Sejujurnya tulisan ini saya buat untuk menanggapi apa yang telah ditulis Mas Kevin Ng dalam tulisan sebelumnya, berjudul Tenang Saja, Pasar Bisa Diciptakan di Toko Buku. Kata belio, buku-buku yang disematkan di rak “best seller” adalah buku yang jauh dikatakan “the best”. Saya tidak mafhum apa dasar Mas Kevin menulis seperti itu. Barangkali ia terkejut dengan perkembangan literasi di Indonesia belakangan, secara belio kan kuliahnya di University of Western Australia.
Mas Kevin menulis, kalau toko buku ternyata bisa menciptakan pasar hanya melalui rak yang diberi embel-embel “best seller”, pernyataan itu ia kaitkan dengan Putri Marino yang menulis buku barunya dan viral. Barangkali tulisan itu ia buat setelah melihat buku karya Putri Marino itu tertata rapi di rak “best seller”, jadi agak sinis gitu, ehe. Saya ingin memberitahu Mas Kevin yang mungkin baru kali ini menyadari kalau perkembangan literasi kita ya begitu-itu.
Penerbit yang seperti Mas Kevin sebut bernalar kapitalis memang betul sekali. Memang kapitalis sudah mendarah daging, jadi nggak perlu dibesar-besarkan lah, karena itu sudah wajar. Zaman sekarang kalau nggak kapitalis, nggak bisa hidup. Ceileee. Tapi pernyataan toko buku bisa menciptakan pasar ini yang mengganggu di pikiran saya. Maksud saya, apa benar toko buku bisa ciptakan pasar?
Mas Kevin menulis, apabila tak ada permintaan dari konsumen, maka produsen tidak menawarkan. Namun bersamaan dengan konsep itu, ia menuliskan bahwa pasar penerbit berbeda karena masuk ke ekonomi kreatif. Artinya secara implisit Mas Kevin mengamini bahwa industri penerbitan buku adalah industri kreatif. Penerbit bisa menerbitkan buku apa pun, tidak melulu mengikuti pasar. Yang mau baca bukunya silakan, tidak membaca pun nggak masalah, karena itu prinsipnya. Alhasil, penerbit independen mulai bermunculan, kita sering menyebutnya penerbit indie.
Banyaknya penerbit yang justru memakai paradigma pasar barangkali membuat Mas Kevin mengkritik itu, bahkan sampai ke ranah literasi Indonesia yang buruk. Apalagi kehadiran penulis-penulis, terutama novel yang memasang garis cerita klise, isinya percintaan melulu. Ya mau bagaimana lagi, seperti apa yang dibilang Efek Rumah Kaca di lagu Cinta Melulu bahwa kita memang suka mendayu-mendayu benar adanya.
Akan tetapi, apabila membicarakan perihal pasar berarti bicara seluruh komponennya, mulai dari produsen, distributor, sampai konsumen. Mas Kevin yang kuliah di Australia itu membahas pasar tapi hanya pada elemen produsen dan distributor. Dalam hal ini produsen yaitu penerbit dan penulis. Sementara distributor adalah toko buku yang dianggapnya bisa menciptakan pasar.
Well, mengenai pasar penerbitan buku ini sejatinya yang mengambil peran penting adalah pembaca. Mas Kevin pun dalam tulisannya itu melegitimasi diri sebagai perwakilan pembaca. Entah pembaca mana yang dia wakilkan, atau merasa terwakilkan olehnya. Yang bisa saya terka adalah mungkin pembaca-pembaca buku “kiri”, buku-buku Pramoedya, atau para pembaca yang hobi membaca novel bergaya Eka Kurniawan. Artinya Mas Kevin sebagai pembaca juga berperan penting dalam pasar penerbitan.
Dear Mas Kevin, emangnya semua pembaca buku seperti Anda? Nggak semua orang bisa tahu mana buku dengan kualitas bagus, mana yang tidak. Semua pembaca punya selera bukunya masing-masing. Nah ini yang belum ditekankan oleh Mas Kevin. Mas sepertinya lupa kalau masyarakat kita itu heterogen, begitu pula para pembaca bukunya. Jadi tidak bisa dipukul rata dong!
Seperti yang Mas contohkan, ada yang suka puisi Putri Marino, ada pula yang sinis karena puisi istri Chicco Jerikho itu karena nggak sesuai dengan kaidah “sastra”. Saya juga bukan penulis sama seperti Mas Kevin. Tetapi untuk mengkambing hitamkan penulis karena perkembangan literasi yang buruk, saya tak seberani Mas Kevin. Karena saya dan Mas Kevin sama-sama tahu menulis itu berat, kalimat demi kalimat membutuhkan kerja otak yang tak bisa dianggap enteng.
Dalam menciptakan sebuah pasar, peran pembaca atau konsumen lebih dibutuhkan, bukan toko buku. Silakan toko buku memajang buku-buku yang menurutnya “best seller” ke rak khusus. Tapi jangan lupa, kalau yang membikin buku itu bisa “best seller” adalah pembaca bukan penulis apalagi penerbit. Penulis bisa menulis buku apa pun, tak perlu memikirkan soal perkembangan literasi.
Penerbit boleh saja “menebeng” popularitas penulis (baca: artis) yang kebetulan memiliki followers banyak untuk meraup keuntungan. Kalau nggak ada yang beli bukunya, mau apa? Artis atau seleb medsos yang punya followers ratusan juta sekalipun belum tentu bukunya laku di pasaran. Ini hanya perkara laris manis atau tidak. Pembaca harus lebih jeli lagi membaca buku yang benar-benar bermutu, yang bisa membuat buku sungguh-sungguh menjadi “jendela dunia” bukan “jendela popularitas” semata.
BACA JUGA Di Toko Buku, Syiah-Sunni dan Komunis-Fasis Tak Pernah Saling Bertengkar atau tulisan Muhammad Arsyad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.