Ada fakta pahit yang harus ditelan: tidak semua kampus di Jogja itu terkenal. Ya, saya sedang bicara tentang Universitas Ahmad Dahlan, atau biasa dikenal sebagai UAD, kampus di Jogja yang sebenernya lumayan familiar buat mahasiswa di Jogja, tapi tidak untuk orang luar Jogja.
Tulisan ini dilatarbelakangi dengan kisah curhatan teman saya, sebut saja Guntur, yang kuliah di UAD Jogja. Dia bercerita bahwa meskipun kampusnya relatif mewah nan megah dibanding kampus-kampus lain di Jogja, ternyata ia merasa kesulitan jika menjelaskan perihal kampusnya itu. Singkatnya, kampusnya nggak terkenal.
Menurutnya, ada dua alasan kenapa UAD sulit dipahami oleh masyarakat kampung.
Pertama, UAD belum lama naik daun
Kampus swasta mewah yang saat ini dikenal sebagai UAD sebetulnya sudah lama didirikan. Lembaga pendidikan yang dulunya merupakan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah Yogyakarta ini telah berdiri sejak tahun 1960-an. Namun transformasi dan SK perubahan resmi dari IKIP menjadi UAD baru ada sejak 1994.
Pada awal masa berdirinya sampai 2015-an, UAD masih menjadi kampus yang biasa-biasa saja bahkan cenderung kurang dikenal. Namun perubahan signifikan terjadi setelah dibangunnya kampus utama atau kampus empat UAD. Setelah selesainya pembangunan beberapa gedung mewah di kampus empat, UAD seakan-akan menjelma menjadi kampus swasta elit di Jogja yang patut dipertimbangkan.
Pamor UAD semakin naik ketika UAD meresmikan Fakultas Kedokteran tidak lama setelah kampus empat dibangun. Tentu saja hal ini menjadi “gengsi” tersendiri bagi seluruh elemen masyarakat UAD. Bagaimana tidak, stigma “hanya kampus-kampus elit yang punya fakultas kedokteran” bukankah sudah melekat kuat di masyarakat kita?
Meskipun UAD Jogja mengalami kemajuan yang cukup signifikan dalam sepuluh tahun terakhir, namun hal itu ternyata belum cukup menjadikan masyarakat kampungnya Guntur mengerti. Tidak sedikit dari bapak-bapak dan ibu-ibu kampungnya yang justru menanyakan. UAD itu di mana? sebelah mananya UGM? atau pertanyaan-pertanyaan lainnya yang menggambarkan bahwa UAD belum se-terkenal itu.
Yah… begitu lah, entah bapak-bapak dan ibu-ibu kampungnya Guntur yang terlampau gaptek, atau memang karena nama UAD yang belum “sebesar” itu.
Kedua, kampus Muhammadiyah yang namanya tidak pakai “Muhammadiyah”
Bagi sebagian masyarakat, penamaan kampus di bawah naungan Organisasi Muhammadiyah dengan istilah “Universitas Muhammadiyah” sudahlah wajib adanya. Ini terjadi karena memang mayoritas kampus-kampus Muhammadiyah menggunakan istilah itu, seperti Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, dan lain-lain.
Ternyata, perihal tidak adanya kata Muhammadiyah di nama kampus UAD menjadi tantangan tersendiri bagi Guntur. Saat ia bercerita kepada saya perihal keresahannya, ia berkata bahwa, “sudahlah UAD ini nggak dikenal, ngga ada kata Muhammadiyah-nya lagi. Angel, angel…”
Saat itu, Guntur menceritakan bahwa kalau mau menjelaskan UAD Jogja kepada masyarakat kampungnya ia perlu menyiapkan kesabaran yang ekstra. Saya ingat sekali ekspresi Guntur ketika mempraktikan percakapannya dengan salah satu ibu-bu di kampungnya. Kira-kira seperti ini percakapannya;
“Eh, Mas Guntur… Sudah lama tidak ketemu… saya denger-denger njenengan sekarang kuliah di Jogja ya mas. Kuliah di mana emangnya mas? di UGM ya?”
“Bukan, Bu, di kampus Islam.”
“Ooo… di UIN ya?”
“Bukan, Bu, di kampus Islam swasta.”
“Ooo… di UII ya?”
“Bukan bu, di kampus Islam swasta yang Muhammadiyah.”
“Ooo… berarti di UMY kan?”
“Bukan, Bu, di kampus Islam swasta Muhammadiyah yang satunya lagi, di UAD.”
“UAD kampus apa, Mas? Kok namanya nggak ada Muhammadiyah atau Islam-islamnya gitu.”
Bayangkan, berapa sabarnya Guntur setelah ditanya sedemikian banyak pertanyaan tetapi masih harus menjelaskan apa itu UAD Jogja.
Tantangan tersendiri bagi para akademisi, mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat UAD
Dari apa yang diceritakan Guntur kepada saya, Ada keyakinan tersendiri bahwa yang dialami Guntur hanyalah satu dari sekian banyak fenomena serupa yang dialami oleh ribuan mahasiswa UAD Jogja dan bahkan para alumninya. Dengan kondisi fasilitas UAD saat ini yang elit, tentu saja fenomena “besarnya bangunan kampus tidak menjamin nama besar kampus” menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh elemen keluarga besar UAD.
Sebagai teman yang baik, tentu saya memberi nasihat yang meskipun tidak bijak-bijak amat, tapi harapannya bisa sedikit menenangkan dan memotivasi Guntur. Tapi ya, motivasi saya tetap tak bisa mengubah UAD jadi lebih terkenal.
Jadi, sabar ya, Tur.
Penulis: Muhammad Alfreda Daib Insan Labib
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mahasiswa Double Degree di UGM dan Kampus Swasta, Tetap Bertahan Meski Asam Lambung Menyerang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















