Pernah ada masanya di mana Dolly lebih populer dari Kota Surabaya itu sendiri. Gang Dolly pun mendapat julukan prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Dolly itu unik, banyak orang mengatakan tempat ini adalah sarang kemaksiatan, tempat di mana Tuhan enggan masuk dan mengetuk hati setiap orang yang terlibat aktivitas esek-eseknya.
Namun, tak banyak yang tahu jika Dolly—saat masih ada prostitusi di sana—adalah salah satu kampung yang mengumpulkan sumbangan paling banyak ketika ada aktivitas sosial atau bencana kemanusiaan di Surabaya ataupun kota lainnya. Jangan dikira masjid di area ini sepi, atau suara orang mengaji tak pernah terdengar. Dolly tetaplah sama dengan kampung-kampung di Surabaya pada umumnya yang meriah dengan lomba anak-anak saat Agustusan dan ramai tadarusan saat bulan Ramadan.
Perbedaan tempat ini dengan kampung lainnya hanya satu, yakni saat malam tiba. Beberapa rumah di Dolly berubah menjadi akuarium yang menampilkan perempuan dengan pakaian meriah dan sedikit menggoda. Saya bilang sedikit karena seingat saya, saat saya melewati kawasan ini, hampir nggak ada perempuan yang menggunakan bikini. Umumnya para perempuan ini memakai rok pendek dan baju ketat lengan pendek. Atau, ada juga yang mengenakan terusan model si manis jembatan Ancol dengan sepatu hak tinggi.
Lokalisasi yang melegenda tersebut kemudian resmi ditutup oleh Tri Rismaharini pada tahun 2014 silam. Gang Dolly yang meriah dan gemerlap tak lagi ada. Gang ini kemudian dijadikan sentra UMKM oleh Pemkot Surabaya dan digadang-gadang sebagai kampung yang bersih dari praktik asusila dan kampung yang ramah anak.
Daftar Isi
Simbol prostitusi ditutup, aktivitasnya masih ada
Saat Dolly akan ditutup pada tahun 2014, beberapa pihak menentangnya dan sempat terjadi bentrokan antara warga dan aparat berwajib. Penutupan Dolly dinilai akan berimbas buruk pada PSK yang tak memiliki keterampilan untuk bekerja di bidang industri.
Waktu itu, Pemkot Surabaya berjanji akan memberi kompensasi berupa uang dan pelatihan kerja pada semua PSK yang terdata. Akan tetapi, hidup tak berjalan semudah rencana pemerintah.
Kini, setelah resmi tutup selama lebih dari delapan tahun, kabarnya masih ada geliat prostitusi di tempat itu, hanya saja dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Simbol prostitusi di Surabaya (Dolly) memang resmi tutup, tapi aktivitas esek-eseknya belum sepenuhnya kukut.
Makam Kembang Kuning dan Kampung Sidokumpul
Nggak jauh dari Dolly, ada makam yang diberi nama Kembang Kuning. Dulu, makam ini digunakan sebagai perluasan makam Peneleh yang sudah penuh. Kembang Kuning awalnya digunakan untuk makam orang Eropa zaman Belanda, lalu bercampur dengan makam Cina karena kuburan Cina yang sebelumnya ada di kawasan Dolly tergeser akibat prostitusi.
Saat ini, jika Anda melewati makam Kembang Kuning di malam hari, Anda masih bisa bertemu PSK (laki-laki dan perempuan) mangkal di sana. Padahal polisi cukup sering berpatroli di area ini, lho. Bisnis esek-esek masih menemukan celah untuk tumbuh dan menggeliat di malam hari.
Tak jauh dari makam Kembang Kuning tersebut ada daerah bernama Sidokumpul. Beberapa rumah di kampung ini dijadikan penginapan dadakan yang memfasilitasi siapa pun yang mencari kenikmatan semalam dengan tarif murah meriah.
Memang nggak semua rumah membuka kamar, tapi aktivitas menyewakan bilik kamar di kampung ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan laki-laki hidung belang. Bahkan mereka yang ingin menginap dengan pasangan tapi uangnya pas-pasan juga datang ke sini.
Semasa saya masih kuliah, sekitar 10 tahun lalu, ada beberapa kawan saya yang pernah menginap di Sidokumpul. Mereka bercerita kalau tarif sewa kamar di sini hanya Rp40 ribu hingga Rp70 ribu per malam. Mirip Oyo di era sekarang, tapi Sidokumpul menawarkan nuansa yang lebih melokal dan berbaur bersama rakyat.
Kios dorong di malam hari
Kalau saya amati, di Surabaya ini ada pedagang atau kios dorong yang menjual rokok, korek, hingga kondom yang buka hanya di malam hari. Biasanya tak jauh dari lokasi kios-kios tersebut ada tempat prostitusi.
Dulu saat Dolly masih buka, ada banyak kios model dorong seperti itu. Saat ini, saya juga pernah melihat kios sejenis yang buka di malam hari saat melintasi area sekitar Stasiun Wonokromo, Marvel City, dan Pasar Kembang.
Jika Anda tinggal di Surabaya dan masih melihat kios serupa di beberapa titik, cobalah menengok sekitaran. Barangkali tak jauh dari kios tersebut memang ada prostitusi tersembunyi sekalipun Pemkot Surabaya mengatakan kalau semua area tersebut (Dolly, Kembang Kuning, Moro Seneng, dan Sidokumpul) sudah ditertibkan.
Saya nggak mengeklaim sebuah kota buruk hanya karena ada hiburan malam di sana. Aktivitas prostitusi atau red-light district selalu ada di setiap kota besar. Di Singapura yang maju sekalipun ada kawasan seperti Geylang (kawasan prostitusi).
Saya justru lebih khawatir apabila kegiatan ini dilakukan sembunyi-sembunyi dan menyebar di beberapa titik. Sebab, berisiko tumbuhnya penyakit menular seksual yang nggak terdeteksi dan susah dikontrol oleh Dinkes Surabaya. Saya kira, Dinkes harus bekerja ekstra untuk mengatasi persoalan ini, mengingat pada akhir 2022, kasus HIV-AIDS di Surabaya meningkat dan menjadi yang tertinggi di Jawa Timur.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Secuil Cerita dari Gang Dolly: Tentang Mami Lili, Sang Mucikari.