Culture Shock Arek Malang Saat Menikah dengan Orang Kertosono Nganjuk

Culture Shock Arek Malang Saat Menikah dengan Orang Kertosono Nganjuk

Culture Shock Arek Malang Saat Menikah dengan Orang Kertosono Nganjuk (unsplash.com)

Kota Malang dan Kertosono, salah satu kecamatan di Kabupaten Nganjuk, memang masih satu provinsi di Jawa Timur. Jaraknya hanya satu jam perjalanan menggunakan mobil via tol atau dua jam menggunakan bus. Meski begitu, sebagai arek Ngalam, saya tetap mengalami berbagai culture shock ketika menikah dengan orang Kertosono.

Perbedaan bahasa

Culture shock paling utama adalah bahasa. Malang yang secara geografis bertetangga dengan Surabaya, kerap menggunakan bahasa Jawa kasar dalam keseharian. Bahkan kepada orang tua sekalipun, lumrah bicara dengan bahasa ngoko.

Sementara di Kertosono Nganjuk, berbicara dengan teman sebaya saja tetap menggunakan bahasa Jawa halus. Jika bicara pada orang tua, harus memakai kromo inggil.

Intonasi bicara orang Kertosono juga lemah lembut. Kalau menggunakan istilah anak zaman sekarang, soft spoken. Berbeda jauh dengan orang Malang yang intonasi bicaranya seperti mau mengajak ribut.

Adik kandung saya biasa memakai kata “koen” atau “awakmu” saat berbicara dengan saya. Sementara adik ipar menggunakan kata “sampean”. Hal itu cukup membuat kuping geli, karena tidak biasa ada yang mengatakan “sampean” pada saya.

Saat keluarga besar suami berkumpul dan saling bicara menggunakan bahasa kromo, saya hanya bisa plonga-plongo, persis seperti meme Wapres Gibran yang banyak beredar. Jika ada mbah yang mengajak saya bicara dengan bahasa kromo, saya akan melirik suami untuk minta menerjemahkan.

Jika sudah mentok, saya menjawab dengan satu-satunya kalimat bahasa kromo inggil yang lancar saya ucapkan, “Inggih, Mbah.” Saya jadi sedikit menyesal tidak serius memperhatikan guru saat mata pelajaran bahasa Jawa di sekolah. Nilai mata pelajaran bahasa Jawa saya dulu memang sering jeblok, bahkan pernah mendapatkan nilai 6.

Urusan buang hajat juga bikin orang Malang yang menikah dengan orang Kertosono Nganjuk culture shock

Lebih lanjut, urusan buang hajat juga sempat membuat saya gegar budaya. WC di kamar mandi Kertosono Nganjuk ditempatkan pada undakan setinggi harapan orang tua, dengan lubang jamban yang sangat dalam. Saya dan keluarga di Malang menyebut undakan itu sebagai panggung.

Saya sendiri bingung, bagaimana caranya lansia dan anak kecil menaiki undakan dengan tinggi sekitar setengah meter. Apalagi kalau sudah kebelet buang air. Suami pernah menjelaskan, undakan itu bertujuan menghindari cipratan saat buang air besar. Tetapi setelah saya pikir-pikir lagi, bukankah kalau dibuat tinggi, kotoran yang jatuh justru akan seperti rudal?

Tak sampai di situ, saat ke kamar mandi di rumah yang lain, saya sempat terkaget-kaget karena mendapati ikan koi sedang berenang di dalam bak kamar mandi. Ternyata fungsi ikan koi itu untuk memakan jentik-jentik nyamuk di bak kamar mandi.

Selera musik juga berbeda

Gegar budaya berikutnya yang saya alami sebagai orang Malang yang menikahi orang Kertosono Nganjuk adalah soal musik. Sebelum menikah, saya sempat bertanya pada calon suami, senang mendengarkan lagu apa? Dia menjawab, suka lagu-lagunya Alan Walker.

Ternyata setelah menikah, suami tidak pernah sekali pun memutar lagu Alan Walker. Dia justru lebih sering mendengarkan lagu dangdut. Saya sampai hafal, lagu dangdut yang wajib menemani ketika suami sedang mencuci piring atau menyikat kamar mandi yaitu “Jajal Kowe Dadi Aku” dan “Ditikam Asmara.”

Saat awal menikah, saya cukup terganggu dengan preferensi lagu suami, karena saya jadi merasa seperti tinggal di dalam bus. Saya juga heran ada anak muda yang senang mendengarkan dangdut. Sebab, di lingkungan keluarga dan pertemanan saya di Malang tidak ada yang menyukai dangdut. Bahkan saat masih berusia 20-an, saya merasa lagu dangdut itu ndeso.

Namun setelah sekian tahun menikah, saya mulai terbiasa dan tak pernah protes lagi jika suami mulai memutar lagu dangdut. Tanda kedewasaan pola pikir saya adalah menerima lagu dangdut sebagai kebanggaan Nganjuk dan khazanah budaya yang perlu dilestarikan lintas generasi.

Penulis: Atikah Syahar Banu
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Nganjuk di Mata Orang Surabaya: Warganya Begitu Ramah, tapi Kotanya Tak Bergairah.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version