika mendengarkan. Cobalah lihat dari sudut pandang pencerita, rasakan sepenuhnya dan berespon dengan empati.
Ketika sudah memulai menawarkan sebagai pendengar dan dia berespon, maka langkah selanjutnya adalah:
1. Tunjukkan bahwa kita memerhatikan
Dengarkan dengan perhatian, pikiran dan fokus penuh kepada ceritanya. Lakukan kontak mata, jauhkan handphone, duduk dan dengarkanlah.
2. Sabar
Cerita ini bisa panjang, bisa menyakitkan, bisa beberapa kali kita dorong baru dia bercerita namun jangan terburu buru memaksa bercerita. Mendengarkan yang efektif itu tentang mempercayai orang yang bercerita. Kita percaya dia berusaha menderskripsikan kisahnya. Jika butuh bertanya, usahakan gunakan pertanyaan terbuka yang jawabannya tidak sekadar “iya” atau “tidak”. Ajak dia mengeksplorasi cerita dan perasaannya. Ingat, dengan tetap tidak menghakimi. Salah satu pertanyaan terbuka untuk mendorong seseorang bercerita “begitu ya.. lalu?”
3. Parafrase
Ucapkan kembali kalimat yang diceritakan, dengan bahasa kita sendiri. Hal ini menggambarkan kita mendengarkan dan berusaha memahami apa yang dia ceritakan. Dan kalau kita salah menangkap, dia bisa memperbaiki pemahaman kita terhadap kisah tersebut
“kamu bercerita tentang orang tua kamu, mereka meninggalkan kamu dan kamu merasa marah ya”
“kamu merasa dunia tidak adil, padahal kamu sudah berbuat baik tapi tetap saja ada hal buruk yang terjadi”
Ulangi kalimat yang berisi perasaan dan kejadian yang diceritakan.
4. Lakukan semua sambil mendengarkan aktif
Yang meliputi
– Konsentrasi
– Memahami
– Merespon dengan empatik
– Mengingat apa yang diceritakan
Secara aktif mari pusatkan perhatian untuk mendengarkan, untuk memahami, untuk menyelami apa yang dirasakan. Semoga bisa bermanfaat ya.
Jika ada yang mau menceritakan tipsnya dalam mendengarkan, bisa juga kok balas di kolom komentar dan kita berdiskusi bersama bagaimana mendengarkan dengan empatik. Pertolongan itu ada, mari gapai kembali kebahagiaan.
BACA JUGA Mitos Tentang Aura: Cocoklogi yang Diciptakan Bedes Klenik atau tulisan dr. Jiemi Ardian lainnya. Follow Twitter dr. Jiemi Ardian.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.