Beberapa waktu lalu, saya mengikuti kursus mengemudi. Biar apa? Biar bisa menaklukkan kapitalisme. Ya biar bisa nyetir mobil lah, apa lagi emangnya. Dalam proses saya mengikuti kursus tersebut, saya diajak berbincang-bincang oleh tutornya. Awalnya, obrolan kami menyenangkan. Tapi semua berubah ketika dia bilang gini.
“Cewek nggak wajib bisa nyetir, kalau cowok itu ya harus.”
Seketika konsentrasi saya buyar dan minta izin istirahat, padahal baru 30 menit.
Kalimat tersebut sukses bikin saya bad mood. Meski begitu, saya tetap melanjutkan kursus. Sudah bayar, kepalang tanggung. Saya harus lanjut meski rasanya mangkel mendengar kalimat tersebut.
Tentu saja saya merasa kesal. Seolah keputusan saya sebagai perempuan untuk menambah skill mengemudi mobil kayak nggak perlu-perlu amat gitu. Hanya karena saya perempuan kok kayaknya apa pun yang saya lakukan ini, kayak nggak perlu atau nggak penting-penting amat untuk dilakukan selama ada cowok. Semua pekerjaan itu harus laki-laki yang mengerjakan, termasuk mengemudi mobil. Padahal nih, salah satu alasan saya menambah skill mengemudi mobil adalah pengen masuk list sopir andalan saat sedang berpergian jauh.
Umumnya, ketika saya sedang ada kerjaan di luar kota dan menjadwalkan healing dengan para sobat, kebanyakan yang bisa menyetir adalah lelaki dan orangnya ya itu-itu saja. Padahal, mereka juga butuh digantikan apabila perjalanannya lumayan jauh dan tubuh sudah terasa pegal. Kontribusi saya selama ini hanya sebagai teman ngobrol biar sang sopir nggak ngantuk. Namun, obat mengantuk itu ya istirahat, mata merem, tidur. Sopir juga memiliki hak untuk beristirahat kan? Sebagai perempuan, saya juga ingin berkontribusi secara nyata di bidang akomodasi dan transportasi gitu, wkwkwk.
Ternyata, ungkapan pelatih kursus saya itu bukan hanya pendapat pribadi semata. Setelah saya mengecek lebih lanjut, ternyata ini bukan urusan sepele. Bagi cowok, bisa nyetir adalah keharusan. Ini bukan perkara bisa nyetir atau nggak, tapi upaya menjaga maskulinitas diri. Kurang laki kalau belum bisa nyetir, PDKT nggak pede kalau nggak bisa nyetir, begitu-begitulah katanya.
Banyak sebab seseorang belum bisa nyetir mobil. Ada yang belum ada biaya buat bayar kursus, belum ada waktu buat belajar nyetir, ada yang keluarganya nggak punya mobil sehingga dia nggak ada akses dan nggak pernah diajarin oleh anggota keluarganya.
Orang-orang pada lupa, kalau mengemudi itu butuh tanggung jawab besar. Kalau memang dirasa belum kuat menanggung beban dan nggak siap, nggak harus belajar. Perkara mental ini penting, sebab mau jagonya kayak apa, kalau mental nggak siap, ilmunya menguap.
Apalagi kalau salah dalam belajar, kayak, belajar langsung di jalan umum tanpa kesiapan mental yang cukup. Malah bisa menimbulkan bahaya. Misalnya yang baru-baru ini terjadi di Jakarta, seorang wanita hamil ditabrak mobil yang pengemudinya sedang belajar nyetir mobil di kawasan rumahnya dengan tutor sang suami.
Belum bisa mengemudi mobil itu nggak masalah banget, wahai kalian para cowok. Sebab, menyetir itu memang butuh banyak pertimbangan, prosesnya nggak mudah. Percayalah wahai cowok, maskulinitas nggak hanya diukur dari bisa atau nggaknya nyetir mobil. Setiap orang punya kelebihan masing-masing, belum bisa mengemudi mobil tapi udah bisa mengemudi emosi diri kan ya poin plus. Lebih penting malah. Tenang aja, kalau belum bisa ya nggak apa-apa, emang calon pacarmu ini nyari sopir atau nyari pacar? Kok harus ada kualifikasi bisa nyetir mobil? Nggak sekalian ditambahin harus punya SIM A gitu?
Penulis: Anisah Meidayanti
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kursus Mengemudi Mobil Matic Itu Aneh